Isnin, 1 Disember 2008

Bimbingan Salafus Shalih di Bulan Dzulhijjah

DZULHIJJAH, KEUTAMAAN, DAN AMALAN SUNNAHNYA


Setelah bulan Ramadhan ternyata Allah ‘Azza wa Jalla melalui utusan-Nya Shallallahu ‘Alahi wa Sallam telah menjanjikan bulan lain yang tidak kalah utamanya dengan bulah Ramadhan. Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “dua bulan untuk berhari raya tidah berkurang keduanya, Ramadhan dan Dzulhujjah” (HR. Muslim)


Adapun keutamaan bulan Dzulhijjah Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : tidak ada hari dimana tidak ada amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla dari pada hari-hari ini yaitu sepuluh hari (dari bulan Dzulhijjah)” mereka bertanya :”tidak juga jihad fisabilillah ?” beliau menjawab “tidak juga fisabilillah, kecuali yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatupun”. (HR. Jama’ah kecuali Muslim dan An-Nasa’i).


Karena adanya keutamaan yang besar dari beberapa hari diantara bulan Dzulhijjah tersebut, maka sangat utama pula kita mengisinya dengan amal shalih sebagai kelanjutan tabungan pahala amal ibadah kita di bulan ramadhan. Diantara amal-amal yang perlu kita lakukanantara lain :


Banyak berdzikir pada hari-hari tersebut


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : dan supaya merekan menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla pada hari yang ditentukan” (QS. Al-Hajj :28)


Ibnu Abbas Radhiallahu wa Anhu menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhujjah, demikian pula para mufassir lainnya diantaranya Ibnu Katsir Rahimahullah.


Para sahabat diantaranya Ibnu Umar Radhiallahu wa Anhu dan Abu Hurairah Radhiallahu wa Anhu biasa keluar menuju pasar pada sepuluh hari tersebut sambil membaca takbir.


Berpuasa pada hari tersebut kususnya pada hari Arafah.


Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda :” berpuasa pada hari arafah (karena mengharap pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla) melebur dosa-dosa selama dua tahun, tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya”. (HR. Muslim, dari Qatadah)


Banyak bertaubat dan menjauhi maksiat.


Allah ‘Azza wa Jalla adalah dzat yang paling gembira atas taubat seorang hamba-Nya ‘Azza wa Jalla lebih dari sesuatu apapun, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam : Dari Barra’ bin ‘Azib Radhiallahu wa Anhu ia berkata, bersabda rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam :” bagaimana pendapatmu dengan gembiranya seorang laki-laki yang tunggangannya lepas kendali darinya menuju tanah gersang dan tandus padahal tidak padanya makanan dan minuman sedang makanan dan minumannya diatas tunggangannya, maka ia mencarinya sampai menyusahkannya, lalu tunggangannya lewat disekitar pohon, maka dia mengikat tali kekangnya dan dia mendapatkan tunggangannya telah terikat dengannya” kami berkata :” sungguh (sangat gembira) wahai rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam”, maka beliau bersabda : “Adapun demi Allah ‘Azza wa Jalla, Allah ‘Azza wa Jalla sungguh sangat gembira dengan taubat seurang hamba-Nya daripada laki-laki tersebut dengan tunggangannya” (HR. MuslimAt-Taubah)


Demikian pula Allah ‘Azza wa Jalla sangat cemburu manakala hamba-Nya ‘Azza wa Jalla berbuat maksiat. Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam Bersabda : “sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla itu cemburu. Dan kecemburuannya itu manakala seorang hamba mendatangi apa yang telah diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla terhadapnya (muttafaqun’alaih).


Mengisi dan memperbanyak amalan sunnah setelah apa-apa yang difardhukan.


Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : barangsiapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang Aku cintai) maka sesungguhnya aku telah menyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan ses(HR. Bukhari).


SHALAT ‘ID DAN KURBAN


a. Hukum Shalat ‘Idul Fitri Dan ‘Idul Adha


Berkata syaikhul islam Ibnu Taimiyah : “kami menguatkan pendapat bahwa shalat ‘id (idul fitri dan ‘idul adha) hukumnya wajib bagi setiap individu (fardhu ‘ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah (hasyiyah ibnu Abidin 2166 dan sesudahnya). Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’I dan salah satu dari pendapat imam Ahmad.


Adapun pendapat orangan yang menyatakan bahwa shalat ‘id tidak wajib, ini sangat jauh dari kebenaran. Karena shalat ‘id termasuk syiar islam yang sangat agung . manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak dari pada berkumpul mereka pad shalat jum’at serta disyariatkan pula takbir didalamnya. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa shalat ‘id hukunya fardu kifayah adalah pendapat yang tidak jelas.(majmu’ Fatawa 23161)


Berkata Al-Allamah As-Syaukani dalam Syailul Jarar (I315) : “ketahuilah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam terus menerus mengerjakan dua shalat ‘id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu kalipun. Dan beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid. Beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam menyuruh wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya .(telah tsabit dalam hadits Ummu Athiyah yang dikeluarkan oleh Bukhari324Muslim890).


Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat ‘id adalah Shalat ‘id dapat menggugurkan kewajiban salat jum’at apabila waktu jatuhnya bertepatan dengan hari jum’at.


Dalam Sunan Abu Daud (1072) dan Mushannat Abdurrazaq (5725) dengan sanad yang shahih dari sahabat Ibnu Zubair Radhiallahu wa Anhu : “dua hari raya (Id dan hari jum’at-red) bertemu dalam satu hari maka ia mengumpulkan ia keduanya bersama-sama dan menjadikannya satu. Ia shalat ‘idul fitri pada hari jm’at sebanyak dua rekaat pada pagi hari, kemudian ia tidak menambah hingga shalat ashar …….”


As-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (3348) :”dhahir riwayat ini menunjukkan bahwa ia tidak mengerjakan shalat dhuhur”


Dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu wa Anhu, tatkala bertemu hari ‘id dengan hari jum’at rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda :” telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat ‘id ) maka telah tercukupi dari shalat jum’at (HR. Abu Daud1073 dan Ibnu Majah 1311 dengan sanad hasan).


Berkata syaikh Al-Albani dalam tamamul Minnah (hal-344) setelah menyebutkan hadts ummu Athiyah Radhiallahu wa Anhu : “maka perintah yang disebutkan menunnjukkan wajib. Jika diwajibkan keluar (ke tanah lapang) berarti diwajibkannya shalat lebih utama sebagaimana hal ini jelas, tidak tersembunyi . maka yang benar hukumnya wajib tidak sekedar sunnah”.


b. keluar menuju mushalla ( tanah lapang yang digunakan untuk shalat ‘id)


Dari Abu said Al-Khudri Radhiallahu wa Anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari idul fitri dan idul adha, maka pertama kali yang beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam lakukan adalah shalat………….” (HR. Bukhari (956), Muslim (889)).


Berkata Al-Allamah Ibnul Hajj Al-Maliki :”sunnah yang telah berlangsung dalam pelaksanaan shalat idul fitri dan idul adha adalah di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : shalat dimasjidku ini lebih utama dari seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid Al-Haram (HR. Bukhari1190 dan muslim1394) kemudian walaupun ada keutamaan yang besar seperti itu beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam tetap keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya (A-madhlul 2283)


c. mengambil jalan yang berlainan ketika pergi dan kembali dari mushalla.


Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu wa Anhu ia berkata : “Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan (ketika pergi dan ketika kembali dari mushalla). (HR. Bukhari986). Disamping itu disunnahkan agar manusia bersegera ke tanah lapang setelah melaksanakan shalat subuh untuk mengambil tempat duduk mereka dan mengumandangkan takbir (Syarhus Sunnah 4302-303). Juga disunnahkan untuk keluar menunaikan shalat ‘id dengan jalan kaki (dihasankan oleh Al-Albani dalam “shahih sunan tirmidzi” 1164)


d. takbir pada idul fitri dan idul Adha


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla atas petunnjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur”


Telah pasti riwayat bahwa rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bahwa beliau keluar pada hari idul fitri, maka beliau takbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir (silsilah hadits As-Shahihah 170).


Syaikhul islam rahimahullah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya maka beliau menjawab : ”segala puji bagi Allah ‘Azza wa Jalla, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat dan para imam berpegangnya dengannya adalah : hendaklah takbir dilakukan dimulai waktu fajar hari Arafah sampai hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah) dilakukan setiap selesai melakukan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluat untuk shalat ‘id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat (majmu’ Al-Fatawa 24220 dan sulubus salam 271-72)


Adapun tentang tata cara takbir tidak ada hadits nabawi yang shahih. Yang ada hanyalah ucapan takbir yang diriwayatkan dari beberapa sahabat (semoga Allah meridhai mereka semuanya)


- Ibnu Mas’ud Radhiallahu wa Anhu, ia mengucapkan taakbir dengan lafadz :


"Allah Maha besar, Allah maha besar, tida ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah maha besar, dan untuk Allahlah segala pujian ( HR. Ibnu Abi Syaibah 2168 dengan isnad yang shahih)


- Ibnu Abbas Radhiallahu wa Anhu bertakbir dengan lafadz :


"Allah maha besar (3x) dan bagi Allah segala pujian, Allah naha besar dan Allah maha mulia, Allah maha besar atas petunjuk yang diberikan pada kita ( HR. Al-Baihaqi 3315 dengan sanad yang shahih)


- Abdurrazaq - dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam “As-sunnanul Qubra 3316 meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari salman Al-Khair radhiallahu’anhu, ia berkata : Agungkanlah Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengucapkan Allahu Akbar (2x) Allahu Akbar Kabir.


e. Khutbah ‘id


Ibnu Abbas Radhiallahu wa Anhu berkata : “aku menghadiri shalat ‘id bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam, abu bakar, Umar dan utsman raadhiallahu’anhu, semua mereka melakukan shalat sebelum khutbah (HR. Bukhari962, Muslim884)


Tidak shahih dalam sunnah bahwa khutbah ‘id dilakukan dua kali dengan dipisah antara keduanya dengan duduk. Riwayat yang ada tentang hal ini lemah sekali. Maka khutbah ‘id itu hanya dilakukan satu kali seperti asalnya. Menghadiri khutbah ‘id tidaklah wajib seperti menghadiri shalat ‘id, karena ada riwayat dari Abdullah bin Said ia berkata : Aku menghadiri ‘id bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam, ketika selesai shalat beliau bersabda : “sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa barang siapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan maka duduklah dan siapa yang hendak pergi maka pergilah (HR Abu Daud1155, dengan isnad shahih)


f. Makan Pada Hari ‘Id


Dari Buraidah Radhiallahu wa Anhu ia berkata : ”Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam tidak keluar pada hari idul fitri hingga beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam makan, sedangkan pada hari raya kurban Shallallahu ‘Alahi wa Sallam beliau tidak makan hingga kembali (dari mushalla) lalu beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam makan dari sembelihan-nya” (HR. At-Tirmidzi dengan isnad Hasan)


HEWAN KURBAN DAN HUKUMNYA


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “ katakanlah : sesungguhnya shalatku, kurbanku (nusuk), hidu dan matiku adalah untuk Allah Rabb Semesta alam tidah ada sekutu baginya” (Al-An’am : 162). Nusuk dalam ayat ini adalah menyembelih hewan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Minhajul Muslim355-356).


Ulama berselisih pendapat tentang hukum Kurban. Yang tampak paling rajih (tepat/kuat) dari dalil-dalil yang beragam adalah hukumnya wajib. Adapun dalilnya antara lain :


- Dari Abu Hurairah Radhiallahu wa Anhu ia berkata : “bersabda rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam : “ siapa yang memiliki kelapangan (harta) tetapi ia tidak menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami”. (HR. Ahmad 1321, Ibnu Majah 323, dengan sanad hasan)


- Dari Jundab bin Abdillah Al-Bajali Radhiallahu wa Anhu, ia berkata : pada hari raya kurban, aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “siapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka hendaklah ia mengulang dengan hewan lain dan siapa yang belum menyembelh kurban maka sembelihlah”. (HR. Bukhari5526, Muslim1960). Mukhnaf bin Sulaim Radhiallahu wa Anhu menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih kurban dan ‘atirah setiap tahun. Tahukah kalian apa itu ‘atirah ?, Inilah yang biasa dikatakan orang dengan nama rajabiah”. (HR Ahmad 4215, Abu Daud2788, dihasankan oleh At-Tirmidzi dalam sunannya dan dikuatkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 104). Abu Ubaid dalam Ghariful hadits 1195: ‘Atirah adalah sembelihan dibulan Rajab, yang orang-orang jahiliah mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengannya, kemudian datang islam dan kebiasan itu dibiarkan hingga dihapus setelahnya.


Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka syubhat mereka yang paling besar untuk menunjukkan bahwa menyembelih kurban hukumnya sunnah adalah sabda rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam : “ apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari bulan Dzulhijjah-red), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya tidak pula kulitnya”. (HR. Muslim1977).


Mereka berkata : dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tidak wajib, karena beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban... ”, seandainya wajib tentunya beliau tidak akan menyandarkan hal itu pada keinginan (iradah) seseorang. (Al-Majmu’ 8301, mughni Al-Muhtaj 4282, syarhus-sunnah 4348 dan Al-Muhalla 83).


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah syubhat ini : “orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Rasulullah ‘Azza wa Jalla : “ apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah….. (QS. Al-Maidah :6). Dikatakan jika kalian ingin shalat, daaan dikatakan pula jika kalinan membaca Al-Qur’an maka berta’awudzlah. Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan membaca Al-Qur’an di dalam shalat itu wajib.


Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam menyembelih Kurban untuk ummatnya sebagaimana yang diriwayatkan dalam Sunan Abi Daud2810, Sunan At-Tirmidzi1574 dan musnad Ahmad 3356 dengan sanad yang shahih dari jabir. Hal ini bukanlah pengambilan dalil yang tepat karena Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam melakukan hal tersebut untuk orang yang tidak mampu dari ummatnya. Sehingga bagi orang yang tidak mampu maka gugurlah baginya kewajiban ini.


HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN HEWAN KURBAN


Pertama. Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam berkurban dengan dua ekor domba jantan yang disembelihnya setelah shalat ‘id


Beliau Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda :” siapa yang menyembelih sebelum shalat maka tidaklah termasuk kurban, akan tetapi hanyalah daging sembelihan biasa yang diberikan untuk keluarganya”. (HR Bukhari-Muslim)


Kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam memerintahkan kepada sahabatnya agar mereka menyembelih jadza dari domba dan tsaniyyah dari selain domba.


Al Hafidz berkata dalam Fathul bari 105 : jadza’ah adalah gambaran untuk usia tertentu dari hewan ternak. Kalau dari domba adalah yang sempurna untuk usia 1 tahun, ini adalah ucapan jumhur. Adapun yang mengatakan dibawah 1 tahun, kemudian diperselisihkan perkiraannya, maka ada yang mengatakan 8 dan ada yang mengatakan 10 bulan.


Tsaniyyah dari unta adalah yang telah sempurna berusia 5 tahun, sedang dari sapi dan kambing adalah yang sempurna berusia 2 tahun. (Zadul Ma’ad 2317). Mujasyi bin Mas’ud Radhiallahu wa Anhu mengabarkan bahwa rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “sesungguhnya jadza’ dari domba memenuhi apa yang memenuhi Tsaniyyah dari kambing (shahihul Jami’ 1592).


Ketiga. Boleh mengakhirkan penyembelihan pada hari kedua dan ketiga setelah ‘idul Adha. Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda :” setiap hari tsyriq ada sembelihan” (HR. Ahmad 48, Al-Baihaqi 5295. Hadits hasan )


Keempat. Termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bagi orang yang ingin menyembelih gurban agar tidak mengambil rambut dan kulitnya walau sedikit. Bila telah masuk hari pertama dari sepuluh hari yang awal bulan Dzulhijjah (Nailul Authar 5200-203).


Kelima. Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam memilih hewan kurban yang sehat, tidak cacat, dan beliau melarang berkurban dengan hewan yang terpotong telinganya dan patah tanduknya (HR Ahmad, Abu Daud dari sahabat Ali Radhiallahu wa Anhu dengan isnad hasan).


Tidak boleh berkurban dengan hewan yang cacat matanya, muqabalah atau mudabbarah dan idak pula dengan syarqa’ ataupun Kharqa’. (HR Ahmad, Abu Daud, dari sahabat Ali Radhiallahu wa Anhu dengan isnad hasan).


  • Muqabalah adalah hewan yang dipotong bagian depan telinganya.

  • Mudabbarah adalah hewan yang dipotong bagian belakang telinganya.

  • Syarqa adalah hewan yang terbelah telinganya

  • Kharqa adalah hewan yang sobek telinga


Keenam, rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam menyembelih kurban ditanah lapang tempat dilaksanakannya shalat (HR Bukhari5552 dari sahabat Ibnu umar).


Ketujuh. Termasuk petunjuk rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bahwa satu kambing mencukupi sebagai kurban dari seorang pria dan seluruh keluarganya walaupun jumlah mereka banyak. (HR. Tirmidzi dengan isnad Hasan)


Kedelapan. Disunnahkan bertakbir dan mengucapkan basmalah ketika menyembelih kurban. (HR. Bukhari5558)


Kesepuluh. Disunnahkan seorang muslim untuk menyembelih sendiri hewan kurbannya dan dibolehkan baginya untuk mewakilkan pada orang lain untuk menyembelih hewan kurbannya.


Kesebelas. Disunnahkan bagi keluarga yang menyembelih kurban untuk ikut makan dari hewan kurban tersebut dan menghadiahkannya serta bersedakah dengannya. (HR. Bukhari-Muslim).


Keduabelas. Badanah (unta yang gemuk) dan sapi betina mencukupi sebagai kurban dari tujuh orang (HR. Muslim)


Ketigabelas. Upah dari tukang sembelih kurban atas pekerjaannya tidak diberikan dari hewan kurban tersebut. (HR. Muslim317)


Keempat belas. Siapa dari kaum muslimin yang tidak mampu untuk menyembelih kurban, ia akan mendapat pahala orang-orang yang menyembelih ari ummat nabi Muhammad Shallallahu ‘Alahi wa Sallam.


KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN YANG BIASA TERJADI PADA HARI RAYA


Pertama. Berhias dengan mencukur jenggot. Padahal dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab imam mazhab yang empat yang telah dikenal.


Kedua. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” (hadits shahih dalan juz’u Ittiba’ is Sunnah)


Ketiga. Tasyabbuh (meniru) orang-orang kafir dan orang-orang barat dalam berpakaian dan mendengarkan alat-alat musik serta perbuatan mungkar lainnya.


Keempat. wanita-wanita bertabarruj (berdandan memamerkan kecantikan) kemudian keluar kepasar dan ketampat lainnya.


Kelima. Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya, membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk diatas kuburan, berampur baur antara pria dan wanita, bergurau, dan meratapi orang-orang yang telah meninggal dan kemunkaran-kemungkaran yang lainnya (Ahkamul janaiz).


Keenam. Boros dalam membelanjakan harta yang tidak ada mamfaatnya dan tidak ada kebaikan padanya.


Ketujuh. Kebanyakan manusia meninggalkan shalat berjamaah di masjid tampa alas an syar’I atau mengerjakan shalat ‘id tampa mengerjakan shalat lima waktu. Demi Allah ‘Azza wa Jalla, sesungguhnya ini adalah suatu bencana yang amat besar


Kedelapan. Berdatangannya sebagian orang awam kekuburan setelah fajar hari raya, mereka meninggalkan shalat ‘iddirancukan dengan bid’ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya.


Kesembilan. Tidak adanya kasih sayang pada fakir miskin, sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan berbagai jenis makanan yang mereka pamerkan.


Kesepuluh. Bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh (kiai) dengan pengakuan bertaqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla , padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah ‘Azza wa Jalla.


Maraji': Ahkamul 'Idain (Syaikh Ali Hasan Al-Halabi Al-Atsari)

Sumber: Risalah Dakwah Al-Hujjah, No: 39-40 / Thn IV / Dzulhijjah / 1422H