Penulis: Al-Ustaz Qomar Suaidi
Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat sahaja. Mestilah juga tahu dasar-dasar yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!
Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dinul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengatakan jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan menguruskan qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-hura (pesta) politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari satu daerah ke satu daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.
Namun lihat pula sekeliling kita. Keadaan umat Islam masih begini-begini juga. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya semakin bertambah parah.
Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat keadaan umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya sahaja? Mengapa mereka justeru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berpankal kesia-siaan?
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat diperlukan umat.
Berikut kami akan menghuraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok (asas) dan perlu untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya kerana ianya banyak sementara ruang yang ada terbatas.
Makna Manhaj
Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:
“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)
Kata minhaj, sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah ertinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).
Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah dasar yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:
1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya iaitu Al Qur’an dan As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)
Dan Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah bahawasanya aku diberi Al-Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya (yakni As-Sunnah).” (Sahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)
2. Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus soleh yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Sahih, HR Bukhari dan Muslim)
Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.
Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengkhabarkan bahawa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu bererti bahawa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebahagian sisi sahaja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)
Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahawa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar kerana mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan bila turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan hadis. Keadaan yang seperti ini tentu sangat mendokong terhadap pemahaman agama. Oleh kerana itu, para ulama mengatakan bahawa ketika para sahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Ertinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.
Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para sahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeza pendapat maka kami mengambil sebahagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].
Begitu pula Muhammad bin Al-Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang sepertinya, ketiga apa yang disepakati oleh para sahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)
Oleh kerana itu Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)
Hal itu -wallahu a’lam- kerana Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]
Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Kerana jika demikian bererti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Kerana kebenaran itu pasti ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka pasti salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.
3. Tidak melakukan taqlid atau ta’assub (fanatik) mazhab. Allah berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al-Qur’an atau hadis. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya bererti mesti ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahawa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, walau siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)
Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam mazhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahawa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahawa kebenaran itu terbatas padanya dan bahawa yang keluar darinya bererti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihad yang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).
Sebaliknya, ta’assub (fanatik) pada mazhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tidak hairan kalau sampai ada dari kalangan ulama mazhab mengatakan: “Setiap hadis yang menyelisihi mazhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”
Akhirnya mazhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadis. Bahkan ta’assub seperti itu membuat kesan buruk terhadap agama Islam sehingga menghalangi seseorang masuk Islam sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih mazhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih mazhab Syafi’i. Mendengar jawapan-jawapan itu mereka sangat kehairanan dan bingung sehingga terhalang dari jalan Islam. [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)
4. Waspada dari para da’i jahat. Jahat yang dimaksudkan bukan dari sisi kekejaman tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Ertinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya agar mereka dapat mentafsirkan menurut kehendak mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:
“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7)
Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah ertinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahawa mereka berhujjah dengan Al-Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al-Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya ertinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]
5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu kerana urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak boleh seseorang sembarangan atau asal comot (sambil-lewa - edt) dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan kerana ini akan berakibat kerosakan sampai di akhirat kelak. Maka dia mesti tahu siapa yang akan dia ambil ilmu agamanya.
Jangan sampai dia mengambil agama dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar kerana selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekadar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhuatirkan, dia akan memiliki pemahaman-pemahaman yang salah kerana hal tersebut.
Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para perawi yang meriwayatkan) hadis, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kamu, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima hadisnya dan melihat kepada ahli bid’ah lalu menolak hadisnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Sahih-nya)
Nabi sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Keberkatan itu berada pada orang-orang besar kamu .” (Sahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)
Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:
“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.” Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari sahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan disahihkan olehnya)
Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebahagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadis di atas: “Bahawa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadis Umar dan hadis-hadis yang semakna dengannya adalah orang yang diminta berfatwa padahal tidak mempunyai ilmu. Dan orang yang besar ertinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para sahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).
6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasional, kerana agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:
“Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘Sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45)
“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Qur’an) menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Sungguh berbeza antara wahyu yang bersumber dari Allah Zat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding dengan akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.
Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al-Qur’an ataupun hadis yang sahih kerana tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang mestilah menundukkan akalnya di hadapan keduanya (yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah -edt).
Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bahagian bawah khuf (seperti sarung kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk disapu (pada saat berwudhu - red) daripada bahagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah menyapu bahagian atas khuf-nya.” (Sahih, HR Abu Dawud disahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).
Pada ucapan beliau ada keterangan bahawa dibolehkan seseorang mengusap bahagian atas khuf-nya atau sarung kaki atau kasutnya ketika berwudhu dan tidak perlu menanggalkannya jika memenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi perbahasan kita disini adalah ternyata yang disapu justeru bahagian atasnya, bukan bahagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak disapu adalah bahagian bawahnya kerana itulah yang kotor.
Ini menunjukkan bahawa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sihat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Boleh jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita ketahui.
Jangan sampai ketidaktahuan kita menjadikan kita menolak hadis yang sahih atau ayat Al-Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh isikap Ali bin Abi Thalib di atas.
Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terdetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah melihat hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Kerana sesungguhnya kedua-duanya (Al-Kitab dan As-Sunnah -edt) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia terkadang benar dan terkadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)
Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahawa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
- Pendapat akal yang menyelisihi nash Al-Qur’an atau As-Sunnah.
- Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang diiringi dengan sikap meremehkan mempelajari nas-nas, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
- Pendapat akal yang mengakibatkan penolakan terhadap asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
- Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
- Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekadar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)
7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu baginda membaca ayat, ertinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmizi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)
Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus soleh adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).
Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul batil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Kerana perbuatan yang demikian ini mengandungi ajakan kepada kebatilan dan membuat kesamaran pada yang hak serta merosakkan agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)
Oleh kerana itu, Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:
“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu (Tuhan-Mu) dengan hikmah, nasihat yang baik dan berdebatlah dengan cara yang paling baik.” (An-Nahl: 125).
Para ulama menerangkan bahawa perdebatan yang paling baik dapat terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan berdiskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta bersedia menerima yang hak jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembali orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).
Perdebatan para sahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasihat. Boleh jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)
Inilah beberapa dasar-dasar dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an mahupun hadis yang sahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu dapat menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap dapat beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya sallallahu 'alaihi wasallam.
Disunting semula oleh Abu Soleh