Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama." (Fathir: 28)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui." (Al-Anbiya': 7)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Allah menyatakan bahawasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyetakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Ali-Imran: 18)
Demikianlah kedudukan ulama diangkat, mereka merupakan orang-orang yang paling takut diantara manusia, mereka merupakan tempat pertanyaan bagi orang yang tidak mengetahui dan merekalah orang-orang yang mengenali Allah, nama-nama dan sifat-sifatNya, dan perbuatanNya sehingga membuat mereka paling takut dengan Allah.
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah kerana kurnia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan kecuali sebahagian kecil sahaja (di antara kamu)." (An-Nisa': 83)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Nescaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa darjat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al-Mujadalah: 11)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Dan katakanlah: Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaha: 114)
Imam Ibn Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata:
"Jelas maksudnya menunjukkan keutamaan ilmu, sebab Allah tidaklah memerintahkan NabiNya untuk meminta tambahan apa-apa selain ilmu. Yang dimaksudkan dengan ilmu di sini ialah ilmu syar'i yang berguna untuk memperlihatkan apa yang wajib bagi seorang mukallaf berupa perintah agama dalam ibadah dan muamalatnya, serta ilmu tentang Allah dan sifatNya, juga apa yang wajib ditegakkannya berupa perintah dan mensucikanNya dari kekurangan. Itu semua berasaskan pada tafsir, hadis dan fiqh." (Fathul Bari 1/141)
Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam berkata:
"Siapa yang Allah kehendaki baginya kebajikan maka Dia akan membuatnya faqih (mahir) tentang agama. Saya hanyalah Qasim (pembagi), Allah yang memberi. Serta senantiasa ada dari umat ini orang-orang yang tegak di atas perintah Allah tanpa memudaratkan mereka sesiapa yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah." (Hadis riwayat Bukhari)
Imam Ibn Hajar rahimahullah berkata:
"Telah dipastikan bahawa mereka yang dimaksudkan ialah ulama atsar. Imam Ahmad berkata: Kalau mereka itu bukan ahli hadis, maka saya tidak tahu lagi siapa mereka." (Fathul Baari 1/164)
Beliau rahimahullah berkata lagi:
"Pemahaman yang dapat diambil dari hadis ini: Sesungguhnya siapa yang tidak faqih tentang agama Islam, ertinya tidak mempelajari asas-asas Islam dan cabang-cabangnya, maka dia telah diharamkan dari kebajikan. Abu Ya'la telah mengeluarkan hadis Mu'awiyah dari jalur lain yang dhaif (lemah), di mana dia tambahkan pada akhirnya:
"...Sedangkan sesiapa yang tidak mahu memahirkan di dalam agama, maka Allah tidak mempedulikannya."
Namun, maknanya benar kerana orang yang tidak mengetahui urusan agama bererti tidak faqih dan tidak pula mempelajari fiqh, maka benarlah jika dikatakan bahawa dia tidak dikehendaki mendapatkan kebajikan. Di sini ada penjelasan yang jelas tentang keutamaan tafaquh fiddin (memahirkan di dalam agama) di atas seluruh ilmu lainnya." (Fathul Baari 1/165)
Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dihadapkan Nuh pada hari kiamat. Maka baginda ditanya: 'Apakah engkau telah menyampaikan (tugas kerasulan)?' Beliau menjawab: 'Ya wahai Tuhanku.' Lalu umatnya ditanya: 'Adakah dia telah menyampaikan kepada kalian?' Mereka menjawab: 'Tidak ada seorang pun pemberi peringatan yang datang kepada kami.' Maka dikatakan kepada Nuh: 'Siapakah saksimu?' (Nabi Nuh) menjawab: 'Muhammad dan umatnya.' Maka kalianpun dihadapkan dan memberikan persaksian.
Kemudian Rasulullah membaca:
Maksudnya: "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang wasath (pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu." (Al-Baqarah: 143) (Hadis riwayat Bukhari)
Imam Ibn Hajar rahimahullah berkata:
"Al-Wasath ialah adil, sebagaimana telah lalu dalam tafsir surah Al-Baqarah. Kesimpulan isi ayat ini adalah penyebutan tentang nikmat pemberian hidayah dan keadilan. Adapun ucapannya 'dan apa yang diperintahkan...' kesesuaiannya dengan hadis tema ini tidak jelas. Sepertinya dari sudut sifat tersebut, yakni keadilan. Sebab ia meliputi semuanya berdasarkan zahir penyempaian yang mengisyaratkan bahawa ia merupakan sebuah keumuman yang diinginkan dengannya sesuatu yang khusus atau keumuman yang dikhususkan. Kerana orang jahil tidak termasuk orang-orang yang adil, tidak pula sebagai ahli bid'ah. Maka ketahuilah bahawa yang dimaksukan dengan sifat tersebut adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Merekalah ahli ilmu syar'i." (Fathul Baari 16/133)
Wahb bin Munabbih berkata: "Seorang faqih yang menjaga kesucian, zuhud dan komitmen kepada sunnah itulah pengikut para nabi di setiap zaman." (Al-Ibanah, Ibn Baththah, 1/201)
Sufyan bin 'Uyainah berkata: "Manusia yang paling utama kedudukannya di hari kiamat adalah yang menjadi perantara Allah dengan makhluknya." Maksudnya Rasulullah dan ulama. (Ibid 1/202)
Salamah bin Sa'id berkata: "Dahulu dikatakan ulama itu penerang semua zaman. Setiap ulama adalah lampu bagi zamannya. Penduduk masa itu mengambil cahaya dari dirinya. Dikatakan juga: Ulama menghapus tipu daya syaitan." (Ibid 1/203)
Imam Ibn Baththah Al-'Akbari berkata:
"Semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang yang menghidupkan kebenaran dan sunnah serta mematikan kebatilan dan bid'ah, di mana penduduk masa itu mengambil cahaya dari pancaran ilmunya, serta dia mampu menguatkan hati para saudaranya yang beriman." (Ibid)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram." (Ali-Imran: 106)
Ibn 'Abbas radhiallahu 'anhuma berkata:
"Orang-orang yang putih berseri mukanya ialah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ulama, sedangkan orang-orang yang hitam muram wajahnya adalah ahli bid'ah dan dholal (kesesatan)." (Syarah Usul I'tiqad Ahlis Sunnah, Imam Al-Lalika'i 1/71)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu." (An-Nisa: 59)
Ibn 'Abbas radhiallahu 'anhuma berkata tentang firman Allah '...dan ulil amri di antara kamu.':
"Yakni ahli fiqh, ahli dalam agama Islam dan orang-orang yang taat kepada Allah, orang-orang yang mengajarkan makna-makna agama kepada manusia, beramar makruf dan nahi mungkar, maka Allah mewajibkan para hamba untuk mentaati mereka." (Syarah Usul I'tiqad Ahlis Sunnah 1/73)
Ketahuilah sesungguhnya kebajikan dan kebahagiaan bergantung pada keberadaan ulama. Jika ulama-ulama telah pergi, maka akan tersebarlah kejahilan dan musibah. Maka akan berlakulah orang-orang jahil menjadi pemimpin kepada masyarakat yang jahil. Mereka ini sesat lagi menyesatkan.
Umar bin 'Abdul 'Aziz menulis surat kepada Abu Bakr bin Hazm:
"Lihatlah mana hadis rasulullah kemudian tulislah, kerana sesungguhnya saya bimbang hilangnya ilmu dan perginya ulama. Janganlah engkau menerima selain hadis Nabi dan sebarkanlah ilmu. Duduklah sehingga orang yang tidak tahu menjadi tahu, kerana sesungguhnya ilmu tidaklah terhapus sehingga ia (sebelumnya) berupa sesuatu yang rahsia." (Fathul Baari 1/194)
Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan begitu sahaja dari para hamba. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama. Sehingga ketikamana tidak tersisa lagi seorang alim, maka orang-orang pun mengambil orang-orang jahil sebagai pemimpin. Mereka ditanya lalu mereka memberi fatwa. Mereka sesat lagi menyesatkan." (Hadis riwayat Bukhari)
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhuma berkata:
"Bagaimana kalian ketika kalian telah diselimuti dengan fitnah, yang di dalamnya orang dewasa hidup menjadi renta dan anak-anak hidup menjadi dewasa, sehingga manusia menjadikannya sebagai adat kebiasaan yang apabila diubah, maka mereka mengatakan: 'Adat diubah!' Orang-orang bertanya: 'Bilakah hal itu akan terjadi, wahai Abu Abdirrahman (gelaran Ibn Mas'ud)?" Ibn Mas'ud menjawab: 'Di saat semakin banyak para pembaca Al-Quran akan tetapi sedikit yang memahami, banyak pemimpin dan sedikit anak-anak kalian, lantas kalian mencari dunia dengan amalan akhirat." (Riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra, ms. 453)
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhuma berkata:
"Wahai hamba Allah, apakah kalian tahu bagaimana Islam itu berkurang dari manusia? Mereka menjawab: 'Ya, sebagaimana lemak binatang ternak berkurangan, sebagaimana lunturnya warna pakaian dan sebagaimana duit menjadi hitam kerana lama disimpan.' Beliau berkata: 'Ini di antaranya. Namun lebih dari itu ialah pemergian ulama. Di suatu kawasan terdapat dua alim, satu meninggal maka hilanglah setengah ilmu mereka dan satu lagi meninggal maka hilanglah seluruh ilmu mereka. Pemergian ulama merupakan pemergian ilmu." (Ibid, ms. 454)
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhuma berkata:
"Tidak datang kepada kalian satu hari yang baru melainkan ia lebih buruk daripada hari sebelumnya, begitulah sampai tegak hari kiamat. Saya tidak memaksudkan kemewahan hidup yang dimilikinya atau harta yang bernilai baginya. Akan tetapi, tidaklah datang kepada kalian hari yang baru melainkan hari itu lebih sedikit ilmunya daripada hari sebelumnya. Kalau ulama telah pergi maka manusiapun duduk terdiam, mereka tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Ketika itulah mereka binasa."
Dari jalur Asy-Sya'bi, Ibn Mas'ud berkata: "Tidak datang kepada kalian masa yang baru melainkan dia lebih buruk daripada sebelumnya. Saya tidak maksudkan seorang pemimpin yang lebih baik dari pemimpin lainnya atau satu tahun yang lebih baik dari tahun lainnya. Akan tetapi ulama dan fuqaha kalian pergi lalu kalian tidak lagi mendapatkan pengganti mereka. Kemudian datanglah suatu kaum yang berfatwa dengan akal mereka semata-mata."
Dalam lafaz lain: "Itu bukanlah tentang banyaknya melimpah hujan atau sedikitnya, akan tetapi tentang pemergian ulama. Kemudian muncullah suatu kaum yang memberikan fatwa dalam semua perkara dengan akal mereka, sehingga dia merosakkan Islam dan merobohkannya." (Fathul Baari 13/21)
Fudhail bin 'Iyadh berkata: "Bagaimana engkau kalau engkau tetap hidup sampai suatu zaman yang saat itu engkau menyaksikan suatu kaum yang tidak dapat membezakan antara kebenaran dengan kebatilan, tidak juga antara seorang yang beriman dengan yang kafir, tidak juga antara jahil dengan yang alim, tidak mengenal perkara makruf dan tidak mengenal yang mungkar."
Ibn Baththah memberi komentar di atas:
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Hal itu telah sampai kepada kita dan kita telah mendengarkannya, kita telah mengetahui kebanyakannya dan menyaksikannya. Andaikata seseorang yang telah Allah berikan baginya akal sihat dan pandangan tajam menatap dengan teliti, memikirkan baik-baik keadaan Islam dan umatnya, menilai umat berdasarkan metodologi yang lurus, maka tentu akan menjadi jelas baginya bahawa kebanyakan manusia telah berpaling dan menyimpang dari jalan yang terang dan hujjah yang benar.
Banyak manusia pada waktu ini telah berubah dengan memandang baik apa yang dahulu mereka pandang buruk, mereka menghalalkan apa yang dulunya mereka memandang haram, serta mereka telahpun mahu menerima apa yang tadinya mereka ingkari.
Ini -semoga Allah merahmatimu- bukanlah akhlak kaum muslimin dan bukan pula tindakan mereka yang benar-benar mengatahui agama Islam ini, serta mereka bukanlah ahli Iman dan yakin akan Islam." (Al-Ibanah 1/188)
Kita lihat apa yang dikatakan oleh Al-Imam Ibn Baththah Al-'Akbari terhadap apa yang dikatakan oleh Fudhail bin 'Iyadh radhiallahu 'anhu, iaitu di waktu itu telah pun berlaku manusia yang tidak dapat membezakan yang mana baik dan buruknya, yang mana benar dan batilnya, yang mana iman dan yang mana kufurnya dan begitulah seterusnya padahal Ibn Baththah berada di abad yang keempat. Bagaimana pula jika kita ukur dengan waktu kita pada hari ini? Sudah tentu lebih jauh hebat kejahilan yang dihadapi pada hari ini. Sungguh pada hari ini ramainya kelompok-kelompok Islam yang cuba menisbahkan diri mereka dengan kebenaran akan tetapi mereka yang sebenarnya jauh dari kebenaran.
Ibn Qutaibah rahimahullah berkata:
"Andaikata mereka mengembalikan apa yang tidak jelas dari Al-Quran dan As-Sunnah kepada ulama ahlinya, maka tentu akan jelas perkaranya bagi mereka dan penyelesaian akan lebih kelihatan luas. Akan tetapi yang menghalangi itu adalah mencari kedudukan, ingin mendapatkan pendokong, serta manusia itu laksana sekelompok burung yang sebahagiannya mengikuti sebahagian lainnya. Sekiranya muncul seorang mengaku sebagai nabi -padahal mereka sedar bahawa Rasulullah adalah penutup para nabi- atau mengaku sebagai Tuhan, nescaya kita akan melihat ada yang menjadi pengikut dan pendokongnya." (Takwil Mukhtalafi Hadis, ms. 43)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
"Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di setiap masa kekosongan rasul, ulama-ulama yang tinggal mengajak menjauhi kesesatan kepada hidayah, bersabar menanggung gangguan. Mereka menghidupkan orang-orang mati dengan Kitabullah, menjadikan orang buta melihat dengan cahaya Allah. Sudah berapa banyak korban Iblis yang mereka selamatkan, berapa banyak orang sesat tak berharga yang memberi petunjuk.
Aduhai alangkah indah prestasi mereka untuk manusia tapi alangkah buruk balasan manusia kepada mereka. Mereka membersihkan Kitabullah dari perubahan orang-orang yang melampaui batas, muslihat ahli batil, dan takwil orang-orang yang jahil: Yakni orang-orang yang mengibarkan bendera bid’ah dan melepaskan ikatan fitnah. Mereka itu berselisih tentang Al-Quran, menyelisihi Al-Quran, dan bersepakat untuk meninggalkan Al-Quran. Mereka mengatakan terhadap Allah, tentang Allah, dan tentang Kitabullah tanpa ilmu. Mereka berbicara dengan ayat mutasyabih (samar-samar) dan menipu orang bodoh dengan kesamaran itu. Kita berlindung kepada Allah dari fitnah orang-orang yang menyesatkan.” (Ar-Radd ‘Ala Az-Zanadiqah wal Jahmiyah, ms. 6)
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhufairi berkata:
“Maka ulama rabbani sebagaimana yang disifatkan oleh Al-Ashbahani -ringkasnya- adalah orang-orang yang alim tentang syariat Islam, mengikuti Sunnah, dan beragama kepada Allah dengan Al-Quran dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salafus soleh.
Adapun ahli kalam, mereka itu bukan ulama semisal dengan mereka di zaman kita ini adala orang-orang yang mendapat gelaran cendikiawan muslim, pemikir, ahli waqi’ (realiti), atau politik. Maka bagaimana kita akan merasa aman terhadap agama dan aqidah kita di saat kita berpegang kepada orang yang seperti mereka itu atau kita membawa para pemuda dan orang-orang kepada mereka?
Kemudian orang yang mengetahui sejarah umat Islam sejak terbitnya fajar Islam, anak jelas kelihatan baginya bagaimana Allah menjaga agama-Nya setelah pemergian Nabi, ulama Ahli Sunnah dan Ahli Hadis.
Merekalah yang melakukan perjalanan dari satu negeri ke negari lainnya untuk mengumpulkan hadis Rasulullah kemudian membukukannya dalam lembaran-lembaran dengan berbagai-bagai ragam seperti Musnad, Majma’, Mushannaf, Sunan, Muwatto’, kitab-kitab Zawa’id, dan Mu’jam. Mereka menjaga hadis-hadis Rasulullah dari pemalsuan para pemalsu dan kebohongan dari para pembohong, membezakan antara yang sahih dengan yang cacat. Mereka meletakkan kaedah-kaedah hadis, yang dengannya dapat dibezakan antara hadis yang dapat diterima atau ditolak dan dengannya para perawi dapat dikenalpasti. Mereka tuliskan nama-nama orang yang tsiqah, dhaif, atau pemalsu. Mereka menukilkan pemerhatian para imam jarah wat ta’dil (cercaan dan pujian) tentang orang-orang itu. Bahkan mereka menyendirikan riwayat satu orang rawi; riwayat penduduk Syam, penduduk ‘Iraq, penduduk Hijaz, riwayat seseorang sebelum pemikirannya kacau dan sesuadahnya dan seterusnya.
Sesungguhnya orang-orang yang mengetahui ilmu ini, pembahagian, jenis, dan kitab-kitab yang menuliskan tentangnya, tentu akan merasa kagum melihat betapa besar bantuan mereka terhadap hadis Nabi.
Mereka pulalah yang berdiri tegak menjelaskn aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah dengan semua babnya, membantah ahli bid’ah dan penyimpang, memperingatan dari ahlul ahwa dan bid’ah, melarang duduk dan berbicara dengan mereka, tidak membalas salam mereka. Bahkan mereka melarang menikah dengannya sebagai penyandaran bagi dia dan orang-orang sepertinya. Mereka menulis karangan yang sangat banyak tentang ini (berkenaan sikap ahli sunnah terhadap ahli bid’ah).
Merekalah yang banyak bergerak mengumpulkan hadis-hadis dan atsar untuk mentafsirkan Al-Quran seperti Tafsir Abi Hatim, Ash-Shan’ani, An-Nasai. Dan diantara mereka ada yang mentafsirkan Al-Quran secara sempurna, seperti Tafsir At-Thabari, Ibn Katsir, dan lainnya. Mereka meletakkan kaedah-kaedah penafsiran Al-Quran, serta membezakan antara tafsir dengan atsar dan antara tafsir dengan rakyi (akal).
Merekalah yang menyusun kitab fiqh lantas menulis kesemua babnya, membahas permasalahannya, menjelaskan hukum syariat yang berhubungan dengan amalan disertai dalil-dalilnya dengan terperinci dari Al-Quran, As-Sunnah, Ijmak dan Qias. Mereka meletakkan kaedah-kaedah fiqh yang menggabungkan persoalan furu’ (cabang) yang banyak namun disatukan oleh satu ‘illah (sebab). Mereka meletakkan usul fiqh yang menjadi dasar penimbang hukum furu’ syariat.
Merekalah yang menulis tentang sirah, tarikh, adab, zuhud, pelembut hati, bahasa, nahu dan selainnya dalam bidang yang sangat banyak.
Ulama itu pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun hanyalah mewariskan ilmu. Ulama Ahlus Sunnah telah mendapatkan jatah yang paling sempurna dari ilmu tersebut. Mereka mengumpulkan ilmu, menjelaskan agama kepada manusia, membela sunnah dan aqidah yang murni untuk umat. Mereka itu seperti Ahmad bin Hanbal, Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim Abu Daud, At-Tirmizi, An-Nasai, Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, ‘Ali bin AlMadini, Yahya bin Sa’id Al-Qahthan, Asy-Syafi’i, ‘Abdullah bin Al-Mubarak, ‘Abdurrahaman bin Mahdi, Ibn Khuzaimah, Ad-Daruqutni, Ibn Qudamah Al-Maqdisi, Ibn Abdil Barr, Al-Khatib Al-Baghdadi, dan banyak lagi.
Demikian juga orang-orang yang menelusuri jejak para ulama itu seperti Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah beserta murid-muridnya: Aibnul Qayyim, Adz-Dzahabi, dan Ibn ‘Abdil Hadi, yang telah mengarang banyak sekali kitab yang bermutu, membela aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah, menerangkan agama Islam yang sahih disertai dalil-dalilnya yang tegas dan bukti memuaskan.
Sampai sekarang ni, para penuntut ilmu masih menuntut ilmu fiqh melalui kitab-kitab mereka ini dan mengambil darinya. Bahkan sekalipun dipelbagai universiti dan majlis ta’lim. Semuanya menjadikan karangan para ulama tersebut sebagai silibus pembelajaran.
Demikian pula orang-orang yang berjalan mengikuti manhaj mereka, seperti Mujaddid Dakwah Tauhid Syeikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, anak-anak dan para ulama Najd, murid-muridnya beserta orang-orang yang menempuh jalan yang sama dari para ulama dunia Islam, seperti Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, ulama India, ulama Mesir (Muhibuddin Al-Khatib, Ahmad Syakir, Muhammad Hamid Al-Faqi), ulama Sudan, Maghribi dan Syam. Semuanya bangkit menyebarkan hadis dan aqidah salafiyah di masing-masing negeri mereka...
Di antara ulama kotemporari kita -sebagai contoh, tidak meliputi kesemuanya-:
1 - Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Bekas Mufti Kerajaan Arab Saudi.
2 - syeikh Muhaddis Muhammad Nasiruddin Al-Albani.
3 - Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah ‘Alu Asy-Syaikh.
4 - Syeikh Shalih Al-Athram.
5 - Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
6 - Syeikh Shalih Al-Fauzan
7 - Syeikh Abdullah Al-Ghadayyan.
8 - Syeikh Al-Luhaidan.
9 - Syeikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
10 - Syeikh At-Tuwaijiri.
11 - Syeikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad.
12 - Syeikh Hammad Al-Anshari.
13 - Syeikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali.
14 - Syeikh Muhammad Aman Al-Jami.
15 - Syeikh Ahmad Yahya An-Najmi.
16 - Syeikh Zaid bin Muhammad Hadi Al-Madkhali.
17 - Syeikh Shalih As-Suhaimi.
18 - Syeikh Shalih Al-‘Abud, dan para ulama negeri Islam lainnya.
Kita memohon kepada Allah Dat yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri untuk selalu menjaga mereka yang masih hidup dan merahmati yang telah meninggal, memberi kita taufiq agar dapat menempuh jalan mereka, serta mengumpulkan kita dan mereka bersama Nabi Muhammad contoh teladan kita di dalam Firdaus tertinggi.” (Dinukil dari ‘Hujah Atas Pengekor Hawa & Pengkhianat Sunnah, Asy-Syeikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zufairi, Pustaka Al-Haura, ms. 104-111. Judul Aslinya: Sillu As-Suyuf wa Al-Alsinah ‘ala Ahli Al-Ahwa wa Ad’iya As-Sunnah.)
Maksudnya: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama." (Fathir: 28)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui." (Al-Anbiya': 7)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Allah menyatakan bahawasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyetakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Ali-Imran: 18)
Demikianlah kedudukan ulama diangkat, mereka merupakan orang-orang yang paling takut diantara manusia, mereka merupakan tempat pertanyaan bagi orang yang tidak mengetahui dan merekalah orang-orang yang mengenali Allah, nama-nama dan sifat-sifatNya, dan perbuatanNya sehingga membuat mereka paling takut dengan Allah.
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah kerana kurnia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan kecuali sebahagian kecil sahaja (di antara kamu)." (An-Nisa': 83)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Nescaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa darjat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al-Mujadalah: 11)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Dan katakanlah: Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaha: 114)
Imam Ibn Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata:
"Jelas maksudnya menunjukkan keutamaan ilmu, sebab Allah tidaklah memerintahkan NabiNya untuk meminta tambahan apa-apa selain ilmu. Yang dimaksudkan dengan ilmu di sini ialah ilmu syar'i yang berguna untuk memperlihatkan apa yang wajib bagi seorang mukallaf berupa perintah agama dalam ibadah dan muamalatnya, serta ilmu tentang Allah dan sifatNya, juga apa yang wajib ditegakkannya berupa perintah dan mensucikanNya dari kekurangan. Itu semua berasaskan pada tafsir, hadis dan fiqh." (Fathul Bari 1/141)
Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam berkata:
"Siapa yang Allah kehendaki baginya kebajikan maka Dia akan membuatnya faqih (mahir) tentang agama. Saya hanyalah Qasim (pembagi), Allah yang memberi. Serta senantiasa ada dari umat ini orang-orang yang tegak di atas perintah Allah tanpa memudaratkan mereka sesiapa yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah." (Hadis riwayat Bukhari)
Imam Ibn Hajar rahimahullah berkata:
"Telah dipastikan bahawa mereka yang dimaksudkan ialah ulama atsar. Imam Ahmad berkata: Kalau mereka itu bukan ahli hadis, maka saya tidak tahu lagi siapa mereka." (Fathul Baari 1/164)
Beliau rahimahullah berkata lagi:
"Pemahaman yang dapat diambil dari hadis ini: Sesungguhnya siapa yang tidak faqih tentang agama Islam, ertinya tidak mempelajari asas-asas Islam dan cabang-cabangnya, maka dia telah diharamkan dari kebajikan. Abu Ya'la telah mengeluarkan hadis Mu'awiyah dari jalur lain yang dhaif (lemah), di mana dia tambahkan pada akhirnya:
"...Sedangkan sesiapa yang tidak mahu memahirkan di dalam agama, maka Allah tidak mempedulikannya."
Namun, maknanya benar kerana orang yang tidak mengetahui urusan agama bererti tidak faqih dan tidak pula mempelajari fiqh, maka benarlah jika dikatakan bahawa dia tidak dikehendaki mendapatkan kebajikan. Di sini ada penjelasan yang jelas tentang keutamaan tafaquh fiddin (memahirkan di dalam agama) di atas seluruh ilmu lainnya." (Fathul Baari 1/165)
Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dihadapkan Nuh pada hari kiamat. Maka baginda ditanya: 'Apakah engkau telah menyampaikan (tugas kerasulan)?' Beliau menjawab: 'Ya wahai Tuhanku.' Lalu umatnya ditanya: 'Adakah dia telah menyampaikan kepada kalian?' Mereka menjawab: 'Tidak ada seorang pun pemberi peringatan yang datang kepada kami.' Maka dikatakan kepada Nuh: 'Siapakah saksimu?' (Nabi Nuh) menjawab: 'Muhammad dan umatnya.' Maka kalianpun dihadapkan dan memberikan persaksian.
Kemudian Rasulullah membaca:
Maksudnya: "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang wasath (pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu." (Al-Baqarah: 143) (Hadis riwayat Bukhari)
Imam Ibn Hajar rahimahullah berkata:
"Al-Wasath ialah adil, sebagaimana telah lalu dalam tafsir surah Al-Baqarah. Kesimpulan isi ayat ini adalah penyebutan tentang nikmat pemberian hidayah dan keadilan. Adapun ucapannya 'dan apa yang diperintahkan...' kesesuaiannya dengan hadis tema ini tidak jelas. Sepertinya dari sudut sifat tersebut, yakni keadilan. Sebab ia meliputi semuanya berdasarkan zahir penyempaian yang mengisyaratkan bahawa ia merupakan sebuah keumuman yang diinginkan dengannya sesuatu yang khusus atau keumuman yang dikhususkan. Kerana orang jahil tidak termasuk orang-orang yang adil, tidak pula sebagai ahli bid'ah. Maka ketahuilah bahawa yang dimaksukan dengan sifat tersebut adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Merekalah ahli ilmu syar'i." (Fathul Baari 16/133)
Wahb bin Munabbih berkata: "Seorang faqih yang menjaga kesucian, zuhud dan komitmen kepada sunnah itulah pengikut para nabi di setiap zaman." (Al-Ibanah, Ibn Baththah, 1/201)
Sufyan bin 'Uyainah berkata: "Manusia yang paling utama kedudukannya di hari kiamat adalah yang menjadi perantara Allah dengan makhluknya." Maksudnya Rasulullah dan ulama. (Ibid 1/202)
Salamah bin Sa'id berkata: "Dahulu dikatakan ulama itu penerang semua zaman. Setiap ulama adalah lampu bagi zamannya. Penduduk masa itu mengambil cahaya dari dirinya. Dikatakan juga: Ulama menghapus tipu daya syaitan." (Ibid 1/203)
Imam Ibn Baththah Al-'Akbari berkata:
"Semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang yang menghidupkan kebenaran dan sunnah serta mematikan kebatilan dan bid'ah, di mana penduduk masa itu mengambil cahaya dari pancaran ilmunya, serta dia mampu menguatkan hati para saudaranya yang beriman." (Ibid)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram." (Ali-Imran: 106)
Ibn 'Abbas radhiallahu 'anhuma berkata:
"Orang-orang yang putih berseri mukanya ialah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ulama, sedangkan orang-orang yang hitam muram wajahnya adalah ahli bid'ah dan dholal (kesesatan)." (Syarah Usul I'tiqad Ahlis Sunnah, Imam Al-Lalika'i 1/71)
Firman Allah Ta'ala:
Maksudnya: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu." (An-Nisa: 59)
Ibn 'Abbas radhiallahu 'anhuma berkata tentang firman Allah '...dan ulil amri di antara kamu.':
"Yakni ahli fiqh, ahli dalam agama Islam dan orang-orang yang taat kepada Allah, orang-orang yang mengajarkan makna-makna agama kepada manusia, beramar makruf dan nahi mungkar, maka Allah mewajibkan para hamba untuk mentaati mereka." (Syarah Usul I'tiqad Ahlis Sunnah 1/73)
Ketahuilah sesungguhnya kebajikan dan kebahagiaan bergantung pada keberadaan ulama. Jika ulama-ulama telah pergi, maka akan tersebarlah kejahilan dan musibah. Maka akan berlakulah orang-orang jahil menjadi pemimpin kepada masyarakat yang jahil. Mereka ini sesat lagi menyesatkan.
Umar bin 'Abdul 'Aziz menulis surat kepada Abu Bakr bin Hazm:
"Lihatlah mana hadis rasulullah kemudian tulislah, kerana sesungguhnya saya bimbang hilangnya ilmu dan perginya ulama. Janganlah engkau menerima selain hadis Nabi dan sebarkanlah ilmu. Duduklah sehingga orang yang tidak tahu menjadi tahu, kerana sesungguhnya ilmu tidaklah terhapus sehingga ia (sebelumnya) berupa sesuatu yang rahsia." (Fathul Baari 1/194)
Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan begitu sahaja dari para hamba. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama. Sehingga ketikamana tidak tersisa lagi seorang alim, maka orang-orang pun mengambil orang-orang jahil sebagai pemimpin. Mereka ditanya lalu mereka memberi fatwa. Mereka sesat lagi menyesatkan." (Hadis riwayat Bukhari)
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhuma berkata:
"Bagaimana kalian ketika kalian telah diselimuti dengan fitnah, yang di dalamnya orang dewasa hidup menjadi renta dan anak-anak hidup menjadi dewasa, sehingga manusia menjadikannya sebagai adat kebiasaan yang apabila diubah, maka mereka mengatakan: 'Adat diubah!' Orang-orang bertanya: 'Bilakah hal itu akan terjadi, wahai Abu Abdirrahman (gelaran Ibn Mas'ud)?" Ibn Mas'ud menjawab: 'Di saat semakin banyak para pembaca Al-Quran akan tetapi sedikit yang memahami, banyak pemimpin dan sedikit anak-anak kalian, lantas kalian mencari dunia dengan amalan akhirat." (Riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra, ms. 453)
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhuma berkata:
"Wahai hamba Allah, apakah kalian tahu bagaimana Islam itu berkurang dari manusia? Mereka menjawab: 'Ya, sebagaimana lemak binatang ternak berkurangan, sebagaimana lunturnya warna pakaian dan sebagaimana duit menjadi hitam kerana lama disimpan.' Beliau berkata: 'Ini di antaranya. Namun lebih dari itu ialah pemergian ulama. Di suatu kawasan terdapat dua alim, satu meninggal maka hilanglah setengah ilmu mereka dan satu lagi meninggal maka hilanglah seluruh ilmu mereka. Pemergian ulama merupakan pemergian ilmu." (Ibid, ms. 454)
Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhuma berkata:
"Tidak datang kepada kalian satu hari yang baru melainkan ia lebih buruk daripada hari sebelumnya, begitulah sampai tegak hari kiamat. Saya tidak memaksudkan kemewahan hidup yang dimilikinya atau harta yang bernilai baginya. Akan tetapi, tidaklah datang kepada kalian hari yang baru melainkan hari itu lebih sedikit ilmunya daripada hari sebelumnya. Kalau ulama telah pergi maka manusiapun duduk terdiam, mereka tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Ketika itulah mereka binasa."
Dari jalur Asy-Sya'bi, Ibn Mas'ud berkata: "Tidak datang kepada kalian masa yang baru melainkan dia lebih buruk daripada sebelumnya. Saya tidak maksudkan seorang pemimpin yang lebih baik dari pemimpin lainnya atau satu tahun yang lebih baik dari tahun lainnya. Akan tetapi ulama dan fuqaha kalian pergi lalu kalian tidak lagi mendapatkan pengganti mereka. Kemudian datanglah suatu kaum yang berfatwa dengan akal mereka semata-mata."
Dalam lafaz lain: "Itu bukanlah tentang banyaknya melimpah hujan atau sedikitnya, akan tetapi tentang pemergian ulama. Kemudian muncullah suatu kaum yang memberikan fatwa dalam semua perkara dengan akal mereka, sehingga dia merosakkan Islam dan merobohkannya." (Fathul Baari 13/21)
Fudhail bin 'Iyadh berkata: "Bagaimana engkau kalau engkau tetap hidup sampai suatu zaman yang saat itu engkau menyaksikan suatu kaum yang tidak dapat membezakan antara kebenaran dengan kebatilan, tidak juga antara seorang yang beriman dengan yang kafir, tidak juga antara jahil dengan yang alim, tidak mengenal perkara makruf dan tidak mengenal yang mungkar."
Ibn Baththah memberi komentar di atas:
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Hal itu telah sampai kepada kita dan kita telah mendengarkannya, kita telah mengetahui kebanyakannya dan menyaksikannya. Andaikata seseorang yang telah Allah berikan baginya akal sihat dan pandangan tajam menatap dengan teliti, memikirkan baik-baik keadaan Islam dan umatnya, menilai umat berdasarkan metodologi yang lurus, maka tentu akan menjadi jelas baginya bahawa kebanyakan manusia telah berpaling dan menyimpang dari jalan yang terang dan hujjah yang benar.
Banyak manusia pada waktu ini telah berubah dengan memandang baik apa yang dahulu mereka pandang buruk, mereka menghalalkan apa yang dulunya mereka memandang haram, serta mereka telahpun mahu menerima apa yang tadinya mereka ingkari.
Ini -semoga Allah merahmatimu- bukanlah akhlak kaum muslimin dan bukan pula tindakan mereka yang benar-benar mengatahui agama Islam ini, serta mereka bukanlah ahli Iman dan yakin akan Islam." (Al-Ibanah 1/188)
Kita lihat apa yang dikatakan oleh Al-Imam Ibn Baththah Al-'Akbari terhadap apa yang dikatakan oleh Fudhail bin 'Iyadh radhiallahu 'anhu, iaitu di waktu itu telah pun berlaku manusia yang tidak dapat membezakan yang mana baik dan buruknya, yang mana benar dan batilnya, yang mana iman dan yang mana kufurnya dan begitulah seterusnya padahal Ibn Baththah berada di abad yang keempat. Bagaimana pula jika kita ukur dengan waktu kita pada hari ini? Sudah tentu lebih jauh hebat kejahilan yang dihadapi pada hari ini. Sungguh pada hari ini ramainya kelompok-kelompok Islam yang cuba menisbahkan diri mereka dengan kebenaran akan tetapi mereka yang sebenarnya jauh dari kebenaran.
Ibn Qutaibah rahimahullah berkata:
"Andaikata mereka mengembalikan apa yang tidak jelas dari Al-Quran dan As-Sunnah kepada ulama ahlinya, maka tentu akan jelas perkaranya bagi mereka dan penyelesaian akan lebih kelihatan luas. Akan tetapi yang menghalangi itu adalah mencari kedudukan, ingin mendapatkan pendokong, serta manusia itu laksana sekelompok burung yang sebahagiannya mengikuti sebahagian lainnya. Sekiranya muncul seorang mengaku sebagai nabi -padahal mereka sedar bahawa Rasulullah adalah penutup para nabi- atau mengaku sebagai Tuhan, nescaya kita akan melihat ada yang menjadi pengikut dan pendokongnya." (Takwil Mukhtalafi Hadis, ms. 43)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
"Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di setiap masa kekosongan rasul, ulama-ulama yang tinggal mengajak menjauhi kesesatan kepada hidayah, bersabar menanggung gangguan. Mereka menghidupkan orang-orang mati dengan Kitabullah, menjadikan orang buta melihat dengan cahaya Allah. Sudah berapa banyak korban Iblis yang mereka selamatkan, berapa banyak orang sesat tak berharga yang memberi petunjuk.
Aduhai alangkah indah prestasi mereka untuk manusia tapi alangkah buruk balasan manusia kepada mereka. Mereka membersihkan Kitabullah dari perubahan orang-orang yang melampaui batas, muslihat ahli batil, dan takwil orang-orang yang jahil: Yakni orang-orang yang mengibarkan bendera bid’ah dan melepaskan ikatan fitnah. Mereka itu berselisih tentang Al-Quran, menyelisihi Al-Quran, dan bersepakat untuk meninggalkan Al-Quran. Mereka mengatakan terhadap Allah, tentang Allah, dan tentang Kitabullah tanpa ilmu. Mereka berbicara dengan ayat mutasyabih (samar-samar) dan menipu orang bodoh dengan kesamaran itu. Kita berlindung kepada Allah dari fitnah orang-orang yang menyesatkan.” (Ar-Radd ‘Ala Az-Zanadiqah wal Jahmiyah, ms. 6)
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhufairi berkata:
“Maka ulama rabbani sebagaimana yang disifatkan oleh Al-Ashbahani -ringkasnya- adalah orang-orang yang alim tentang syariat Islam, mengikuti Sunnah, dan beragama kepada Allah dengan Al-Quran dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salafus soleh.
Adapun ahli kalam, mereka itu bukan ulama semisal dengan mereka di zaman kita ini adala orang-orang yang mendapat gelaran cendikiawan muslim, pemikir, ahli waqi’ (realiti), atau politik. Maka bagaimana kita akan merasa aman terhadap agama dan aqidah kita di saat kita berpegang kepada orang yang seperti mereka itu atau kita membawa para pemuda dan orang-orang kepada mereka?
Kemudian orang yang mengetahui sejarah umat Islam sejak terbitnya fajar Islam, anak jelas kelihatan baginya bagaimana Allah menjaga agama-Nya setelah pemergian Nabi, ulama Ahli Sunnah dan Ahli Hadis.
Merekalah yang melakukan perjalanan dari satu negeri ke negari lainnya untuk mengumpulkan hadis Rasulullah kemudian membukukannya dalam lembaran-lembaran dengan berbagai-bagai ragam seperti Musnad, Majma’, Mushannaf, Sunan, Muwatto’, kitab-kitab Zawa’id, dan Mu’jam. Mereka menjaga hadis-hadis Rasulullah dari pemalsuan para pemalsu dan kebohongan dari para pembohong, membezakan antara yang sahih dengan yang cacat. Mereka meletakkan kaedah-kaedah hadis, yang dengannya dapat dibezakan antara hadis yang dapat diterima atau ditolak dan dengannya para perawi dapat dikenalpasti. Mereka tuliskan nama-nama orang yang tsiqah, dhaif, atau pemalsu. Mereka menukilkan pemerhatian para imam jarah wat ta’dil (cercaan dan pujian) tentang orang-orang itu. Bahkan mereka menyendirikan riwayat satu orang rawi; riwayat penduduk Syam, penduduk ‘Iraq, penduduk Hijaz, riwayat seseorang sebelum pemikirannya kacau dan sesuadahnya dan seterusnya.
Sesungguhnya orang-orang yang mengetahui ilmu ini, pembahagian, jenis, dan kitab-kitab yang menuliskan tentangnya, tentu akan merasa kagum melihat betapa besar bantuan mereka terhadap hadis Nabi.
Mereka pulalah yang berdiri tegak menjelaskn aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah dengan semua babnya, membantah ahli bid’ah dan penyimpang, memperingatan dari ahlul ahwa dan bid’ah, melarang duduk dan berbicara dengan mereka, tidak membalas salam mereka. Bahkan mereka melarang menikah dengannya sebagai penyandaran bagi dia dan orang-orang sepertinya. Mereka menulis karangan yang sangat banyak tentang ini (berkenaan sikap ahli sunnah terhadap ahli bid’ah).
Merekalah yang banyak bergerak mengumpulkan hadis-hadis dan atsar untuk mentafsirkan Al-Quran seperti Tafsir Abi Hatim, Ash-Shan’ani, An-Nasai. Dan diantara mereka ada yang mentafsirkan Al-Quran secara sempurna, seperti Tafsir At-Thabari, Ibn Katsir, dan lainnya. Mereka meletakkan kaedah-kaedah penafsiran Al-Quran, serta membezakan antara tafsir dengan atsar dan antara tafsir dengan rakyi (akal).
Merekalah yang menyusun kitab fiqh lantas menulis kesemua babnya, membahas permasalahannya, menjelaskan hukum syariat yang berhubungan dengan amalan disertai dalil-dalilnya dengan terperinci dari Al-Quran, As-Sunnah, Ijmak dan Qias. Mereka meletakkan kaedah-kaedah fiqh yang menggabungkan persoalan furu’ (cabang) yang banyak namun disatukan oleh satu ‘illah (sebab). Mereka meletakkan usul fiqh yang menjadi dasar penimbang hukum furu’ syariat.
Merekalah yang menulis tentang sirah, tarikh, adab, zuhud, pelembut hati, bahasa, nahu dan selainnya dalam bidang yang sangat banyak.
Ulama itu pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun hanyalah mewariskan ilmu. Ulama Ahlus Sunnah telah mendapatkan jatah yang paling sempurna dari ilmu tersebut. Mereka mengumpulkan ilmu, menjelaskan agama kepada manusia, membela sunnah dan aqidah yang murni untuk umat. Mereka itu seperti Ahmad bin Hanbal, Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim Abu Daud, At-Tirmizi, An-Nasai, Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, ‘Ali bin AlMadini, Yahya bin Sa’id Al-Qahthan, Asy-Syafi’i, ‘Abdullah bin Al-Mubarak, ‘Abdurrahaman bin Mahdi, Ibn Khuzaimah, Ad-Daruqutni, Ibn Qudamah Al-Maqdisi, Ibn Abdil Barr, Al-Khatib Al-Baghdadi, dan banyak lagi.
Demikian juga orang-orang yang menelusuri jejak para ulama itu seperti Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah beserta murid-muridnya: Aibnul Qayyim, Adz-Dzahabi, dan Ibn ‘Abdil Hadi, yang telah mengarang banyak sekali kitab yang bermutu, membela aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah, menerangkan agama Islam yang sahih disertai dalil-dalilnya yang tegas dan bukti memuaskan.
Sampai sekarang ni, para penuntut ilmu masih menuntut ilmu fiqh melalui kitab-kitab mereka ini dan mengambil darinya. Bahkan sekalipun dipelbagai universiti dan majlis ta’lim. Semuanya menjadikan karangan para ulama tersebut sebagai silibus pembelajaran.
Demikian pula orang-orang yang berjalan mengikuti manhaj mereka, seperti Mujaddid Dakwah Tauhid Syeikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, anak-anak dan para ulama Najd, murid-muridnya beserta orang-orang yang menempuh jalan yang sama dari para ulama dunia Islam, seperti Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, ulama India, ulama Mesir (Muhibuddin Al-Khatib, Ahmad Syakir, Muhammad Hamid Al-Faqi), ulama Sudan, Maghribi dan Syam. Semuanya bangkit menyebarkan hadis dan aqidah salafiyah di masing-masing negeri mereka...
Di antara ulama kotemporari kita -sebagai contoh, tidak meliputi kesemuanya-:
1 - Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Bekas Mufti Kerajaan Arab Saudi.
2 - syeikh Muhaddis Muhammad Nasiruddin Al-Albani.
3 - Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah ‘Alu Asy-Syaikh.
4 - Syeikh Shalih Al-Athram.
5 - Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
6 - Syeikh Shalih Al-Fauzan
7 - Syeikh Abdullah Al-Ghadayyan.
8 - Syeikh Al-Luhaidan.
9 - Syeikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
10 - Syeikh At-Tuwaijiri.
11 - Syeikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad.
12 - Syeikh Hammad Al-Anshari.
13 - Syeikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali.
14 - Syeikh Muhammad Aman Al-Jami.
15 - Syeikh Ahmad Yahya An-Najmi.
16 - Syeikh Zaid bin Muhammad Hadi Al-Madkhali.
17 - Syeikh Shalih As-Suhaimi.
18 - Syeikh Shalih Al-‘Abud, dan para ulama negeri Islam lainnya.
Kita memohon kepada Allah Dat yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri untuk selalu menjaga mereka yang masih hidup dan merahmati yang telah meninggal, memberi kita taufiq agar dapat menempuh jalan mereka, serta mengumpulkan kita dan mereka bersama Nabi Muhammad contoh teladan kita di dalam Firdaus tertinggi.” (Dinukil dari ‘Hujah Atas Pengekor Hawa & Pengkhianat Sunnah, Asy-Syeikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zufairi, Pustaka Al-Haura, ms. 104-111. Judul Aslinya: Sillu As-Suyuf wa Al-Alsinah ‘ala Ahli Al-Ahwa wa Ad’iya As-Sunnah.)