Jumaat, 21 Mei 2010

20th May - Day Of Dumb Muslims

  1. Do we really have to boycott facebook on that single day?
  2. What is the purpose of boycotting on that single day?
  3. Boycotting them on that single day will never bring any benefits?
  4. Facebook does not need muslims and they dont really care about muslims, so by boycotting them, it will not make them any better, in fact many muslims still love to use facebook.
  5. Boycotting them on that particular day, it will only allow them to humiliate and dishonor prophet sallallahu alayhi wasallam more and more while others are sitting and relaxing themselves.
  6. Its a shame, these people are boycotting them one day and then the next day, they will use it again. So it means, you are the one, who cannot live without facebook and thats why you are using it.
  7. Defending the prophet sallallahu alayhi wasallam is not in these cheap ways. Islam has been attacked since the day it emerge. From that time until this day, the enemies keep on attacking Islam and the prophet sallallahu alaysi wasallam. So we dont need a single particular day to defend his honor. infact this is the tactics and psycho-warfare used by the enemies to bring muslims into this kind of foolishness activities.
  8. All this while, thousands or perhaps millions of people dont really know about this issue but who is mastermind behind all this nonsense activities? Indeed it is the same enemy if Islam who try to promote their cause and then by using psychological warfare, they bring or pull in muslims into this order or to make their cause more famous.
  9. So if they alone (the enemies) promote this day, this will not harm Islam in any way but it will only bring more people into Islam. But the problem is, they need someone to deliver their messege and they knew, muslims can be easily brainwashed and we have seen this reality by how many dumb muslims promoting this 20th May and spreading this 20th May event to reach the entire world.
  10. The enemies are succesful by brainwashing these dumb muslims into their cause and event. All this while, why are this muslims sleeping and dont do their duty? Why suddenly want to make up on this particular 20th May event? Soon after these 20th May event passed, almost 80% of them will back to normal behavior.
  11. Defending the prophet sallallahu alayhi wasallam is not a single day as how these foolish muslims has been brainwashed, but defending the prophet sallallahu alayhi wasallam is like how the scholars do, practising the sunnah, implementing it in their life, teaching and spreading the deen, teach the people correct aqeedah and manhaj, teach others the sunnah and explain the deen to others. So this is on going thing which we always do and not just making this issue of 20th May as a famous event.
  12. Without realising the reality, these dumb brainwashed muslims already helped them in a massive scale, to promote their cause, website, events and the caricature. So every coming year, perhaps this will be a Day Of Humiliating Prophet sallallahu alayhi wasallam by the enemies of Islam and on the other hand, it will be a Bid'aah (Innovation) for those muslims to hold these 20th day as a Day Of Honoring Prophet sallallahu alayhi wasallam. So the enemies succeed in their plan and thanks to these bunch of foolish muslims who helped them. 
The means of achieving unity are:

First: Correcting one's Creed, such that it becomes purified from Shirk. Allah says:

"Verily this nation of yours is one (unifield) nation, and I am your Lord, dutiful to Me." (Glorious Qur'aan: Surah Al-Mu'minoon, 23: v52)

Second: Hearing and Obeying the Muslim Rulers, which is why the prophet sallallahu alayhi wasallam said:

"I counsel you to have Taqwaa (fear/obedience) of Allaah, and to hear  and obey (the rulers) even in an Abysinnian slave assumes leadership over you. For indeed, whoever lives (long) among you will see great differing..."

The reason for this is because disobeying the Muslim ruler results in differing.

Third: Returning back to the Book and the Sunnah to quell disputes and end differing. Allaah says:

"So if you differ in some matter, then return it back to Allaah and His Messenger, if you truly believe in Allaah and the Last Day. That is better ang more suitable for final determination." (Glorious Qur'aan: Surah An-Nisaa, 4: v59)

Fourth: Rectifying and reconciling, when when disputes occur, between individuals or between nations. Allaah says:

"So fear Allaah and rectify all metters of dispute amongst you." (Glorious Qur'aan: Surah Al-Anfaal, 8: v1)

Fifth: Fighting the transgressors and Khawaarij who seek to split the Muslim's unity. If they are strong and powerful, they will demolish the Muslim society and corrupt the ummah. Allaah says:

"But if one of them transgresses." (Glorious Qur'aan: Surah Al-Hujuraat, 49: v9)

Be Wise. Be Smart. Be Procuctive. Barak Allahu Feekum

    Rabu, 19 Mei 2010

    PRINSIP PRINSIP MENGKAJI AGAMA

    Penulis: Al-Ustaz Qomar Suaidi

    Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat sahaja. Mestilah juga tahu dasar-dasar yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

    Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dinul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengatakan jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan menguruskan qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-hura (pesta) politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari satu daerah ke satu daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

    Namun lihat pula sekeliling kita. Keadaan umat Islam masih begini-begini juga. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya semakin bertambah parah.

    Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat keadaan umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya sahaja? Mengapa mereka justeru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berpankal kesia-siaan?

    Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat diperlukan umat.

    Berikut kami akan menghuraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok (asas) dan perlu untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya kerana ianya banyak sementara ruang yang ada terbatas.

    Makna Manhaj

    Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

    “Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)

    Kata minhaj, sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah ertinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).

    Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah dasar yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

    1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya iaitu Al Qur’an dan As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman:

    “Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)

    Dan Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

    “Ketahuilah bahawasanya aku diberi Al-Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya (yakni As-Sunnah).” (Sahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)

    2. Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus soleh yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam:

    “Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Sahih, HR Bukhari dan Muslim)

    Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

    Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengkhabarkan bahawa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu bererti bahawa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebahagian sisi sahaja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)

    Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahawa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar kerana mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan bila turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan hadis. Keadaan yang seperti ini tentu sangat mendokong terhadap pemahaman agama. Oleh kerana itu, para ulama mengatakan bahawa ketika para sahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Ertinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

    Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para sahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeza pendapat maka kami mengambil sebahagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].

    Begitu pula Muhammad bin Al-Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang sepertinya, ketiga apa yang disepakati oleh para sahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

    Oleh kerana itu Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)

    Hal itu -wallahu a’lam- kerana Nabi bersabda:

    “Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]

    Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Kerana jika demikian bererti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Kerana kebenaran itu pasti ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka pasti salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

    3. Tidak melakukan taqlid atau ta’assub (fanatik) mazhab. Allah berfirman:

    “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

    “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

    Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al-Qur’an atau hadis. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya bererti mesti ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahawa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, walau siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)

    Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam mazhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahawa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahawa kebenaran itu terbatas padanya dan bahawa yang keluar darinya bererti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihad yang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).

    Sebaliknya, ta’assub (fanatik) pada mazhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tidak hairan kalau sampai ada dari kalangan ulama mazhab mengatakan: “Setiap hadis yang menyelisihi mazhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”

    Akhirnya mazhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadis. Bahkan ta’assub seperti itu membuat kesan buruk terhadap agama Islam sehingga menghalangi seseorang masuk Islam sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih mazhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih mazhab Syafi’i. Mendengar jawapan-jawapan itu mereka sangat kehairanan dan bingung sehingga terhalang dari jalan Islam. [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)

    4. Waspada dari para da’i jahat. Jahat yang dimaksudkan bukan dari sisi kekejaman tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Ertinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya agar mereka dapat mentafsirkan menurut kehendak mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:

    “Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali-Imran: 7)

    Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah ertinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahawa mereka berhujjah dengan Al-Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al-Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya ertinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]

    5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu kerana urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak boleh seseorang sembarangan atau asal comot (sambil-lewa - edt) dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan kerana ini akan berakibat kerosakan sampai di akhirat kelak. Maka dia mesti tahu siapa yang akan dia ambil ilmu agamanya.

    Jangan sampai dia mengambil agama dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar kerana selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekadar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhuatirkan, dia akan memiliki pemahaman-pemahaman yang salah kerana hal tersebut.

    Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para perawi yang meriwayatkan) hadis, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kamu, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima hadisnya dan melihat kepada ahli bid’ah lalu menolak hadisnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Sahih-nya)

    Nabi sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

    “Keberkatan itu berada pada orang-orang besar kamu .” (Sahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)

    Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:

    “Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.” Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari sahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan disahihkan olehnya)

    Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebahagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadis di atas: “Bahawa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadis Umar dan hadis-hadis yang semakna dengannya adalah orang yang diminta berfatwa padahal tidak mempunyai ilmu. Dan orang yang besar ertinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para sahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).

    6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasional, kerana agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:

    “Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘Sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45)

    “Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Qur’an) menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

    Sungguh berbeza antara wahyu yang bersumber dari Allah Zat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding dengan akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

    Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al-Qur’an ataupun hadis yang sahih kerana tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang mestilah menundukkan akalnya di hadapan keduanya (yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah -edt).

    Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bahagian bawah khuf (seperti  sarung kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk disapu (pada saat berwudhu - red) daripada bahagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah menyapu bahagian atas khuf-nya.” (Sahih, HR Abu Dawud disahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).

    Pada ucapan beliau ada keterangan bahawa dibolehkan seseorang mengusap bahagian atas khuf-nya atau sarung kaki atau kasutnya ketika berwudhu dan tidak perlu menanggalkannya jika memenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi perbahasan kita disini adalah ternyata yang disapu justeru bahagian atasnya, bukan bahagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak disapu adalah bahagian bawahnya kerana itulah yang kotor.

    Ini menunjukkan bahawa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sihat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Boleh jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita ketahui.

    Jangan sampai ketidaktahuan kita menjadikan kita menolak hadis yang sahih atau ayat Al-Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh isikap Ali bin Abi Thalib di atas.

    Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terdetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah melihat hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Kerana sesungguhnya kedua-duanya (Al-Kitab dan As-Sunnah -edt) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia terkadang benar dan terkadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)

    Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahawa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:

    • Pendapat akal yang menyelisihi nash Al-Qur’an atau As-Sunnah.
    • Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang diiringi dengan sikap meremehkan mempelajari nas-nas, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
    • Pendapat akal yang mengakibatkan penolakan terhadap asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
    • Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
    • Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekadar dengan anggapan baik dan prasangka.
    Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)

    7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

    “Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu baginda membaca ayat, ertinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmizi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)

    Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus soleh adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).

    Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul batil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Kerana perbuatan yang demikian ini mengandungi ajakan kepada kebatilan dan membuat kesamaran pada yang hak serta merosakkan agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)

    Oleh kerana itu, Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:

    “Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu (Tuhan-Mu) dengan hikmah, nasihat yang baik dan berdebatlah dengan cara yang paling baik.” (An-Nahl: 125).

    Para ulama menerangkan bahawa perdebatan yang paling baik dapat terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan berdiskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta bersedia menerima yang hak jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembali orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).

    Perdebatan para sahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasihat. Boleh jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)

    Inilah beberapa dasar-dasar dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an mahupun hadis yang sahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu dapat menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap dapat beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya sallallahu 'alaihi wasallam.

    Disunting semula oleh Abu Soleh

    Isnin, 17 Mei 2010

    Dzikir Tak Terbatas Waktu

    Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


    كلمتان خفيفتان على اللسان ، ثقيلتان في الميزان ، حبيبتان إلى الرحمن : سبحان الله وبحمده ، سبحان الله العظيم


    "Dua kalimah yang ringan diucap dengan lidah, berat timbangan pahalanya dan disenangi oleh Allah Yang Maha Pemurah: Subhanallah wa bihamdih (Maha suci Allah dan dengan kepujianNya) dan Subhanallahil 'Azim (Maha suci Allah dengan segala keagunganNya)."

    - Hadis sahih diriwayatkan oleh Bukhari (6406, 6682, 7563), Muslim (dzikir dan doa / 31), at-Tirmizi (3467), Ibn Majah (3806), an-Nasa-i dalam kitab Amal Yaum wa Lailah dari hadis Abu Hurairah radiallahu 'anhu.

      
    Dari Abu Dzar radhiallahu'anhu:


    قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم : (ألا أخبرك بأحب الكلام إلى الله تعالى ؟ إن أحب الكلام إلى الله : سبحان الله وبحمده) وفي رواية : سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم : أي الكلام أفضل ؟ قال : ما اصطفى الله لملائكته أو لعباده : سبحان الله وبحمده


    "Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Mahukah kamu aku beritahu sesuatu ucapan yang paling disukai oleh Allah Ta'ala? Sesungguhnya ucapan yang paling disukai oleh Allah: (ialah) Subhanallahi wabihamdih (Maha suci Allah dan dengan kepujianNya). Dalam riwayat lain, Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang bacaan yang paling utama, beliau bersabda, bacan yang telah dipilih oleh Allah untuk para MalaikatNya atau hamba-hambaNya, iaitu Subhanallahi wa bihamdih."

    - Hadis sahih diriwayatkan oleh Muslim (dzikir dan doa / 84-65), Tirmizi (3593), dari hadis Abu Dzar al-Ghifari radiallahu 'anhu.

    Dari Samurah bin Jundab radhiallahu 'anhu, ia berkata:



    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أحب الكلام إلى الله تعالى أربع : سبحان الله ، والحمد لله ، ولا إله إلا الله ، والله أكبر ، لا يضرك بأيهن بدأت


    "Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Bacaan yang paling disukai oleh Allah Ta'ala ada empat, iaitu Subhanallah (Maha suci Allah), walhamdulillah (dan segala puji bagi Allah), wa laa ilaa haillallah (dan tiada Ilah kecuali Allah), wallahu Akbar (dan Allah Maha Besar), tidak ada salahnya kalimah manapun yang kamu memulakan membacanya."

    - Hadis sahih diriwayatkan oleh Muslim (Adab / 12) ada kelengkapan hadis tersebut dalam sahih Muslim, Ibn Majah (3811) dengan ringkas, An-Nasa-i dalam Amal Yaum wa Lailah.

    Dari Abu Malik Al-Asy'ari radhiallahu'anhu, ia berkata:



    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (الطهور شطر الإيمان ، والحمد لله تملأ الميزان ، وسبحان الله والحمد لله تملآن ، أو تملأ - ما بين السموات والأرض


    "Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda, " Bersuci sebahagian dari pada iman, bacaan Al-Hamdulillah (segala Puji bagi Allah) memenuhi timbangan amal, sedangkan Subhanallah walhamdulillah tamla'an, au tamla'u maa baynas samawati wal ardhi (Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah yang kebaikanNya memenuhi apa-apa yang ada di langit dan di bumi)."

    - Hadis sahih riwayat Muslim (Thaharah / 1) dari hadis Abu Malik al-Asy'ari, dan diriwayatkan oleh Tirmizi (3517), An-Nasai dalam Amal Yaum wa Lailah.

    Dari Juwairiyah Ummul Mukminin (Isteri Nabi sallallahu'alaihi wasallam):


    "Sesungguhnya Nabi sallallahu 'alaihi wasallam keluar meninggalkan Juwairiyah pada awal pagi, ketika ia hendak melaksanakan solat subuh, sedangkan Juwairiyah duduk duduk di tempat solatnya, kemudian Nabi datang sesudah matahari timbul setinggi penggalah, sedangkan ia tetap duduk di tempat solatnya, Nabi bersabda, "Rupanya kamu tetap seperti aku tinggalkan tadi," Juwairiyah menjawab, "Ya, Nabi sallallahu'alihi wasallam bersabda lagi, "Sesungguhnya tadi aku setelah meninggalkanmu, saya telah membaca empat kalimat sebanyak tiga kali, jika kamu timbang amalan yang engkau baca tadi sampai sekarang tentu akan sebanding empat kalimat itu, kelimah-kalimat tersebut adalah:


    سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَى نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ . وفي رواية: سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ سُبْحَانَ اللهِ رِضَى نَفْسِهِ سُبْحَانَ اللهِ زِنََةَ عَرْشِهِ سُبْحَانَ اللهِ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ


    "Maha suci Allah dan segala puji bagiNya, sejumlah makhlukNya, seluas redhaNya, seberat ArasyNya, dan sebanyak tinta pencatat kalimatNya. Dan menurut riwayat lain: Maha suci Allah sebilang makhlukNya, Maha suci Allah seluas redhaNya, Maha suci Allah seberat ArasyNya dan Maha suci Allah sebanyak tinta pencatat amal kebaikanNya."

    - Hadis sahih diriwayatkan oleh Muslim dalam sahihnya (dzikir / 79), Ibnu Majah (3808) dari jalur Karib dari Ibnu Abbas r.anhuma, dari Juwairiyah.

    Kami meriwayatkan dalam kitab At-Tirmizi dan lafaznya adalah: "Mahukah kamu aku ajarkan kalimat yang akan kamu ucapkan nantinya,


    سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ ، سُبْحَانَ اللهِ رِضَى نَفْسِهِ سُبْحَانَ اللهِ رِضَى نَفْسِهِ سُبْحَانَ اللهِ رِضَى نَفْسِهِ ، سُبْحَانَ اللهِ زِنَةَ عَرْشِهِ سُبْحَانَ اللهِ زِنَةَ عَرْشِهِ سُبْحَانَ اللهِ زِنَةَ عَرْشِهِ ، سُبْحَانَ اللهِ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ سُبْحَانَ اللهِ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ سُبْحَانَ اللهِ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ


    "Maha suci Allah sejumlah makhlukNya (sebanyak 3 kali), Maha suci Allah seluas keredhaanNya (sebanyak 3 kali), Maha suci Allah seberat ArasyNya (sebanyak 3 kali), Maha suci Allah sebanyak tinta amal kebaikanNya (sebanyak 3 kali)."

    - Hadis sahih diriwayatkan oleh at-Tirmizi (3555) ia berkata, "Hadis hasan sahih", An-Nasa-i dalam kitab sunannya bab jenis lain daripada jumlah tasbih dan juga dalam amal yaum wa lailah, dan perkataannya "...dan sebanyak tinta amal kebaikanNya." Atau sepertimana dalam jumlah, atau bahawasanya hal itu tak terhingga, atau dalam jumlah pahala yang akan didapatinya tak terhingga.

    Dari Abu Hurairah radhiallahu alnhu, ia berkata:



    قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " لأَنْ أَقُوْلُ : سُبْحَانَ اللهِ ، وَالْحَمْدُ للهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَاللهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ

    "Rasulullah sallallahu'alaihi wasallam bersabda, "Bila aku mengucapkan: Maha suci Allah segala buji bagi Allah dan tiada Tuhan selain Allah dan Allah maha Besar, adalah lebih aku sukai daripada faedah yang terdapat disaat matahari terbit."

    - Hadis sahih riwayat Muslim (dzikir dan doa / 32), at-Tirmizi (3597), An-Nasa-i dalam kitab Amal Yaum wa Lailah.

    Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallau'anhu:



    عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : مَن قال لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وُلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَئٍ قَدِيْرٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ ، كَانَ كَمَنْ أَعْتَقَ أَرْبَعَةَ أَنفُسٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ

    "Dari Nabi sallallahu'alaihi wasallam: siapa membaca, Tidak ada tuhan selain Allah, Dia yang Esa, tiada sekutu bagiNya, bagi kerajaanNya, bagiNya segala puji, Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu, Sebanyak10 kali, pahalanya adalah sama seperti orang yang memerdekakan empat orang budak dari keturunan Nabi Isma'il."

    - Muttafaqun 'alaih, riwayat Bukhari (6404), dan Muslim (dzikir dan doa / 30).

    Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu: "Rasulullah sallallahu'alaihi wasallam bersabda: Barang siapa yang membaca:



    لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وُلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَئٍ قَدِيْرٌ

    "Tidak ada tuhan selain Allah, Dia yang Esa, tiada sekutu bagiNya, bagi kerajaanNya, bagiNya segala puji, Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu," - pada suatu hari sebanyak 100 kali, adalah baginya kebaikan seperti memerdekakan sepuluh orang budak, dicatat pula baginya 100 kebaikan lainnya, dan dihapuskan darinya seratus macam kejahatan, Pada Hari itu ia terpelihara dari gangguan syaitan sehingga ke petang harinya, tidak ada seorang pun yang lebih baik darinya kecuali mereka yang beramal lebih banyak. Nabi sallallahu'alaihi wasallam bersabda lagi, "Barangsiapa yang membaca:


    سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

    "Maha suci Allah dan dengan kepujianNya, - Sebanyak seratus kali, nescaya dihapukan kesalahan-kesalahannya sekalipun dosanya sebanyak buih dilautan."

    - Muttafaqun'alaih, riwayat Bukhari dalam sahihnya (6403), Muslim (dzikir dan doa / 28), at-Tirmizi (3468), Ibn Majah (3798) dari hadis Abu Hurairah radiallahu 'anhu.

    Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu 'anhu, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah sallallahu'alaih wasallam bersabda:



    أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
    "Sebaik-baik dzikir adalah dzikir Laa ilaaha illaLlah (tiada tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah)."

    - Hadis hasan diriwayatkan oleh at-Tirmizi (3383), Ibn Majah (3800), melengkapi hadis keduanya: "Sebaik-baik doa adalah Al-Hamdulillah." Lihat as-Sahihah, Al-Albani (1497).

    Dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiallahu 'anhu, dari Nabi sallallahu'alaihi wasallam:



    مثل الذي يذكر ربه والذي لا يذكره ، مثل الحي والميت

    "Perbandingan orang yang berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir kepadaNya adalah seperti orang hidup dengan orang mati."

    - Hadis sahih riwayat Bukhari (6407), dan Ibn Abi 'Ashim dalam kitab as-Sunnah (5/14).

    Selasa, 11 Mei 2010

    Hadis Merapatkan Kedua Tumit Dalam Sujud

    فَقَدْتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي. فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصَّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ

    Maksudnya: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pergi dariku ketika saya sedang tidur bersamanya di atas tempat tidurku. Lalu saya menjumpai baginda dalam keadaan bersujud dengan merapatkan kedua tumit kaki baginda, dan hujung jari-jari kaki baginda dihadapkan ke arah kiblat.”

    Hadis ini diriwayatkan oleh: Ibnu Khuzaimah (654) dan dari jalannya: Ibnu Hibban (1933), Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (1/234) dan Musykil Al-Atsar (hal. 111), Al-Hakim (1/228), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (2/116) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid. Semuanya dari jalan: Said bin Abi Maryam (dia berkata) Yahya bin Ayyub mengkhabarkan kepada kami (dia berkata) Umarah bin Ghaziyah menceritakan kepadaku (dia berkata) saya mendengar Abu Nadhrah (dia berkata), saya mendengar Urwah dia berkata: Aisyah berkata….

    Yahya bin Ayyub -rahimahullah-, walaupun hadisnya diriwayatkan oleh ashhab as-sittah kecuali Al-Bukhari (beliau hanya meriwayatkan hadisnya sebagai pendokong), akan tetapi para imam jarh wat ta’dil berbeza pendapat tentangnya. Sebahagiannya ada yang mentsiqahkan dan sebahagian lagi ada yang melemahkannya, bahkan di antara mereka ada yang menjelaskan bahawa di dalam hadisnya ada ghara`ib dan manakir (hadis-hadis yang aneh lagi mungkar), sehingga mesti dijauhi. Imam Ahmad menjelaskan alasan kenapa dia banyak bersalah dalam meriwayatkan hadis, “Dia menceritakan hadis dari hafalannya.” (Adh-Dhu’afa  karya Al-Uqaili, hal. 211)

    Hadis ini adalah hadis yang mungkar, kerana asal hadis Aisyah ini juga terdapat dalam Sahih Muslim dan yang lainnya, akan tetapi tidak ada penyebutan merapatkan kedua tumit. Dan ini menjadi indikasi yang kuat akan kesalahan Yahya bin Ayyub dalam periwayatan hadis ini, tatkala para perawi lainnya tidak ada yang menyebutkan kalimat yang dia sebutkan. Lafaz yang diriwayatkan oleh para perawi selainnya adalah:

    فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ

    “Maka tanganku jatuh di atas kedua telapak kaki baginda.” (HR. Muslim: 1/352, Ahmad: 6/58, 201, Abu Daud: 1/547, An-Nasa`i: 1/102, Ad-Daraquthni: 1/143 dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid: 23/349 )

    Dan dengan lafaz:

    فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى قَدَمَيْهِ

    “Maka saya meletakkan tanganku di atas kedua kaki baginda.” (HR. Malik: 1/214, At-Tirmizi: 5/489, An-Nasa`i: 2/222, Ath-Thahawi dalam Syar Ma’ani Al-Atsar: 1/234 dan Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah: 5/166)

    Syaikh Bakar Abu Zaid -rahimahullah Ta’ala- berkata:

    “Masalah yang kedua: Menggabungkan kedua tumit dalam sujud. Masalah ini diberikan judul seperti ini, terkadang dengan judul “Merapatkan kedua tumit dalam sujud,” terkadang dengan, “Mengumpulkan kedua tumit,” dan terkadang dengan, “Menggabungkan kedua kaki.”

    Saya telah memeriksa ke sejumlah kitab yang masyhur dalam mazhab fiqhi yang empat mengenai keadaan kedua kaki ketika sujud, apakah dirapatkan atau dipisahkan. Akan tetapi saya tidak mendapatkan keterangan apa-apa dari mazhab Al-Hanafiah dan Al-Malikiah. Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah saya mendapatkan keterangan disunnahkannya memisahkan antara keduanya, dan Asy-Syafi’i menambahkan, “Dipisahkan dengan jarak sejengkal.”

    An-Nawawi -rahimahullahu Ta’ala- berkata dalam Ar-Raudhah (1/259), “Saya berkata: Ashhab kami (Asy-Syafi’iyah) berkata: Disunnahkan untuk memisahkan antara kedua kaki.” Abu Ath-Thayyib berkata: Ashhab kami berkata: Jarak antara keduanya adalah sejengkal.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 3/373) 

    Adapun Al-Hanabilah, maka Al-Burhan Ibnu Muflih (Wafat tahun 884 H) -rahimahullahu Ta’ala- berkata dalam Al-Mubdi’ (1/457), “Antara kedua lutut dan kedua kakinya dipisahkan, kerana jika baginda sallallahu 'alaihi wasallam bersujud maka baginda memisahkan antara kedua pahanya. Sedangkan Ibnu Tamim dan selainnya menyebutkan bahawa baginda menggabungkan kedua tumitnya.” Selesai”

    Kemudian beliau (Syeikh Bakar) -rahimahullah- menjelaskan lemahnya hadis Aisyah yang mendokong pendapat Ibnu Tamim dari sisi ilmu hadis, dan keterangannya dapat dilihat di sini. Kemudian beliau berkata:

    “Kesimpulannya: Asal hadis Aisyah ini terdapat dalam Sahih Muslim dan selainnya tapi tanpa lafaz, “Merapatkan kedua tumitnya,” dan hal ini tidak pernah disebutkan dalam hadis-hadis sahabat yang panjang lagi masyhur ketika mereka mengisahkan sifat solat Nabi sallallahu 'alaihi wasallam lafaz ini, “Baginda merapatkan kedua tumitnya ketika sujud,” adalah syaz, yang Ibnu Khuzaimah -dan yang meriwayatkan darinya seperti Ibnu Hibban dan setelahnya- bersendirian dalam meriwayatkannya. Keadaan lafaz ini seperti yang Al-Hakim katakan, “Saya tidak mengetahui ada seorang pun yang menyebutkan penggabungan kedua tumit dalam sujud kecuali apa yang terdapat dalam hadis ini,” kerana kalimat ini adalah hasil penelitian beliau yang menunjukkan syaz dan mungkarnya lafaz ini.” [Selesai nukilan dari risalah Laa Jadida fii Ahkam Ash-Shalah hal. 65-74 dengan sedikit perubahan]

    Disunting oleh Abu Soleh.
    Sumber:
    1. http://al-atsariyyah.com/?p=71
    2. http://al-atsariyyah.com/?p=73

    Rabu, 5 Mei 2010

    MERAJUT PERSATUAN KAUM MUSLIMIN

    Oleh: Al-Ustaz Ruwaifi’ bin Sulaimi

    Keadaan umat Islam yang berpecah sering memunculkan keperihatinan. Dari beberapa tokoh Islam sering muncul ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu mempermasalahkan perbezaan yang ada kerana yang penting tujuannya sama iaitu memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana caranya?

    Persatuan dan perpecahan merupakan dua kata yang saling berlawanan. Persatuan ertinya sama dengan keutuhan, persaudaraan, kesepakatan, dan perkumpulan. Sedangkan perpecahan ertinya sama dengan perselisihan, permusuhan, pertentangan dan perceraian.

    Persatuan merupakan perkara yang diredhai dan diperintahkan oleh Allah Ta'ala, sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang oleh-Nya. Allah Ta'ala berfirman (ertinya): “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran : 103)

    Al Imam Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: ”Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam, red) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadis juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/367)

    Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Nabi kita Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskan kepada kita satu jalan yang wajib ditempuh oleh seluruh kaum muslimin, yang merupakan jalan lurus dan manhaj bagi agama-Nya yang benar ini. Allah berfirman (ertinya):

    “Dan bahawasanya (Yang Kami perintahkan ini) adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), kerana jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian agar kalian bertaqwa.” (Al An’am: 153)

    Sebagaimana pula Dia telah melarang umat Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam dari perpecahan dan perselisihan pendapat, kerana yang demikian itu merupakan sebab terbesar dari kegagalan dan merupakan kemenangan bagi musuh. Sebagaimana firman Allah Ta'ala (artinya): “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran : 103)

    “Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, ‘Isa, iaitu: ‘tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’. Amat berat bagi orang musyrik agama yang kalian seru mereka kepada-Nya.” (Asy-Syura: 13). (Majmu’ Fataawa wal Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/202, dinukil dari kitab Jama'ah Tabligh Wahidah Laa Jama'at, karya Asy Syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkholi, hal. 176)

    ASAS DAN HAKIKAT PERSATUAN

    Asas bagi persatuan yang diredhai dan diperintahkan oleh Allah Ta'ala, bukanlah kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, parti dan sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al Qur’an dan Sunnah Rasullah sallallahu 'alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafus Soleh. Allah Ta'ala berfirman (ertinya): ”Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imran : 103)

    Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah Ta'ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan kitab-Nya (Al Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Dia juga memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan amalan, itulah sebab keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang dengannya akan dapat diraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari perselisihan…”. (Tafsir Al Qurthubi, 4/105)

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para sahabat, maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari para pengikut mereka. Maka dari itu siapa saja yang lebih kuat dalam mengikuti hadis Rasulullah dan Sunnahnya, serta jejak para sahabat, maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali (agama) Allah dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan fitnah. Dan siapa saja yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah dan jejak para sahabat), maka ia akan lebih jauh dari rahmat Allah dan lebih terjerumus ke dalam fitnah.”(Minhaajus Sunnah, 6/368)

    Oleh kerana itu, walaupun berbeza-beza wadah, organisasi, yayasan, dan semacamnya, namun dengan syarat “tidak fanatik dengan ‘wadah’-nya dan berada satu manhaj”, berpegang teguh dengan Al Qur’an dan sunnah Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dengan pemahaman para sahabat (As Salafush Shalih), maka ia tetap dinyatakan dalam koridor persatuan dan bukan bahagian dari perpecahan.

    Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: ”Tidak masalah jika mereka berkelompok-kelompok di atas jalan ini, satu kelompok di Ib dan satu kelompok di Shan’a, akan tetapi semuanya berada di atas manhaj salaf, mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, berdakwah di jalan Allah Ta'ala dan berintisab kepada Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, tanpa ada sikap fanatik terhadap kelompoknya, yang demikian ini tidak mengapa, walaupun berkelompok-kelompok, asalkan satu tujuan dan satu jalan (manhaj).”(At-Tahdzir Minat Tafarruq Wal Hizbiyyah, karya Dr. Utsman bin Mu’alim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haji Muhammad, hal. 15)

    Asy Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani rahimahullah berkata: “Bila kita anggap bahawa di negeri-negeri kaum muslimin terdapat kelompok-kelompok yang berada di atas manhaj ini (manhaj salaf, pen), maka tidak termasuk kelompok-kelompok perpecahan. Sungguh ia adalah satu jama’ah, manhajnya satu, dan jalannya pun satu. Maka terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah kerana perbezaan pemikiran, aqidah dan manhaj, akan tetapi semata-mata perbezaan letak/tempat di negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeza dengan kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.” (Jama'ah Wahidah Laa Jama'ah, hal. 180)

    Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahawa bila suatu persatuan berasaskan Al Qur’an dan sunnah Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dengan pemahaman para sahabat (As Salafus Soleh) maka itulah sesungguhnya hakikat persatuan yang diredhai dan diperintahkan oleh Allah Ta'ala, walaupun dipisahkan oleh tempat.

    BAHAYA PERPECAHAN

    Bila kita telah mengetahui bahawa hakikat persatuan yang diredhai dan diperintahkan oleh Allah Ta'ala adalah yang berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As Salafus Soleh, maka bagaimana dengan firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada di masyarakat kaum muslimin, yang masing-masing berpegang dengan prinsip dan aturan kelompoknya, saling bangga satu atas yang lain, kesetiaannya dibangun di atas kongkongan ikatan kelompok, apakah sebagai benih persatuan umat, ataukah sebagai wujud perpecahan umat?

    Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi bahawa banyaknya firqah dan jama’ah di masyarakat kaum muslimin merupakan sesuatu yang diupayakan oleh syaitan dan musuh-musuh Islam dari kalangan manusia.” (Majmu’ Fatwa Wa Maqalaat Mutanawwi’ah, 5/204, dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa jama’at, hal. 177)

    Beliau juga berkata: “Adapun berkelompok untuk Ikhwanul Muslimin atau jama’ah tabligh atau demikian dan demikian, kami tidak menasihatkannya, ini salah! Akan tetapi kami nasihatkan mereka semua agar menjadi satu golongan, satu kelompok, saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, serta bersandar kepada Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.” (At Tahdzir Minattafarruq Wal Hizbiyyah, hal. 15)

    Asy Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani rahimahullah berkata: “Tidaklah asing bagi setiap muslim yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah serta manhaj As Salafush Shalih, bahawasanya bergolong-golongan bukan dari ajaran Islam, bahkan termasuk yang dilarang oleh Allah Ta'ala dalam banyak ayat dari Al Qur’an Al Karim, di antaranya firman Allah Ta'ala (artinya): “Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Iaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar Rum: 31-32). (Fataawa Asy Syaikh Al Albani, karya “ ’Ukasyah Abdul Mannan, hal. 106, dinukil dari Jama'ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 178)

    Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan tidak diragukan lagi bahawa kelompok-kelompok ini menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah Ta'ala, bahkan menyelisihi apa yang selalu dihimbau dalam firman-Nya (artinya): “Sesungguhnya agama tauhid ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al Mu’min: 52). Lebih-lebih tatkala kita melihat akibat dari perpecahan dan bergolong-golong ini, di mana tiap-tiap golongan mengklaim yang lainnya dengan kejelekan, cercaan, dan kefasikan, bahkan boleh lebih dari itu. Oleh kerana itu saya memandang bahawa perbuatan bergolong-golongan ini adalah perbuatan yang salah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal. 16)

    Asy Syaikh Sholih Bin Fauzan Al- Fauzan berkata: “Agama kita adalah agama persatuan dan perpecahan bukanlah dari agama. Maka berbilangnya jama’ah-jama’ah ini bukanlah dari ajaran agama, kerana agama memerintahkan kepada kita agar menjadi satu jama’ah.” (Muraja’at fii fiqhil Waaqi’ As Siyaasi wal Fikri, karya Dr. Abdullah bin Muhammad Ar Rifa’i, hal. 44-45)

    Beliau juga berkata: “Hanya saja akhir-akhir ini, muncul kelompok-kelompok yang disandarkan kepada dakwah dan bergerak di bawah kepemimpinan yang khusus, masing-masing kelompok membuat manhaj tersendiri, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan pertentangan di antara mereka, yang tentunya ini dibenci oleh agama dan terlarang di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.” (Taqdim / Muqaddimah kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at)

    Bukankah mereka juga berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah? Demikian terkadang letupan hati berbunyi.

    Asy Syaikh Shalih bin Sa’ad As Suhaimi berkata: “Jika benar apa yang dinyatakan kelompok-kelompok yang amat banyak ini, bahawa mereka berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah, nescaya mereka tidak akan berpecah-belah, kerana kebenaran itu hanya satu dan berbilangnya mereka merupakan bukti yang kuat atas perselisihan di antara mereka, suatu perselisihan yang muncul disebabkan masing-masing kelompok berpegang dengan prinsip yang berbeza dengan kelompok lainnya. Tatkala keadaannya demikian, pasti terjadi perselisihan, perpecahan, dan permusuhan.” (An Nashrul Aziz ‘Alaa Ar Raddil Waziz, karya Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, hal. 46)

    PERTANYAAN PENTING

    1. Bagaimanakah masuk menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada dengan tujuan ingin memperbaiki dari dalam?

    Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Adapun berkunjung untuk mendamaikan di antara mereka, mengajak dan mengarahkan kepada kebaikan dan menasihati mereka, dengan tetap berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah maka tidak apa-apa. Adapun menjadi anggota mereka maka tidak boleh. Dan jika mengunjungi Ikhwanul Muslimin atau Firqah Tabligh dan menasihati mereka kerana Allah Ta'ala seraya berkata: “Tinggalkanlah oleh kalian fanatisme, wajib bagi kalian (menerima) Al Qur’an dan As Sunnah, berpegang teguhlah dengan keduanya, bergabunglah kalian bersama orang-orang yang baik, tinggalkanlah perpecahan dan perselisihan”, maka ini adalah nasihat yang baik.” (At Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, hal. 15-16)

    2. Bukankah dengan adanya peringatan terhadap kelompok-kelompok yang ada dan para tokohnya, justeru semakin membuat perpecahan dan tidak akan terwujud persatuan?

    Asy Syaikh Hamd bin Ibrahim Al ’Utsman berkata: “Kebanyakan orang-orang awam dari kaum muslimin kebingungan dalam permasalahan ini, mereka mengatakan: ‘Mengapa sesama ulama mereka saling memperingatkan satu dari yang lainnya?!’ Dikalangan terpelajar juga demikian, mereka meminta agar bantahan dan peringatan terhadap orang-orang yang salah dan ahlul bid’ah dihentikan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan umat. Mereka tidak mengetahui bahawa bid’ah-bid’ah, kesalahan-kesalahan dan jalan-jalan yang berbeza-beza (dalam memahami agama ini, pen) justeru merupakan faktor utama penyebab perpecahan, dan faktor utama yang dapat mengeluarkan manusia dari jalan yang lurus, dengan tetap adanya jalan-jalan yang menyimpang itu, tidak akan terwujud persatuan selama-lamanya.” (Zajrul Mutahawin bi Dharari Qa’idah Al Ma’dzirah Watta’awun, hal.98)

    NASIHAT DAN AJAKAN

    Asy Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al Jabiri berkata: “Tidak ada solusi dari perpecahan, terkoyaknya kekuatan dan rapuhnya barisan kecuali dengan dua perkara:

    Pertama: Menanggalkan segala macam bentuk penyandaran (atau keanggotaan) yang dibangun di atas ikatan kelompok-kelompok nan sempit, yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.

    Kedua: Kembali kepada jama’ah Salafiyah (yang bermanhaj salaf, pen), kerana sesungguhnya ia adalah ajaran yang lurus, dan cahaya putih yang terang benderang, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah ada yang tersesat darinya kecuali orang-orang yang binasa. Dia adalah Al Firqatun Najiyah (Golongan yang selamat. Pen), dan Ath Thaifah Al Manshurah (Kelompok yang ditolong dan dimenangkan oleh Allah, pen). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati dan wajib diterima, kerana manhaj salaf pasti benar ….” (Tanbih Dzawil ‘Uquulis Salimah ilaa fawaida Mustanbathah Minassittatil Ushulil ‘Azhimah, Hal. 24)

    Sungguh benar apa yang dinasihatkan oleh Asy Syaikh Ubaid bin Abdullah Al Jabiri, karena As Salafiyyah tidaklah sama dengan kelompok-kelompok yang ada. As Salafiyyah tidaklah di batasi (terkongkong) oleh organisasi tertentu, kelompok tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu… atau suatu kongkongan hizbiyyah yang sempit, bahkan As Salafiyyah dibangun di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dengan pemahaman As Salafus Soleh. Siapapun yang berpegang teguh dengannya maka dia adalah saudara, walaupun dipisahkan oleh tempat dan waktu… Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya.

    Mudah-mudahan Allah Ta'ala senantiasa menjauhkan kita semua dari perpecahan dan menyatukan kita semua di atas persatuan hakiki yang berasaskan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dengan pemahaman Salafus Soleh, bukan persatuan semu yang dibangun di atas kepentingan kelompok, organisasi, pemimpin, dan parti. Amin Ya Mujibas Saailiin.

    Isnin, 3 Mei 2010

    Bolehkah Seorang Wanita Memperlihatkan Perhiasannya Kepada Wanita Kafir?

    Sebahagian ulama berpendapat bahawa seorang wanita muslimah tidak boleh memperlihatkan perhiasannya (yakni seperti rambutnya - edt) kepada selain muslimah agar ia tidak mensifatkan (menceritakan) kepada suaminya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala (أو نسائهن) "Atau wanita-wanita mereka" maksudnya adalah wanita-wanita muslimah. Oleh kerana itu, orang-orang musyrik dari kalangan Ahli Zimmi  (orang-orang kafir yang tinggal di negara Islam dan mendapat perlindungan dari orang Islam - edt) dan yang lain tidak termasuk dalam ayat ini. (Tafsir Ibnu Katsir 3/284 dan Tafsir Al-Qurtubi, no: 4625)

    Sementara sebahagian lainnya berpendapat bahawa hal itu diharuskan (diperbolehkan). Tidak ada perbezaan antara wanita muslimah dan Kafir Zimmi dalam hal melihat seorang wanita. Mereka berhujah dengan dalil bahawa kaum wanita dari kalangan Yahudi datang kepada isteri-isteri Nabi sallallahu 'alaihi wasallam dan mereka sama sekali tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat perempuan termasuklah tudung- edt) juga tidak ada perintah untuk mengenakannya. Telah datang seorang wanita Yahudi kepada 'Aisyah, lalu dia mengungkapkan siksa kubur... kemudian 'Aisyah bertanya kepada Nabi sallallahu 'alaihi wasallam, selanjutnya baginda bersabda: "Betul, siksa kubur... (dan seterusnya)." (HR. Al-Bukhari no: 1372 dan Muslim no: 903)

    Asma' binti Abi Bakar berkata: "Ibuku datang kepadaku dan dia enggan untuk memasuk Islam. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, apakah aku boleh menghubungkan tali silaturrahim dengannya? Baginda menjawab: "Ya." (HR. Al-Bukhari no: 2620 dan Muslim no: 1003)

    Diwajibkan hijab di antara wanita dan lelaki kerana adanya alasan yang tidak diperolehi di antara wanita muslimah dengan wanita kafir Zimmi. Dengan demikian tidak ada alasan untuk mewajibkan hijab di antara mereka berdua seperti antara seorang muslim dengan kafir Zimmi dan kerana sesungguhnya hijab hanya diwajibkan dengan adanya nas atau qias (analogi), sementara tidak ada satu pun di antara keduanya itu. Adapun firman Allah Ta'ala: (أو نسائهن) "Atau wanita-wanita mereka" mungkin maknanya adalah wanita secara umum, wallahua'lam. (Jami' Ahkamun Nisaa' IV/498)

    Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim berkata: Adapun jika terjadi keraguan dari salah seorang wanita kitabiyah (Ahli Kitab) dan diketahui bahawa dia sering menceritakan seorang wanita kepada suaminya atau yang semisalnya, maka kenyataan itu melarang seorang wanita muslimah untuk menampakkan perhiasannya di hadapannya. Wallahua'lam. (Lihat Ensiklopedi Fiqih Wanita, Pustaka Ibnu Katsir, hal 162-163)

    Syeikh Muhammad bin Soleh Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apa batasan aurat seorang wanita di hadapan sesama wanita muslimah, wanita fajirah dan kâfirah?

    Beliau menjawab: “Aurat wanita di hadapan sesama wanita tidaklah berbeza kerana perbezaan agama. Sehingga aurat wanita dengan wanita muslimah sama dengan aurat wanita kafirah, dan aurat dengan wanita yang ‘afîfah (menjaga kehormatan diri) sama dengan aurat wanita fajirah. Kecuali apabila di sana ada sebab lain yang mengharuskan untuk lebih menjaga diri. Akan tetapi wajib kita ketahui bahawa aurat itu bukan diukur dari pakaian, kerana yang namanya pakaian itu mestilah menutupi tubuh. Walaupun aurat wanita dengan sesama wanita adalah antara pusat dan lutut, akan tetapi pakaian itu satu perkara sedangkan aurat perkara lain. Seandainya ada seorang wanita mengenakan pakain yang menutup tubuhnya dengan baik/rapi kemudian kelihatan dadanya atau kedua buah dadanya kerana satu dan lain hal di hadapan wanita lain (seperti menyusukan bayi -edt) sementara dia telah mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya dengan baik, maka hal ini tidak apa-apa. Adapun apabila dia mengenakan pakaian pendek yang hanya menutupi pusat sampai ke lututnya dengan alasan aurat wanita dengan sesama wanita adalah dari pusat ke lutut maka hal ini tidak boleh, dan aku tidak yakin ada orang yang berpandangan demikian.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmul Usratil Muslimah, hal. 83-84) (Rujuk: http://almuslimah.wordpress.com/)

    Sabtu, 1 Mei 2010

    Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhuk?

    Penulis : Ustaz Abu Ishaq Muslim

    Soalan:

    Ustaz yang saya hormati, saya ingin menanyakan satu permasalahan. Di daerah saya banyak orang yang mengaku mengikuti mazhab Syafi'iyah, dan saya lihat mereka ini sangat fanatik memegangi mazhab tersebut. Sampai-sampai dalam permasalahan batalnya wudhu' seseorang yang menyentuh wanita. Mereka sangat berkeras dalam hal ini. Sementara saya mendengar dari ta'lim-ta'lim yang saya ikuti bahawa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu'. Saya jadi bingung, Ustaz. Oleh kerana itu, saya mohon penjelasan yang jelas dan terperinci mengenai hal ini, dan saya ingin mengetahui fatwa dari kalangan ahlul ilmi (ulama) tentang permasalahan ini. Atas jawapan Ustaz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira. (Abdullah di Salatiga)

    Jawapan:

    Masalah batal atau tidaknya wudhu' seorang lelaki yang menyentuh wanita memang diperselisihkan di kalangan ahlul ilmi. Ada diantara mereka yang berpendapat membatalkan wudhu' seperti Imam Az-Zuhri, Asy-Sya'bi, dan yang lainnya. Akan tetapi pendapat sebahagian besar ahlul ilmi, di antaranya Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan ini yang rajih (kuat) dalam permasalahan ini, tidak batal wudhu' seseorang yang menyentuh wanita. Wallahu ta'ala a'lam bish-shawab.

    Syaikh Muqbil rahimahullahu ta'ala pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa dan walhamdulillah beliau memberikan jawapan yang jelas. Sebagaimana yang Saudara harapkan untuk mengetahui fatwa ahlul ilmi tentang permasalahan ini, kami paparkan jawaban Syaikh sebagai jawaban pertanyaan Saudara. Namun, di sana ada tambahan penjelasan dari beliau yang Insya Allah akan memberikan tambahan faedah bagi Saudara. Kami nukilkan ucapan beliau dalam Ijabatus Sa-il hal. 32-33 yang nasnya sebagai berikut :

    Beliau ditanya: "Apakah menyentuh wanita membatalkan wudlu', baik yang menyentuh itu wanita ajnabiah (bukan mahram), isterinya ataupun selainnya?" Maka beliau menjawab: "Menyentuh wanita ajnabiah adalah perkara yang haram, dan telah diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dalam Mu'jamnya dari Ma'qal bin Yasar radhiallahu 'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

    "Sungguh salah seorang dari kalian ditusuk jarum dari besi di kepalanya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya."

    Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam Sahih keduanya dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

    "Telah ditetapkan bagi anak Adam bahagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati cenderung dan berangan-angankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah kemaluan."

    Maka dari sini diketahui bahawa menyentuh wanita ajnabiah tanpa keperluan tidak diperbolehkan. Adapun bila ada keperluan seperti seseorang yang menjadi doktor atau wanita itu sendiri adalah doktor, yang tidak didapati doktor lain melainkan dia, dan untuk suatu kepentingan, maka hal ini tidak mengapa, namun tetap disertai kehati-hatian yang sangat dari fitnah.

    Mengenai masalah membatalkan wudhu' atau tidak, maka menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu' menurut pendapat yang benar dari perkataan ahlul ilmi. Orang yang berdalil dengan firman Allah 'azza wa jalla:

    "Atau kalian menyentuh wanita"

    Maka sesungguhnya yang dimaksud menyentuh di sini adalah jima' (bersetubuh) sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radiallahu 'anhuma.

    Telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari di dalam Sahihnya dari 'Aisyah radiallahu'anha, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam solat pada suatu malam sementara aku tidur melintang di depan baginda. Apabila baginda akan sujud, baginda menyentuh kakiku. Dan hal ini tidak membatalkan wudhu' Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

    Orang-orang yang mengatakan bahawa menyentuh wanita membatalkan wudhu' berdalil dengan riwayat yang datang di dalam as-Sunan dari hadis Mu'az bin Jabal radiallahu 'anhu bahawa seseorang mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mencium seorang wanita”. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terdiam sampai Allah 'azza wa jalla turunkan:

    "Dirikanlah solat pada kedua tepi siang hari dan pada pertengahan malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapuskan kejelekan."

    Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya :

    "Berdirilah, kemudian wudhu' dan solatlah dua rakaat."

    Pertama, hadis ini tidak tsabit (kuat) kerana datang dari jalan 'Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia tidak mendengar hadis ini dari Mu'az bin Jabal. Ini satu sisi permasalahan.

    Kedua, seandainya pun hadis ini kuat, tidak menjadi dalil bahawa menyentuh wanita membatalkan wudhu', kerana boleh jadi orang tersebut dalam keadaan belum berwudhu'.

    Ini merupakan sejumlah dalil yang menyertai ayat yang mulia bagi orang-orang yang berpendapat membatalkan wudhu', dan engkau telah mengetahui bahawa Ibnu 'Abbas radiallahu 'anhuma mentafsirkan ayat ini dengan jima'. Wallahul musta'an.