Selasa, 27 Oktober 2009

Siapakah Ahli Sunnah Wal Jamaah Yang Sebenar?

Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam pernah berpesan: "Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara yang mana kamu tidak akan tersesat selama berpegang dengan keduanya, iaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi." (Hadis riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa')

Rata-rata kita tidak pernah mendengar pun ada golongan yang mengatakan "Aku tidak mengikut Al-Quran dan Sunnah" tapi sebaliknya kita mendengar ramai yang mengatakan "Aku mengikut Al-Quran dan Sunnah." Golongan yang berkata sedemikian bukan sahaja dari kalangan Ahli Sunnah, Malah jika kita tanyakan kepada golongan Syi'ah juga mereka akan berkata "Aku ikut Al-Quran dan Sunnah." Padahal golongan Syi'ah adalah golongan yang jauh sekali dari kebenaran.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di dalam neraka dan satu golongan di dalam syurga, iaitu al-Jama’ah.” (Hadis Riwayat Abu Duad, Ahmad, ad-Darimi, al-Ajury, al-Lalikaiy. Disahihkan oleh al-Hakim, dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi)

Dalam riwayat yang lain disebutkan; “(Iaitu) yang aku dan para sahabatku meniti di atasnya.” (Hadis Riwayat at-Tirmizi, dinilai Hasan oleh al-Albani)

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Sesungguhnya sesiapa yang hidup selepasku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidin al-Mahdiyyin (mendapat petunjuk). Berpeganglah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham. Jauhilah kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) kerana setiap yang diada-adakan itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah sesat. (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Tirmizi, berkata al-Tirmizi: “Hadis ini hasan sahih”. Juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Darimi dalam kitab Sunan mereka. Demikian juga oleh Ibn Hibban dalam Sahihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan menyatakan: “Hadis ini sahih”. Ini dipersetujui oleh al-Imam Adz-Dzahabi)

Hadis-hadis di atas menerangkan bahawa umat Islam pasti akan berpecah dan sememangnya telah pun berpecah sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah lebih kurang seribu empat ratus tahun tahun yang lalu. Inilah antara mukjizat Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam yang dapat kita lihat sendiri. Namun akan tetap ada mereka yang masih berada di atas kebenaran, sebagaimana hadis di atas yang diterangkan mereka itu ialah yang berpegang dengan sunnah Nabi dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang terdiri daripada sahabatnya. Dalam kata lain mereka dipanggil Al-Jamaah sebagaimana hadis di atas juga.

Sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: “Tetap akan ada segelintir dari umatku yang zahir di atas kebenaran, tidak memudaratkan mereka sesiapa yang menyelisihi mereka, sehinggalah datangnya keputusan Allah, sedang mereka tetap berada dalam keadaan sedemikian.” (Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Imam Ahmad di dalam Musnadnya, At-Thabrani dalam Al-Ausath, Abu Ya’la, dan Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil)

Sabda Baginda sallallahu ‘alaihi wasallam: “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (iaitu para sahabat baginda), kemudian yang sesudah-nya (para tabi’in), kemudian yang sesudah-nya (para tai’ut tabi’in). Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala berfirman: (Maksudnya) “Dan orang-orang yang terdahulu - yang mula-mula (berhijrah dan memberi bantuan) dari orang-orang "Muhajirin" dan "Ansar", dan orang-orang yang menurut (jejak langkah) mereka Dengan kebaikan (iman dan taat), Allah redha akan mereka dan mereka pula redha akan Dia, serta Dia menyediakan untuk mereka Syurga-syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)

Syeikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan -hafizahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq (cet. Darus Salaf hal.23-24) beliau berkata: “(Perpecahan dan perselisihan) merupakan hikmah dari Allah Ta’ala sebagai menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan bersikap fanatik.”

Allah Ta’ala berfirman: (Maksudnya) “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahawa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (Al-‘Ankabut:1-3)

Dan firman Allah Ta’ala: (Maksudnya) “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang derhaka) semuanya”. (Hud:118-119)

“Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (Al-‘An’am:35).”

Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasululullah sallallahu ‘alaihi wasallam: “Sungguh aku telah meninggalkan kamu di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadis ini disahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Dzilalul Jannah)

Dan dalam hadis Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dia berkata: Suatu hari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam membuat satu garisan lurus dengan tangannya lalu bersabda: "Inilah jalan Allah yang lurus, kemudian baginda menggariskan beberapa garis disebelah kiri dan kanan garis yang lurus itu, sambil bersabda: "Inilah jalan-jalan (kesesatan). Tidak ada satu jalan pun dari jalan ini melainkan ada syaitan yang mengajak manusia untuk mengikuti jalan tersebut. Kemudian baginda membacakan surah Al-An'am ayat 153: "Dan bahawa yang (kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)". (Hadis riwayat Ahmad; berkata Al-Arnauth: Hadis hasan, rujuk Musnad Ahmad takhrij al-Arnauth)

Ciri-ciri Ahli Sunnah Wal Jamaah


Pertama: Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan jalan para sahabatnya, yang menyandarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus soleh iaitu pemahaman generasi pertama umat ini dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka. Rasulullah bersabda:“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” (Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad)

Kedua: Mereka kembalikan segala bentuk perselisihan yang terjadi di kalangan mereka kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan bersedia menerima apa-apa yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasulullah. Firman Allah: (Maksudnya) “Maka jika kamu berselisih-faham dalam satu perkara, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasulnya jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan yang demikian itu adalah baik dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59). “Tidaklah layak bagi seorang mukmin dan mukminat apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara untuk mereka, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa menderhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata."(Al-Ahzab: 36)

Ketiga: Mereka mendahulukan ucapan Allah dan Rasul daripada ucapan selain keduanya. Firman Allah: (Maksudnya) “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahulukan (ucapan selain Allah dan Rasul) terhadap ucapan Allah dan Rasul dan bertaqwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Hujurat: 1)

Keempat: Menghidupkan sunnah Rasulullah baik dalam ibadah mereka, akhlak mereka, dan dalam semua sendi kehidupan, sehingga mereka menjadi orang asing di tengah kaumnya. Rasulullah bersabda tetang mereka: “Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula daam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (Hadis riwayat Muslim dari hadis Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

Kelima: Mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat fanatik (taksub) golongan. Dan mereka tidak fanatik kecuali kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah. Imam Malik mengatakan: “Tidak ada seorangpun setelah Rasulullah yang ucapannya boleh diambil dan ditolak kecuali ucapan baginda.”

Keenam: Mereka adalah orang-orang yang menyeru segenap kaum muslimin agar bepegang dengan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabatnya.

Ketujuh: Mereka adalah orang-oang yang memikul amanat amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Dan mereka mengingkari segala jalan bid’ah (lawan kepada sunnah) dan kelompok-kelompok yang akan memecahkan-belahkan barisan kaum muslimin.

Kelapan: Mereka adalah orang-orang yang mengingkari undang-undang yang dibuat oleh manusia yang menyelisihi undang-undang Allah dan Rasulullah.

Kesembilan: Mereka adalah orang-orang yang bersiap-sedia memikul amanat jihad fi sabilillah apabila agama menghendaki yang demikian itu.

Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali rahimahullah menjelaskan dalam kitab beliau Makanatu Ahli Al Hadits (halaman 3-4) berkata: “Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi)-nya para sahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah dan menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mendahulukan keduanya atas setiap ucapan dan petunjuk, kaitannya dengan aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlaq, politik, mahupun persatuan. Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah kepada hamba dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan penuh bersemangat bersungguh-sungguh. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi yang melumatkan segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, kerancuan para penyesat dan pentakwil yang jahil. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengintai setiap kelompok yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidah (Syi’ah), Murji’ah, Qadariyah, dan setiap orang yang menyeleweng dari manhaj Allah, mengikuti hawa nafsu pada setiap waktu dan tempat, dan mereka tidak pernah mundur kerana cercaan orang yang mencerca.”

Ciri-ciri Khusus Mereka

Pertama: Mereka adalah umat yang baik dan jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di tengah umat yang sudah rosak dari segala segi. Rasulullah bersabda: “Berbahagialah orang yang asing itu (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di tengah orang-orang yang jahat. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada orang yang mengikuti mereka.” (Hadis riwayat Imam Ahmad)

Ibnul Qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin (3/199-200) berkata: “Ia adalah orang asing dalam agamanya disebabkan rosaknya agama mereka, asing pada berpegangnya terhadap sunnah disebabkan berpegangnya manusia terhadap bid’ah, asing pada keyakinannya disebabkan telah rosak keyakinan mereka, asing pada solatnya disebabkan jeleknya solat mereka, asing pada jalannya disebabkan sesat dan rosaknya jalan mereka, asing pada nisbahnya disebabkan rosaknya nisbah mereka, asing dalam pergaulannya bersama mereka disebabkan bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka.”

Kesimpulannya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan dia tidak menemui seorang penolong dan pembela pun. Dia sebagai seorang yang berilmu ditengah orang-orang jahil, pemegang sunnah di tengah ahli bid’ah, penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah orang-orang yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah, penyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran di tengah kaum di mana yang ma’ruf menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi ma’ruf.”

Ibnu Rajab dalam kitab Kasyfu Al Kurbah Fi Washfi Hal Ahli Gurbah (halaman 16-17) mengatakan: “Fitnah syubhat dan hawa nafsu yang menyesatkan inilah yang telah menyebabkan berpecahnya ahli kiblat menjadi berpuak-puak. Sebahagian mengkafirkan yang lain sehingga mereka menjadi bermusuh-musuhan, berpecah-belah, dan berparti-parti yang dulunya mereka berada di atas satu hati. Dan tidak ada yang selamat dari semuanya ini melainkan satu kelompok. Merekalah yang disebutkan dalam sabda Rasulullah: “Dan tetap akan ada segelintir dari umatku yang zahir di atas kebenaran, tidak memudaratkan mereka sesiapa yang menyelisihi mereka, sehinggalah datangnya keputusan Allah, sedang mereka tetap berada dalam keadaan sedemikian.”

Kedua: Mereka adalah orang yang berada di akhir zaman dalam keadaan asing yang telah disebutkan dalam hadis, iaitu orang-orang yang memperbaiki ketika rosaknya manusia. Merekalah orang-orang yang memperbaiki apa yang telah dirosakkan oleh manusia pada sunnah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang lari dari fitnah dengan membawa agama mereka. Mereka adalah orang yang sangat sedikit di tengah-tengah kabilah dan terkadang tidak didapati pada sebuah kabilah kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak didapati satu orangpun sebagaimana permulaan Islam.

Dengan dasar inilah, para ulama menafsirkan hadis ini. Sebagaimana Imam Al-Auza’i rahimahullah menjelaskan tentang sabda Rasulullah: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing. Adapun Islam itu tidak akan pergi akan tetapi Ahli Sunnah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan satu orang.” Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji sunnah dan menyifatkannya dengan asing dan menyifatkan pengikutnya dengan kata sedikit.” (Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum At Thoifah Al Manshurah hal 103-104)

Demikianlah sunnatullah para pengikut kebenaran. Sepanjang perjalanan hidup selalu dalam kumpulan yang sedikit. Allah Ta’ala berfiman: (Maksudnya) “Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”

Dengan itu, jelaslah bagi kita siapakah Ahli Sunnah Wal Jamaah dan siapakah pula yang bukan Ahli Sunnah yang hanya penamaan semata. Benarlah ucapan seorang penyair mengatakan :

Semua orang mengaku telah menggapai Laila
Akan tetapi Laila tidak mengakuinya

Padahal Ahli Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman, amalan, dan dakwah salafus-soleh.

Wallahu Ta'ala A'lam

Isnin, 26 Oktober 2009

TANDA-TANDA AHLI SUNNAH

Asy-Syeikh Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shobuni
(373 – 449 H)

Di antara salah satu tanda-tanda Ahli Sunnah (Ahlus Sunnah) ialah kecintaan mereka kepada ulama’ As-Sunnah, penolong-penolong mereka dan pengikut-pengikut mereka. Mereka mempunyai sikap kebencian terhadap ulama bid’ah yang menyeru mereka ke neraka dan menunjuki sahabat-sahabat mereka kepada kebinasaan. Allah telah menghiasi dan menerangi hati-hati Ahlus-Sunnah dengan menganugerahkan sifat kecintaan mereka terhadap ulama’ As-Sunnah. Ini adalah sebagai kemuliaan daripada Allah Azza wa Jalla buat mereka.

Al-Hakim Abu Abdillah Al-Hafiz –semoga Allah menempatkannya dan kita di dalam syurgaNya- telah mengkhabarkan kepada kita, dia berkata: Muhammad bin Ibrahim bin Al-Fadhl Al-Muzakkie pernah menceritakan kepada kami, katanya: Ahmad bin Salamah menceritakan kepada kami, dia berkata: “Abu Raja’ Qutaibah bin Said telah membacakan bukunya “Al-Iman” di hadapan kami. Di akhir bukunya itu, beliau ada berkata: “Apabila engkau melihat seorang lelaki menyukai Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Al-Auza’ie, Syu’bah, Ibnul Mubarak, Abul Ahwash, Syarik, Waqi’, Yahya bin Said dan Abdurrahman bin Mahdi, maka ketahuilah bahawa lelaki itu adalah Ahli Sunnah.” Berkata Ahmad bin Salamah –semoga Allah merahmatinya- : “Saya telah menambah dengan tulisanku di sebelah bawah bukunya: Dan sesiapa yang menyukai Yahya bin Yahya, Ahmad bin Hanbal, Ishak bin Ibrahim bin Rahawaih.

Setelah kami menyebutkan perkara ini, orang-orang Naisabur pun memandang kami, Abu Raja’ berkata: “Mereka itu kaum yang membenci Yahya bin Yahya.” Kami pun bertanya kepadanya: “Wahai Abu Raja’! Siapakah Yahya bin Yahya itu?” Beliau menjawab: “Dia adalah seorang lelaki yang soleh, Imam kaum muslimin, Ishak bin Ibrahim adalah Imam, dan Ahmad bin Hanbal disisiku lebih utama daripada semua mereka yang saya telah sebutkan itu.”

Saya menambah selain daripada apa yang telah disebutkan oleh Qutaibah –semoga Allah merahmatinya- bahawa sesiapa yang menyukai mereka, maka dia adalah Ahli Sunnah. Mereka adalah daripada ulama’ Ahli Hadis yang telah mengikuti ulama’ tersebut dan termasuk daripada mereka. Di antara mereka ialah seperti Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Said bin Jubair, Az-Zuhri, Asy-Sya’bi, dan At-Taimie.

Kemudian setelah mereka seperti Laits bin Sa’ad Al-Misrie, Al-Auza’ie, Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah Al-Hilali, Hamad bin Salamah, Hamad bin Zaed, Yunus bin Ubaid, Ayyub As-Sahtiyani, Ibn Aun dan seumpama mereka. Setelah mereka seperti Yazid bin Harun Al-Wasithi, Abdur-Rarrak bin Hamman As-San’ani, Jarir bin Abdul Hamid Ad-Dibbie.

Setelah mereka seperti Muhammad bin Yahya Az-Zuhali, Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusariy, Abu Daud As-Sijistani, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abu Hatim Ar-Razi, Muhammad bin Aslam At-Thusi, Abu Utsman bin Said Ad-Darimi As-Sijzie, Al-Imam Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah An-Naisaburi yang mana beliau adalah imam di kalangan imam-imam lainnya. Demi hidupku, dia adalah merupakan imam di kalangan imam-imam lainnya di zamannya.

Seterusnya Abu Ya’qub Ishak bin Ismail Al-Bustie, Al-Hasan bin Sufyan Al-Fasawiy, datukku dari pihak Abu Sa’ad Yahya bin Mansur Az-Zahid Al-Harawiy, Abu Hatim Adi’ bin Hamdawaih As-Sabuni dan dua orang ayahnya yang merupakan pedang Sunnag iaitu Abu Abdillah As-Sabuni dan Abu Abdurrahman As-Sabuni dan selain daripada mereka di kalangan ulama’ As-Sunnah yang berpegang teguh dengannya, pembelanya, pendakwah kepadanya dan pencintanya.

Perkara-perkara yang telah saya nyatakan sebelum ini merupakan pegangan semua ulama’ As-Sunnah. Tidak ada perselisihan yang terjadi sesame mereka dalam perkara-perkara itu. Bahkan semuanya bersepakat tentang hal-hal tersebut. Tidak ada kedapatan seorang pun di kalangan mereka yang redha untuk menyelisihinya.

Mereka semuanya sekata supaya membenteras Ahli Bid’ah, menghina mereka, menjauhi tempat tinggal daripada mereka, tidak bersahabat dan tidak bergaul dengan mereka dan mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan cara menjauhi dan meninggalkan mereka (yakni Ahli Bid’ah).

Abu Utsman (pengarang) –semoga Allah merahmatinya- berkata: “Saya dengan kemuliaan dan kurnia daripada Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada saya, adalah orang yang mengikuti jejak-jejak mereka, berjalan dengan berpandukan cahaya-cahaya mereka.

Nasihatku kepada sahabat-sahabatku agar mereka tidak menyimpang daripada jalan-jalan yang telah mereka lalui, agar mereka tidak mengikuti ucapan-ucapan selain mereka (Ahli Hadis) dan tidak menyibukkan diri mereka dengan perkara-perkara yang diada-adakan dalam agama berupa bid’ah-bid’ah yang telah menyebar luas di kalangan kaum muslimin. Juga daripada kemungkaran-kemungkaran yang telah nyata dan berleluasa di sana-sini.

Sekiranya satu perkara daripadanya dilakukan oleh seseorang di zaman ulama’ Sunnah, maka sudah tentu mereka akan menginggalkannya, menamakannya sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah) dan sebagai ‘pendusta’ (terhadap agama Allah) serta menunjukkan sikap kebencian mereka terhadapnya.

Janganlah terpedaya saudara-saudaraku –semoga Allah memelihara mereka- tentang ramainya Ahli Bid’ah. Sesungguhnya ramainya Ahli Bid’ah dan sedikitnya Ahli Haq (kebenaran) adalah di antara satu tanda dekatnya waktu Hari Kiamat, kerana Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:


إن من علامات الساعة واقترابها أن يقل العلم ويكثر الجهل

Maksudnya: “Sesungguhnya di antara tanda-tanda Hari Kiamat dan hampir waktu berlakunya ialah sedikitnya ilmu dan banyaknya kejahilan.” (Daripada Hadis Anas r.a. marfu’. Dikeluarkan oleh At-Thayalisi, ‘Minhah’ (101), Ahmad (3:98, 176, 273, 289, 344), Al-Bukhari dalam Sahihnya (1:178, 9:330, 10:30, 12:113) dan ‘Khalqu Af’al Al-‘Ibad’ (342-44), Muslim (4:2056), At-Tirmizi (2205), Ibnu Majah (4045), Abu Nu’aim, ‘Al-Hilyah’ (6:280), Al-Baihaqi ‘Al-Madkhal’ (846), Ibnu Abdil-Barr ‘Al-Jaami’ (1:151) dan Al-Baghawi, (15:24) dalam Syarhus Sunnah).

Ilmu itu ialah As-Sunnah dan kejahilan itu ialah Al-Bid’ah. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الإيمان ليأزر إلى المدينه كما يأزر الحية إلى حجرها

Maksudnya: “Sesungguhnya iman akan kembali ke negeri Madinah sepertimana kembalinya ular ke lubangnya.” (Dikeluarkan daripada Abu Hurairah oleh Ibnu Syaibah (12:181), Ahmad (2:286, 422, 496), Al-Bukhari (4:93), Muslim (1:131), Ibnu Majah (3111), Abu Uwanah (1:101) dan Ibnu Mandah, (420) dalam ‘Al-Iman’).

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا تقوم الساعة – الأرض أحد يقول الله

Maksudnya: “Tidak akan terjadinya Hari Kiamat selagi mana masih ada orang menyebut Allah.” (iaitu selagi mana masih ada orang yang beriman – pent). (Ahmad (3:107, 201, 259, 268), Muslim (1:131), At-Tirmizi (2207), Ibnu Mandah (447, 449), Abu Uwanah (1:101). Al-Hakim (4:494-95), Al-Baghawi (15:89) dan Ibnu Hibban, (1911) dalam ‘Maurid’).

Barangsiapa yang berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pada hari ini, mengamalkannya, istiqamah (tetap) barada di atas Sunnah, dan berdakwah agar manusia kembali kepadanya, maka pahalanya lebih sempurna dan lebih banyak daripada pahala yang diberikan kepada generasi awal Islam kerana Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam yang terpilih pernah bersabda:

له أجر خمسين فقيل: خمسين منهم؟ قال: بل منكم

Maksudnya: “Baginya lima puluh pahala. Maka dikatakan kepadanya: Lima puluh daripada mereka?” Baginda menjawab: Bahkan daripada kamu.” (Ibnu Nasr Al-Mawarzi ‘As-Sunnah’ (35), At-Thabrani ‘Mu’jam Al-Kabir’ (10:225, 17: 117) Abu Daud (4341), At-Tirmizi (3058), Ibnu Majah (4014) dan Al-Haitsami (7:282) dalam Al-Mujamma’’).

Az-Zuhri berkata: “Mempelajari satu sunnah lebih utama daripada beribadat dua ratus tahun.

Amr bin Al-Maffarie berkata: Saya telah mendengar Amr bin Muhammad berkata: “Pernah suatu ketika Abu Mu’awiyah Ad-Darir berbual-bual dengan Harun Ar-Rasyid. Dia telah menceritakan kepada Harun Ar-Rasyid satu hadis Abu Hurairah [*] mengenai perdebatan di antara Nabi Adam dan Nabi Musa a.s. Lalu Ali bin Ja’far berkata: “Bagaimana peristiwa ini boleh terjadi sedangkan zaman Adam dan Musa jauh berbeza?” Harun Ar-Rasyid pun melompat dari tempat duduknya seraya berkata: “Dia menceritakan kepadamu hadis Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dan engkau mempertikaikannya dengan pertanyaanmu ‘bagaimana’?” Ucapannya ini terus diucapkannya sehingga dia diam.”

[*] Ahmad (2:398), At-Tirmizi (2134), Abu Said Ad-Darimi (293), Ibnu Abi Asim ‘As-Sunnah’ (140), Ibnu Khuzaimah “At-Tauhid” (1:121-122), Ibn Khuzaimah ‘At-Tauhid’ (1:121-22) dan An-Najad (19, 20, 25). Isnadnya sahih.

Pengarang (penulis) berkata: Beginilah sikap yang sepatutnya ada pada diri seseorang, bahawa dia hendaklah mengagungkan hadis-hadis Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dan menerimanya dengan sepenuhnya serta membenarkannya.

Dia hendaklah mengambil sikap yang tegas dalam mengingkari orang yang tidak mengikuti orang yang tidak mengikuti jalan ini sepertimana yang telah dicontohkan oleh Harus Rasyid terhadap orang yang membantah hadis sahih yang didengarkan dengan pertanyaan ‘bagaimana’ sebagai mengingkari dan menjauhi daripada hadis itu. Dia tidak menerimanya sebagaimana ia diwajibkan untuk menerima semua hadis (sahih) daripada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.

Semoga Allah subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang sentiasa mendengar (yang hak), mengikutinya dengan sebaik-baik dan berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah sepanjang hidup kita di dunia. Dan semoga Allah menjauhkan kita daripada hawa nafsu yang menyesatkan, pandangan-pandangan yang melenyapkan dan tindakan-tindakan yang buruk. Dengannya kita memperoleh kemuliaan dan kurnia daripada Allah.

*Dinukil daripada buku Aqidatus-Salaf (Ahlul Hadith), Siri Manhaj Salaf 1, Judul Asli: Ar-Risalah Fi I'tikad Ahlis Sunnah wa Ashabul Hadis Wal Aimmah Au 'Aqidah As-Salaf Ashab Al-Hadis, penulis Asy-Syeikh Abu Utsman Ismail bin Abdur-Rahman As-Shobuni, pentahqiq Badr bin Abdullah Al-Badr, Penterjemah Abdul Wahab bin Bustami Al-Banjari As-Salafiy, Perniagaan Jahabersa, halaman146-154. Pautan-pautan pada beberapa nama yang saya letakkan diambil dari http://ahlulhadist.wordpress.com/.

Ahad, 25 Oktober 2009

Lagi-Lagi Berkenaan Keharaman Nyanyian Dan Muzik

Sebahagian orang memang sukar hendak menerima ketika mendapat tahu bahawa nyanyian dan muzik itu haram. Ini kerana dia sebenarnya sangat meminati kedua-dua elemen tersebut. Sehingga  dahulu pernah terdengar slogan Inggeris yang berbunyi "Muzik is life". Maka dengan pengulangan yang diharapkan tidak membosankan, akan lebih dapat difahami tentang permasalahan ini serta dapat menukarkan kebatilan tersebut lalu ditukarkan dengan cahaya kebenaran iaitu dengan meninggalkan segala bentuk Nyanyian dan Muzik.

Ayat Al-Qur'an Yang Menjelaskan Haramnya Nyanyian dan Muzik

Firman Allah Ta’ala :

“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (Luqman: 6)

Al-Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahawa kebanyakan para mufassir mengertikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.

Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu. Dan kata Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya. Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al-Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahawa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadis, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :

“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia takwil (penafsiran Al-Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335) .

Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan sahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).

Ibnu Mas’ud menerangkan bahawa “lahwul hadits” itu adalah al-ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.” Riwayat ini sahih dan telah dijelaskan oleh Syeikh Nashiruddin Al-Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143. Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.

Al-Wahidi dalam tafsirnya (Al-Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al-ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat muzik daripada Al-Qur’an, meskipun lafaznya dengan kata al-isytira’, sebab lafaz ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145).

Firman Allah Ta'ala:

“Dan pengaruhilah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (Al-Isra’ : 65)

Ibnu Abbas mengatakan bahawa “suaramu” dalam ayat ini ertinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahawa al-ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325). Mujahid dalam kitab yang sama menyatakan “suaramu” di sini ertinya al-ghina’ (nyanyian) dan al-bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al-Hasan Bashri bahawa suara dalam ayat ini ertinya duff (rebana), wallahu a’lam.

Firman Allah Ta'ala:

“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa hairan. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (An Najm : 59-61).

Kata ‘Ikrimah -dari Ibnu Abbas-, as-sumud ertinya al-ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan: “Jika mendengar Al-Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”

Ibnul Qayyim menerangkan bahawa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahawa erti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Kerana semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al-ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325).

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat: “Seruling-seruling (muzik-muzik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dhiya’ Al-Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52).

Beberapa Hadis Bekenaan Haramnya Muzik:

Dalil-dalil ini saya nukilkan daripada sebuah artikel yang baik yang ditulis oleh akhi Nawawi dalam blognya. (Sila rujuk: http://fiqh-sunnah.blogspot.com/2008/01/075-pendirian-para-salaf-ulama-generi.html).


Hadis dari Ibnu Abbas, Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan khamr, judi, dan gendang.” (Hadis riwayat Abu Daud, Baihaqi, Ahmad, dan selainnya. Disahihkan oleh al-Albani, Tahriimu Aalath Ath-Tharb halaman. 56)

Hadis Imran bin Husain, bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Akan datang dalam umat ini kehinaan, keburukan, dan fitnah.” Maka berdirilah salah seorang Muslim: “Wahai Rasulullah, bilakah itu terjadi?” Beliau menjawab: “Apabila telah muncul biduanita dan alat-alat muzik dan khamr diminum.” (Dikeluarkan oleh at-Tirmizi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani, Tahriimu Aalati Ath-Tharb halaman 56)

Berdasarkan hadis-hadis tersebut maka para Salaf benar-benar mengharamkan nyanyian dan sangat menjauhinya, di antaranya riwayat Ibnu Abbas r.a., beliau berkata:

“Rebana itu haram, alat-alat muzik haram, gendang itu haram, dan seruling itu haram.” (Dikeluarkan oleh Baihaqi dan Hadis ini hasan menurut Syaikh al-Albani, Tahriimu Aalati Ath Tharb halaman 92)

Riwayat Said bin al-Musayyab r.a., ia berkata:

“Sesungguhnya aku membenci nyanyian dan menyenangi kata-kata yang indah (pantun).” (Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf dan Hasan menurut Syaikh al-Albani, Tahriimu Aalati Ath Tharb halaman 99 dan 101)

Diriwayatkan dari Jabir r.a. ia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Sesungguhnya aku tidaklah melarang mengeluarkan air mata (menangis), akan tetapi aku melarang dari dua suara yang bodoh lagi fajir. Suara ketika mendapat nikmat, iaitu gurauan, permainan, dan senandung syaitan. Dan suara ketika mendapat musibah, iaitu tamparan wajah, koyakan baju dan jeritan syaitan.” (Diriwayatkan oleh at-Timidzi dalam Sunan-nya, dan ia menyatakan bahawa hadis ini hasan. Juga diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, dan juga ath-Thahawi dalam Syarh al-Ma’aani. Hadis ini turut dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Sahihul Jami’)

Rasulullah s.a.w. juga bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas umatku Khamar, judi, minuman keras dari gandum, dan gendang (Kuubah) serta drum (qinnin). Dan menambahkan untukku solat witir.” (Hadis ini sahih menurut Syaikh al-Albani, Rujuk: Sahihul Jami’, 1708)

Dari Hadis Abu Daud, beliau meriwayatkan, dalam Kitab Sunan-nya bahawa dari Nafi r.a. ia berkata: “Ibnu Umar r.a. mendengar suara muzik, maka iapun meletakkan jarinya pada kedua telinganya dan menjauh dari jalan. Ia berkata kepadaku, “Hai Nafi, apakah engkau masih mendengar sesuatu?” Aku menjawab, “Tidak!” Maka beliaupun melepaskan jarinya dari telinganya dan berkata: “Aku pernah bersama Nabi s.a.w. lalu beliau mendengar seperti ini dan beliaupun melakukan seperti itu.” (Rujuk Sahih Abu Daud, 4116)

Imam al-Qurthubi menjelaskan berkenaan hadis tersebut di dalam tafsirnya dengan menyatakan: “Ulama kami mengatakan, “Jika demikian yang mereka lakukan terhadap suara yang tidak keluar seperti biasanya, bagaimana dengan suara nyanyian orang-orang zaman sekarang dan suara alat muzik mereka?”

Imran ibn Husain meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w. telah bersabda mafhumnya: “Akan berlaku kemusnahan, penukaran rupa (penjelmaan) dan lontaran dalam umat ini. Seorang lelaki dari kaum muslimin berkata: Bilakah yang demikian itu akan berlaku wahai Rasulullah s.a.w.? Beliau bersabda mafhumnya: “Apabila lahir biduanita-biduanita, alat-alat muzik dan diminum khamr (arak)” (Hadis ini Sahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibn Abid Dunya. Lafaz hadis ini menurut riwayat at-Tirmidzi. Lihat Sahih Sunan at-Tirmidzi, 1801-2323. Sahihul Jami’ As-Sagheer, 4273 dan Silsilah al-Ahadis as-Sahihah, oleh Syaikh Muhammad Nasihruddin al-Albani)

Anas ibn Malik r.a. meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda mafhumnya: “Pasti akan berlaku kemusnahan, lontaran dan pengubahan rupa dalam umat ini, iaitu apabila mereka meminum khamr, mengambil biduanita-biduanita dan membunyikan alat-alat muzik. (Hadis ini sahih, Diriwayatkan oleh Ibn Abid Dunya dalam “Dzam al-Muhalli” Juz. 1/1530. Hadis ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibn Abid Dunya daripada Imran ibn Husain. Imam Ahmad dan Ibn Abid Dunya meriwayatkan juga daripada Abi Umamah dan ia diriwayatkan juga daripada Abu Hurairah oleh at-Tirmidzi dan Ibn Abid Dunya. Sila lihat Sahihul Jami’ as-Sagheer 5467 dan Silsilah al-Ahadis as-Sahihah, 2023 as-Syaikh al-Albani)

Imran ibn Husain dan Abu Saaid r.a. meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda mafhumnya: “Akan berlaku kemusnahan, lontaran dan perubahan rupa di akhir zaman iaitu lahir alat-alat muzik, biduanita-biduanita dan apabila khamr dihalalkan” (Hadis ini sahih, Riwayat at-Tirmidzi dan at-Thabarani)

Abu Maalik al-Asyaari r.a. meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda mafhumnya: “Orang-orang dari umat ku pasti akan meminum khamr yang mereka namakannya dengan bukan nama khamr, di-mainkan alat-alat muzik ke atas kepala mereka dan biduanita-biduanita. Allah akan musnahkan bumi bersama-sama mereka dan menjadikan sebahagian mereka sebagai kera dan babi. (Hadith ini sahih - Riwayat Ibn Maajah, al-Baihaqi dan Ibn Asaakir, Ibn Hibban dan at-Thabarani. Sila lihat Sahihul Jami’ as-Sagheer, 5454, Silsilah al-Ahadis as-Sahihah, 90, 91 dan Sahih Ibn Maajah 3247–4020)

Abu Maalik al-Asyaari r.a. meriwayatkan bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda mafhumnya: “Akan ada beberapa kaum dari umatku yang menghalalkan zina, sutera (bagi lelaki), khamr dan alat muzik dan beberapa kamu akan turun/berhenti di sudut sebuah bukit yang tinggi. Para penternak datang kepada mereka di waktu petang dengan membawa haiwan-haiwan ternakan mereka kerana sesuatu keperluan, lalu mereka berkata: Datanglah semua menemui kami esok. Lantas Allah s.w.t. memusnahkan mereka pada waktu malam dan menjatuhkan bukit yang tinggi itu ke atas mereka dan sebahagian yang lain lagi Allah mengubah rupa mereka menjadi seperti kera dan babi sampailah ke hari kiamat. (Hadis ini sahih – Riwayat al-Bukhari dalam kitab sahihnya (4/30). Sila lihat Silsilah al-Ahadis as-Sahihah 1/91/139-147 dan Sahih al-Jami as-Sagheer, 5466) (Selesai nukilan. Sila rujuk blog: http://fiqh-sunnah.blogspot.com).

Kini saya ingin menukilkan pula beberapa fatwa ulama berkenaan Nasyid (Munsyid). Sebahagian orang cuba untuk membezakan dengan mengatakan: "Nasyid itu tidak sama dengan Nyanyian". Padahal kedua-duanya sama sahaja. Tidak ada beza sedikit pun dari segi hukumnya. Bahkan boleh jadi ia lebih berbahaya kerana Nasyid bertopengkan jenama Islam, serta kadang kala mengandungi kesyirikan di dalamnya (seperti nasyid yang diambil daripada Barzanji) serta mereka menjadikannya sebagai dakwah. Sedangkan para salafus-soleh dan ulama tidak pernah menjadikan nyanyian itu sebagai bahan dakwah mereka. Kalau sekiranya perbuatan tersebut baik, maka sudah pastilah mereka (yakni para salafus-soleh) lebih dahulu melakukannya.

Beberapa Perkataan Para Ulama Berkenaan Masalah Nasyid:

1 – Syeikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan hafizahullah berkata:

“Perkara yang semestinya mendapat perhatian adalah apa yang telah banyak tersebar di tengah-tengah para pemuda berupa lagu-lagu nasyid yang dirakam dalam kaset dengan suara gabungan yang mereka namakan dengan nasyid Islami. Ini merupakan salah satu jenis nyanyian. Terkadang juga hal itu dilakukan dengan lantunan suara yang memikat kemudian diperjual belikan untuk menyaingi kaset rakaman bacaan Al-Qur’anul Karim dan ceramah agama. Menamakan nasyid Islami merupakan penamaan yang salah kerana Islam tidak mensyariatkan kepada kita melakukan nasyid akan tetapi mensyariatkan bagi kita berzikir kepada Allah Ta’ala, membaca Al-Qur’an, dan belajar ilmu yang bermanfaat.

Adapun nasyid Islami merupakan agama orang orang sufi ahli bid’ah yang menjadikan agamanya sekadar hiburan dan permainan. Menjadikan nasyid sebahagian dari agama juga ada unsur penyerupaan dengan orang Nasrani (kristian) yang menjadikan agamanya berupa nyanyian bersama dan bersenandung merdu. Tindakan yang wajib dilakukan adalah berhati-hati dari nasyid-nasyid ini dan melarang penjualan serta peredarannya untuk mencegah terjadinya efek negatif darinya berupa timbulnya fitnah dengan membangkitkan dan menaburkan benih perselisihan di tengah kaum muslimin. Terkadang orang yang membolehkan nasyid seperti ini berdalih bahawa dulu dilantunkan syair-syair dihadapan Nabi kemudian baginda mendengarkannya dengan saksama dan menyetujuinya.

Jawapan dari hal tersebut bahawa syair-syair yang dilantunkan dihadapan Nabi tidak dilantunkan dengan suara bersama dalam bentuk nyanyian dan tidak dinamakan nasyid Islami. Akan tetapi itu merupakan syair-syair arab yang mengandungi kata-kata hikmah, perumpamaan, sifat keberanian dan kedermawanan. Dulu para sahabat melantunkan sendirian kerana makna yang terkandung di dalamnya. Mereka melantunkan beberapa syair tatkala melakukan pekerjaan yang memenatkan seperti membangun dan berjalan di malam hari ketika bermusafir. Ini semua menunjukkan bolehnya melantunkan syair seperti ini dalam keadaan seperti ini secara khusus, bukan untuk diambil sebagai salah satu bidang pendidikan dan dakwah sebagaimana terjadi pada waktu ini. Di mana para siswazah diajari nasyid-nasyid seperti ini  kemudian dikatakan bahawa itu nasyid Islami atau nasyid agama. Ini merupakan perbuatan bid’ah dalam agama dan merupakan agama orang sufi ahli bid’ah. Merekalah yang dikenali menjadikan nyanyian sebagai agamanya. Sehingga yang wajib adalah memperingatkan dari tipu muslihat ini dan melarang penjualan kaset seperti ini kerana kejelekan itu dimulai dari sedikit kemudian berkembang manjadi banyak jika tidak segera dihilangkan ketika munculnya.” (Al-Khitab Al-Mimbariyyah, 3/184-185; dinukil dari buku Jawab Tuntas Masalah Manhaj, Pustaka Al-Haura’, dalam nota kaki no: 3)

2 – Syeikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:

“Dari fasal ketujuh telah jelas tentang syair yang boleh dinyanyikan dan yang tidak boleh. Sebagaimana telah jelas pada keterangan yang lalu tentang haramnya alat musik semuanya kecuali rebana (kompang) untuk wanita pada hari raya dan pernikahan. Dan dari fasal terakhir telah jelas bahawa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan apa yang Allah syariatkan. Maka bagaimana dibolehkan mendekatkan diri kepadaNya dengan apa yang Dia haramkan?

Jika pembaca dapat mengingat prinsip-prinsip yang kukuh ini di dalam fikirannya, jelaslah baginya dengan sangat nyata bahawa tidak ada perbezaan hukum antara nyanyian sufi dengan nasyid-nasyid keagamaan. Bahkan kadang-kadang di dalam nasyid terdapat cacat yang lain, iaitu nasyid itu dilagukan dengan irama-irama lagu yang tidak bermoral dan mengikut rentak muzik dari Barat atau Timur yang membawa pendengar untuk bergoyang dan menari dan melebihi batas. Sehingga tujuannya adalah irama dan goyang, bukan semata-mata nasyidnya. Dan hal ini merupakan penyelewengan baru, iaitu menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak tahu malu.

Di sebalik itu juga munculnya penyimpangan yang lain, iaitu menyerupai orang-orang kafir di dalam berpaling dan menginggalkan Al-Qur’an. Sehingga mereka masuk ke dalam keumuman pengaduan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam kepada Allah tentang kaumnya, sebagaimana di dalam firman Allah:

(Yang bermaksud): Dan berkatalah Rasul: "Wahai Tuhanku Sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Quran ini satu perlembagaan Yang ditinggalkan, tidak dipakai". (Surah Al-Furqaan: 30)

Saya benar-benar selalu ingat dengan baik, ketika saya berada di Damaskus dua tahun sebelum penghijrahan saya ke sini (Amman, Jordan) ada sebahagian pemuda Islam mulai menyanyikan nasyid-nasyid yang bersih (dari penyimpangan) seperti qasidah-qasidah al-Bushiri dan lain-lainnya, dan nasyid-nasyid itu dirakam pada kaset. Kemudian tidak berapa lama, nasyid-nasyid itu diiringi dengan pukulan rebana (kompang)! Kemudian untuk pertama kalinya mereka mempergunakannya pada perayaan-perayaan pernikahan dengan alasan bahawa rebana dibolehkan pada pernikahan.

Kemudian kaset itu pun tersebar dan ditambah kaset-kaset sehingga banyak. Dan itupun tersebar penggunaannya dibanyak rumah-rumah. Mulailah mereka mendengarkannya malam dan siang, baik ada acara ataupun tidak. Jadilah hal itu hiburan dan kebiasaan mereka! Tidaklah hal itu terjadi kecuali kerana dikuasai oleh hawa nafsu dan kebodohan terhadap tipu daya syaitan. Sehingga syaitan memalingkan mereka dari memperhatikan dan mendengarkan Al-Qur’an, apatah lagi mempelajarinya. Jadilah Al-Qur’an  sebagai sesuatu yang tidak dipakai sebagaimana tersebut di dalam ayat yang mulia tadi.” (Tahrim Alat Ath-Tharb, hal 182; dinukil dari buku Adakah Musik Islami oleh Muslim Atsari, Pustaka At-Tibyan, hal 104-107)

3 – Syeikh Sholeh bin Abdul Aziz Alu Asy-Syeikh rahimahullah berkata:

“Adapun mendengarkan nyanyian-nyanyian yang dilagukan dan qasidah-qasidah yang mengajak zuhud, inilah yang dinamakan zaman dahulu dengan taghbiir. Hal itu sejenis memukul kulit dan menyanyikan qasidah-qasidah yang mengajak zuhud. Itu dilakukan oleh sekelompok orang-orang sufi untuk menyibukkan manusia dengan qasidah-qasidah yang mendorong kepada negeri akhirat dan zuhud di dunia, meninggalkannya nyanyian (umum), kemaksiatan dan yang seumpamanya.

Dan para ulama telah mengingkari taghbir dan mendengarkan qasidah-qasidah yang dilagukan, yakni dengan lagu-lagu bid’ah, lagu-lagu yang digunakan orang-orang sufi yang menyerupai nyanyian. Para ulama memandangnya termasuk bid’ah. Alasan bahawa hal itu jelas bid’ah, kerana hal itu ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pada hal sudah diketahui bahawa mendekatkan diri kepada Allah tidak boleh kecuali dengan apa-apa yang Dia syariatkan. Inilah qasidah-qasidah yang dilakukan di zaman dahulu, dan di zaman sekarang diambil oleh orang-orang sufi. Ini adalah bid’ah yang diada-adakan, tidak boleh berdalih melembutkan hati dengannya.” (Al-Qaulul Mufid Fii Hukmi Anasyid, hal 44; dinukil dari buku Adakah Musik Islami, hal 114-115)

4 – Syeikh Bakar Abu Zaid rahimahullah berkata:

“Beribadah dengan syair dan bernasyid pada bentuk zikir, doa dan wirid-wirid adalah bid’ah yang baru. Pada akhir-akhir abad 2 hijrah, orang-orang zindiq memasukkannya ke dalam kaum muslimin di kota Baghdad dengan nama taghbiir. Asalnya dari perbuatan Nasrani di dalam peribadatan-peribadatan mereka yang bid’ah dan nyanyian-nyanyian mereka. Bahkan jelas bagi saya bahawa beribadah dengan menyanyikan syair, mengucapkannya sebagai mantra, termasuk warisan-warisan paganisme Yunani sebelum diutusnya Nabi Isa ‘alaihis salam kerana kebiasaan orang-orang Yunani dan orang-orang musyrik yang lain mendendangkan nyanyian kepada Hurmus di majlis-majlis zikir.

Maka lihatlah bagaimana bid’ah ini menjalar kepada orang-orang sufi yang bodoh dari kalangan kaum muslimin dengan sanad yang paling rosak yang dikenal dunia: iaitu orang Zindiq dari orang Nasrani, dari orang musyrik. Setelah itu, bolehkah seorang muslim menjadikan nasyid sebagai wirid, tugas dalam zikir, hizib dan mantra?” (Tash-hihud Du’a, hal 96; dinukil dari buku Adakah Musik Islami, hal 116) (Sila lihat: http://pegangan-rufaqa.blogspot.com/2009/10/kisah-saya-dengan-al-arqam-bahagian-2.html)

Wallahu Ta'ala A'lam

TANDA-TANDA AHLI BID'AH

Asy-Syeikh Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash-Shobuni
(373 - 449 H)


Tanda-tanda bid'ah yang ada pada ahlinya adalah tampak jelas sekali. Di antara tanda-tanda yang paling jelas terdapat pada diri mereka ialah sikap kebencian mereka terhadap orang-orang yang meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam (yakni Ahli Hadis). Ahli Bid'ah menghina dan merendah-rendahkan mereka.


Mereka selalu melontarkan gelaran-gelaran yang buruk kepada Ahli Hadis seperti menggelari mereka sebagai "Hasyawiyah" (orang rendahan), "Jahalah" (orang yang jahil), "Zahiriyah" (orang yang alirannya berasaskan hal-hal lahiriah) dan "Musyabbihah" (orang yang menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk). (Sebenarnya gelaran tersebut kembali kepada Ahli Bid'ah tersebut - Pent). Mereka menjuluki Ahli Hadis dengan gelaran tersebut hanya kerana Ahli Hadis berpegang teguh kepada hadis-hadis Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam.


Mereka mengira bahawa hadis-hadis itu terpisah daripada ilmu dan ilmu itu adalah apa yang dijelmakan oleh syaitan kepadanya berupa hasil-hasil pemikiran mereka yang rosak, was-was daripada dada-dada mereka yang gelap, bisikan-bisikan hati mereka yang kosong daripada kebaikan. Sebenarnya ucapan-ucapan, hujah-hujah dan syubhat-syubhat mereka semuanya kosong (tidak ilmiah) dan batil. Allah berfirman:


"Merela itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka serta dibutakanNya penglihatan mereka." (Muhammad: 23)


"Dan sesiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (Al-Haaj: 18)


Ahmad bin Sinan Al-Qatthan berkata: "Tidak ada di dunia seorang 'Mubtadi' (orang yang membuat bid'ah) melainkan dia membenci Ahli Hadis. Apabila seseorang lelaki melakukan bid'ah, dicabutlah rasa kemanisan (kecintaan) kepada hadis dari dalam hatinya." (Al-Khatib, Syarfu Ashab Al-Hadis, ms. 73. Isnadnya sahih. Az-Zahabi, At-Tazkirah, 2:521 dan As-Siyar, 12:245 dan As-Subki, At-Tabaqat, 2:6)


Abu Ismail Muhammad bin Ismail At-Tirmizi berkata: Ketika saya dan Ahmad bin Al-Hasan At-Tirmizi di sisi Imam Agama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, berkatalah Ahmad bin Al-Hasan kepadanya: "Wahai Abu Abdillah! Mereka telah menyebut Ahli Hadis kepada Ibn Abi Qathilah di Mekkah, maka dia berkata: "Ahli Hadis adalah kaum yang jahat," Mendengar sahaja ucapannya itu Ahmad bin Hanbal pun berdiri sambil mengibas-ngibas bajunya seraya berkata: "Zindik! Zindik! Zindik! (orang yang telah terpesong daripada agama Allah)" sehingga dia masuk rumahnya." (Al-Khatib, Syaraf Ashab Al-Hadis, ms. 74. Ibnul Jauzi, Manaqib Imam Ahmad, ms. 233 dan Ibnu Abi Ya'la, Tabaqat Al-Hanabilah, 1:38, 280)


Abu Nasr bin Sallam Al-Faqih berkata: "Tidak ada perkara yang lebih berat bagi Ahli Ilhad (mereka yang kufur) dan lebih mereka benci daripada mendengar hadis dan isnad riwayatnya." (Al-Khatib, ms. 73-74)


Asy-Syeikh Abu Bakr Ahmad bin Ishak bin Ayyub Al-Faqih yang sedang berdebat dengan seorang lelaki. Lalu Asy-Syeikh Abu Bakr berkata kepadanya: "Haddasana Fulan" (Si polan telah meriwayatkan kepada kami) Maka berkata lelaki itu: "Tinggalkan kami dari 'haddasana', sampai bila 'haddasana'?" Maka Asy-Syeikh pun berkata kepadanya: "Berdirilah engkau wahai Kafir! Tidak halal bagimu untuk masuk ke rumahku setelah ini buat selama-lamanya." Kemudian dia memandang kepada kami seraya berkata: "Saya tidak pernah berkata kepada seseorang supaya tidak masuk ke rumahku kecuali kepada lelaki ini."


Abul Qasim Ja'far bin Ahmad Al-Muqri Ar-Razi berkata: Telah dibacakan dihadapan Abdurrahman bin Abu Hatim sedangkan saya mendengarkannya, dia berkata: "Ayahku (Al-Imam di negerinya Abu Hatim Muhammad bin Idris Al-Hanzhali Ar-Razie), beliau telah berkata: "Tanda Ahli Bid'ah ialah menggelar Ahli Hadis 'Al-Waqi'ah' (orang yang suka menabur fitnah). Tanda orang-orang Zindiq ialah menamakan Ahli Sunnah sebagai 'Hasyawiyah'. Mereka menginginkan dengan tindakan mereka itu untuk membatalkan hadis Nabi sallallahu 'alaihi wasallam. Tanda Al-Qadariyah ialah mereka menamakan Ahli Sunnah sebagai Mujbirah. Tanda Al-Jahmiyah pula ialah mereka menamakan Ahli Sunnah sebagai Musyabbihah. Dan tanda Ar-Rafidhah (Syi'ah) ialah menamakan Ahli Hadis sebagai Nabitah (orang yang keluar daripada Islam) dan Nasibah (orang yang memusuhi sahabat Nabi sallallahu 'alaihi wasallam). (Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam bukunya Aslus Sunnah wa I'tiqad Ad-Din. Al-Lalika`i, Syarah Usul I'tiqad Ahlis Sunnah, 2:179 dan Az-Zahabi menukilkan daripadanya dalam bukunya Al-'Uluw, ms. 139)


Abu Utsman (penulis) berkata: "Saya katakan bahawa semua panggilan seperti itu merupakan 'Asabiyah (fanatisme kepada sesuatu kelompok tertentu) sedangkan Ahli Sunnah tidak layak dinamakan seperti gelaran-gelaran tersebut melainkan dengan satu nama iaitu Ahli Hadis (Ahlul Hadits)."


Abu Utsman berkata: "Saya katakan bahawa saya telah melihat Ahli Bid'ah yang menggelari Ahli Sunnah dengan gelaran-gelaran ini, sedangkan Ahli Sunnah tidak terdapat pada mereka suatu pun ciri-ciri daripada apa yang mereka gelarkan itu. Ini sebagai kemuliaan dan kurnia daripada Allah kepada Ahli Sunnah.


Sebenarnya Ahli Bid'ah telah melalui jalan-jalan orang-orang musyrik -semoga Allah melaknat mereka- terhadap apa yang telah mereka lakukan kepada Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya mereka telah menggelari Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dengan pelbagai gelaran. Setengah mereka menamakannya sebagai 'tukang sihir'. Ada pula yang menamakannya sebagai tukang tilik (bomoh). Sebahagian lainnya pula menamakannya sebagai 'ahli syair', 'orang gila', 'tukang fitnah', dan 'pendusta yang suka membuat cerita-cerita dongeng'. Sedangkan Nabi sallallahu 'alaihi wasallam berlepas diri dan jauh daripada keaiban-keaiban itu. Baginda sallallahu 'alaihi wasallam tidak lain hanya sebagai pesuruh yang telah dipilih oleh Allah dan sebagai Nabi-Nya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:


"Perhatikanlah! Bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka. Mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan untuk menentang kerasulanmu." (Al-Furqaan: 9)


Demikian halnya dengan Ahli Bid'ah -semoga Allah menghina mereka-, mereka telah menamakan orang-orang yang membawa hadis-hadis Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dan perawi-perawi hadisnya, yang sentiasa mengikuti sunnahnya yang terkenal dengan nama Ahli Hadis (Ahlul Hadits), dengan gelaran-gelaran seperti apa yang dialami oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam. Sebahagian mereka menamakan mereka sebagai 'Hasyawiyah'. Ada di antara mereka menjuluki mereka sebagai 'Musyabbihah', 'Nabitah', 'Nasibah', dan 'Jabariyah'. Sedangkan Ahli Hadis bersih dan jauh daripada keaiban-keaiban tersebut. Mereka tidak lain, melainkan Ahli Sunnah yang melalui jalan yang terang dan diredhai, mereka berjalan di atas jalan yang lurus.


Mereka memiliki hujah-hujah yang kukuh dan mantap. Allah 'Azza wa Jalla telah memberi taufiq kepada mereka dengan membimbing mereka untuk mengikuti KitabNya, WahyuNya dan perkataanyNya (perintah dan larangan) dan menunjuki mereka untuk mengikuti orang yang paling dekat kepada Allah ialah Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dengan mengikuti sunnah-sunnahnya yang makruf dalam bentuk perkataan dan perbuatan dan mencegah mereka daripada melakukan kemungkaran pada perkataan dan perbuatan. Allah telah menolong mereka (Ahlul Hadits), untuk mengikuti sirah RasulNya sallallahu 'alaihi wasallam dan sentiasa berpegang teguh terhadap sunnahnya.


Allah menjadikan mereka sebagai pengikut-pengikut Nabi sallallahu 'alaihi wasallam. Allah memuliakan dan meninggikan kedudukan mereka dengan berpegangnya mereka kepada sunnah RasulNya. Dia melapangkan dada-dada mereka untuk mencintai NabiNya dan mencintai para ulama' yang memikul syariatNya. Sesiapa yang cinta kepada suatu kaum maka dia akan bersama-sama dengan mereka pada Hari Kiamat kelak berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam:


Maksudnya: "Seseorang akan bersama dengan siapa yang dia cintai." (Hadis sahih daripada beberapa orang sahabat Nabi sallallahu 'alaihi wasallam. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam buku Sahihnya (7:42), Muslim (4:2032, 2033), Abu Daud (5127), At-Tirmizi (2385) dan lainnya)


*Dinukil daripada buku Aqidatus-Salaf (Ahlul Hadith), Siri Manhaj Salaf 1, Judul Asli: Ar-Risalah Fi I'tikad Ahlis Sunnah wa Ashabul Hadis Wal Aimmah Au 'Aqidah As-Salaf Ashab Al-Hadis, penulis Asy-Syeikh Abu Utsman Ismail bin Abdur-Rahman As-Shobuni, pentahqiq Badr bin Abdullah Al-Badr, Penterjemah Abdul Wahab bin Bustami Al-Banjari As-Salafiy, Perniagaan Jahabersa, halaman 138-145)

Selasa, 20 Oktober 2009

Bolehkah Melukis Gambar Makhluk Bernyawa?

"Wah hebatnya kau melukis macam real lah" seorang rakan saya memuji lukisan yang saya lakarkan di atas kertas. Lukisan tersebut adalah wajah seseorang di dalam kelas kami. Ketika itu saya masih tingkatan 4. Saya memang berminat dalam bidang lukisan sehingga pernah suatu ketika dahulu saya (konon-kononnya) bercita-cita hendak menjadi kartunis. Saya mula melukis sejak berumur 6 tahun. Lukisan pertama yang saya pernah lukis adalah wajah "Abuya" pengasas Darul Arqam yang telah difatwakan sebagai ajaran sesat. (Sila lihat artikel pernah melukis gambar abuya)

Pernah saya bertanya apakah hukum melukis ini menurut Islam? Kerana saya pernah mendengar ada seorang ustaz berkata "Nanti gambar yang kita lukis tu akan minta nyawa dengan kita", namun kerana keseronokan dan nikmatnya melukis ini, saya tidak mengambil endah akan kata-kata tersebut. Bahkan, saya meneruskan melukis tanpa hendak meneliti terlebih dahulu hukumnya, sehinggalah saya mengetahui hukum yang sebenar tentangnya. (Semoga Allah ampunkan kesilapan dan sikap saya tersebut)

Hukum Melukis Gambar Bernyawa

Sebenarnya terdapat banyak dalil mengenai larangan (haram) melukis gambar yang bernyawa ini. Sehingga sekiranya ada yang berkata "makruh sahaja", maka jawapan tersebut perlu nilai semula. Antara hadis-hadis tentang pelarangan melukis gambar bernyawa adalah:

Jabir radhiallahu 'anhu dia berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصُّوْرَةِ فِي الْبَيْتِ وَنَهَى أَنْ يَصْنَعَ ذلِكَ

Maksudnya: “Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam melarang mengambil gambar (makhluk hidup) dan memasukkannya ke dalam rumah dan melarang untuk membuat yang seperti itu.” (Hadis riwayat Imam Tirmizi dalan Sunannya; Al-Albani mensahihkan hadis ini dalam Sahih wa Dha’if Sunan Tirmizi, no: 1749)

Dari Sa'id bin Abil Hasan dia berkata: "Aku pernah berada di sisi Ibn Abbas, tiba-tiba datang kepadanya seorang lelaki maka orang itu berkata: "Wahai Ibnu Abbas! Sesungguhnya aku ini adalah seseorang yang hidup hanya hasil pekerjaan tanganku dan sesungguhnya aku tukang membuat lukisan-lukisan." Maka Ibn Abbas berkata: "Saya tidak akan berbicara denganmu kecuali dengan apa yang pernah saya dengar dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam baginda bersabda:

مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا

"Barangsiapa melukis suatu gambar, sesungguhnya Allah akan menyeksanya sehingga akan diberi nyawa padanya, sementara dia tidak berupaya meniupkan roh ke dalamnya selama-lamanya."

Maka orang itu kemudian merasa sakit hati. Ibn Abbas berkata: "Celaka kamu, jika kamu tetap hendak melakukannya, maka buatlah gambar pohon dan segala sesuatu yang tidak bernyawa." (Hadis riwayat Bukhari, dalam al-Maktabah al-Syamilah, no: 2073)

Syeikh Abdulullah bin Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di dalam Fatwa beliau berkata: "Sesungguhnya banyak sekali hadis-hadis Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam dalam kitab-kitab yang sahih, baik yang terdapat dalam kitab Sunan atau pun dalam kitab Musnad-musnad, iaitu mengenai haramnya membuat gambar sesuatu yang bernyawa, sama ada ianya (gambar) manusia atau bukan. Di dalam hadis-hadis itu ada riwayat yang menceritakan bahawa baginda sallallahu ‘alaihi wasalam mengoyakkan tirai-tirai yang bergambar dan memerintahkan agar dihapuskan gambar-gambar. Disamping itu baginda melaknat tukang gambar dan menerangkan bahawa mereka termasuk orang-orang yang paling keras mendapat siksa di hari kiamat." (Lihat: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=325)

Syeikh Ibn Baz kemudiannya membawakan beberapa nas/dalil yang menunjukkan keharaman melukis gambar, di sini saya kemukakan ertinya sahaja (selain dalil di atas tadi):

Dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : Allah Ta’ala berfirman: Dan siapakah yang lebih zalim dari mereka yang akan membuat satu ciptaan seperti ciptaan-Ku, maka hendaklah mereka menciptakan satu zarrah, atau biji, atau gandum.” (Dalam Sahihain -Bukhari & Muslim-, lafaz ini menurut riwayat Imam Muslim).

Dari Ibnu Mas’ud radiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling keras disiksa di hari Kiamat adalah para tukang gambar (mereka yang meniru ciptaan Allah)". (Sahihain -Bukhari & Muslim-)

Dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: "Sesungguhnya orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka, 'Hidupkanlah apa yang telah kalian buat!’”. (Dalam Shahihain, lafaz ini menurut lafaz Imam Bukhari).

Dari Abu Juhaifah radiallahu ‘anhu: “Bahawasanya Nabi sallallahu ‘alaihi wasalam telah melarang dari (memakan) hasil (jual beli) darah, anjing, usaha pelacuran, dan (baginda) telah melaknat pemakan riba, yang menyerahkannya, pembuat tato (gambar tubuh), yang meminta ditato serta tukang gambar.” (HR. Imam Bukhari).

Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, dia berkata Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam masuk menuju saya dan saya menutup bilik dengan tirai nipis bergambar (dalam riwayat lain: menggantungkan tirai nipis bergambar kuda bersayap…), maka ketika baginda melihatnya baginda mengoyakkannya dan dengan wajah merah padam, baginda bersabda: “Hai Aisyah, manusia yang paling keras disiksa di Hari Kiamat adalah mereka yang meniru ciptaan Allah.” Aisyah berkata: “Maka kami memotong-motongnya lalu menjadikannya satu atau dua bantal.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Dari Al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah, ia berkata : “Saya membeli sebuah bantal bergambar. Maka ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam melihatnya, baginda berdiri di pintu dan tidak masuk. Saya mengenal tanda kemarahan pada wajah baginda. Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya taubat kepada Allah dan RasulNya, apa dosa saya?” Baginda bersabda: “Ada apa dengan bantal ini?” Saya berkata: “Saya membelinya agar anda duduk di atasnya dan bersandar dengannya.” Maka Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam pun bersabda: “Sesungguhnya pemilik (pembuat) gambar-gambar ini akan disiksa di hari Kiamat, dan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkan apa yang telah kalian buat!’ Dan sabdanya lagi: "Sesungguhnya rumah yang didalamnya ada gambar-gambar tidak akan dimasuki oleh malaikat.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Dari Ibnu Abbas radiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “(Sesungguhnya kami para) Malikat tidak masuk rumah yang didalamnya ada anjing dan gambar.” (HR Bukhari & Muslim, dengan lafaz Muslim). Dalam riwayat Ibnu Umar “(Sesungguhnya kami para) Malaikat tidak masuk rumah yang didalamnya ada anjing dan gambar.”

Dari Zaid bin Khalid dari Abi Talhah secara marfu’:  “Malaikat tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada anjing dan patung (gambar).” (HR. Imam Muslim).

Dari Abi al-Hayyaj Al-Asadi, dia berkata: Ali mengatakan pada saya: Mahukah kamu saya mengutuskan kepada apa yang saya pernah diutuskan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasalam: iaitu “Jangan kau tinggalkan satu gambarpun, melainkan kamu hapuskan ia dan tidak ada satu kuburpun yang menonjol (tinggi-edt) melainkan kau ratakan ia.” (HR. Imam Muslim). Dan dalil-dalil seterusnya (Sila lihat artikel: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=325)

Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan dalam Syarah Muslim: “Teman-teman kami (dari mazhab Syafi’iyyah) dan selain mereka berkata: Membuat gambar makhluk yang bernyawa haram dengan sebenar-benar keharaman, termasuk dosa besar, kerana diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana tersebut dalam hadis-hadis. Baik orang yang membuat gambar itu bertujuan merendahkannya ataupun selainnya, perbuatannya tetap juga dihukumi sebagai haram, walau apapun keadaannya. Kerana perbuatan demikian menandingi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Baik gambar itu dibuat pada kain/baju, hamparan/permadani, dirham atau dinar, wang, bekas air, tembok/dinding, dan selainnya. Adapun membuat gambar pohon, pelana unta dan selainnya yang tidak mengandungi gambar makhluk bernyawa, tidaklah diharamkan. Ini berkenaan hukum gambar itu sendiri. Adapun mengambil gambar makhluk bernyawa untuk digantung di dinding, pada pakaian yang dikenakan, atau pada sorban dan yang semisalnya yang tidak dikira untuk  merendah-rendahkan/menghinakannya (yakni bukan untuk pijak atau diduduki-edt), maka hukumnya haram. Namun apabila gambar itu  (setelah dipotong kepalanya-edt) terdapat pada hamparan yang dipijak, pada bantal dan yang semisalnya untuk dihinakan, maka tidaklah haram.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu melanjutkan: “Tidak ada perbezaan dalam hal ini antara gambar yang memiliki bayangan dengan yang tidak memiliki bayangan (dua atau tiga dimensi-edt). Demikianlah kesimpulan mazhab kami (Asy-Syafi'iyyah) dalam masalah ini. Jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka juga berpendapat yang semakna dengan ini. Pendapat ini dipegangi Ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah, dan selain mereka.”

Az-Zuhri rahimahullahu menyatakan bahawa larangan menggambar ini umum, demikian pula penggunaannya, baik gambar itu berupa cap/setem/lukisan pada baju/kain ataupun bukan setem. Baik gambar itu di dinding, kain, pada hamparan yang direndahkan, ataupun yang tidak direndahkan, sebagai pengamalan zahir hadis, lebih-lebih lagi hadis namruqah yang disebutkan Al-Imam Muslim. Ini pendapat yang kuat, kata Al-Imam An-Nawawi. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/307-308)

Dalam masalah gambar yang berupa setem/lukisan pada kain, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menguatkan pendapat yang menyatakan jika gambar tersebut utuh dan jelas bentuknya maka haram. Namun jika gambar itu dipotong kepalanya, atau terpisah-pisah bahagian tubuhnya maka ianya dibolehkan (harus). (Fathul Bari, 10/480)  (Sila Lihat: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=343)

Hukum Bermain Anak Patung

Mungkin ada yang ingin bertanya, bagaimana dengan bermain anak patung? Ini kerana terdapat hadis yang menjelaskan bahawa 'Aisyah radhiallau 'anha pernah bermain anak patung sedangkan Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam tidak melarangnya. Maka jawabnya, benar. Hadis tersebut adalah seperti berikut:

‘Aisyah radhiallahu 'anha menceritakan:


أَنَّهَا كَانَتْ تَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَتْ: وَكَانَتْ تَأْتِيْنِي صَوَاحِبِيْ فَكُنَّ يَنْقَمِعْنَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَتْ: فَكاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ


“Bahawasanya dia biasa bermain boneka anak perempuan di sisi Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam. Dia berkata: "Teman-teman kecilku biasa datang untuk bermain bersamaku. Namun bila Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam datang, mereka sembunyi (kerana segan dan malu kepada baginda) dan baginda pun menggiring mereka kepadaku.” (HR. Muslim no. 6237)

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Dalam hadis ini menunjukkan bolehnya bermain boneka kanak-kanak.” Beliau juga mengatakan: “Boneka kanak-kanak dikhususkan dari larangan yang ada dalam hadis ini, dan juga kerana ingin memberikan pendidikan awal kepada wanita dalam mengatur perkara diri mereka, rumah, dan anak-anak mereka (kelak).” (Al-Minhaj, 15/200) (Sila Lihat: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=343)

Pendapat ini (yakni boleh kanak-kanak bermain anak patung) merupakan pendapat jumhur ulama. Namun sebahagian tetap juga tidak membenarkan kecuali setelah dipotong kepalanya seperti Imam Al-Baihaqi, Ibnul Jauzi dan Ibn Batthal. Muhaddis dari Yaman iaitu Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah juga memilih pendapat jumhur iaitu bolehnya kanak-kanak bermain anak patung. (Lihat link website asy-syariah  sebagaimana di atas) Wallahua'lam.

Melukis Dengan Mengambil Gambar Menggunakan Kamera Berbeza (Tidak Sama).

Perkara ini (mengambil gambar) terdapat perselisihan (ikhtilaf) dikalangan ulama tentangnya. Ada ulama yang berpendapat bahawa melukis dengan tangan tidak sama dengan mengambil gambar dengan kamera. Mengambil gambar dengan menggunakan kamera (menurut sebahagian ulama) ia tidak terdapat penciptaan makhluk atau gambar di dalamnya. Ia hanyalah sebatas memindahkan suatu objek ke tempat yang lain. Ia adalah sepertimana melihat cermin, tidak ada sesiapa pun yang mengatakan haram bila melihat cermin, kerana di sana tidak ada unsur penciptaan sedikitpun. Walaubagaimana pun ianya (mengambil gambar) tidak disukai dan yang lebih baik adalah menjauhi perbuatan tersebut. Ini kerana telah banyak berlaku kerosakan disebabkan oleh gambar-gambar yang dihasilkan. Bahkan penyebab berlakunya syirik pertama dimuka bumi ini adalah disebabkan penghasilan gambar mahkluk yang mana ianya dijadikan sebagai sembahan dan tempat bermohon wasilah yang tiada disyariatkan. Wallahua'lam. Dan bagi saya sendiri, sekiranya dapat keluar dari perselisihan ini, maka ia lebih baik (yakni lebih baik tidak mengambil gambar).

Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقْدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ


Maksudnya: "Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan diantara keduanya ada perkara syubhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka siapa yang menjaga diri dari syubhat, maka dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke lembah yang haram, seperti penggembala sedang menggembalakan ternakannya di sekitar tempat yang di pagar (terlarang), hampir-hampir dia terjatuh padanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Wallahua Ta'ala a'lam.  

Ahad, 18 Oktober 2009

Makna Hadis-Hadis Tentang "Al-Jama'ah"

HADIS PERTAMA

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا خَطَبَ بِالْجَابِيَةِ، فَقَالَ: قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ مَنْ أَرَادَ مِنْكُمْ بَحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الإِثْنَيْنِ أَبْعَدُ

Makna Hadis:

Dari Abdullah bin Umar berkata: Umar bin Khattab radhiallahu 'anhuma pernah berkhutbah di Al-Jabiyah seraya berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di hadapan kami dan bersabda: "Barangsiapa dari kalian menginginkan tinggal di tengah-tengah syurga, maka hendaklah berpegang teguh kepada Al-Jama'ah, kerana syaitan bersama seorang (sendirian) dan dia dari dua orang, dengan lebih jauh.

Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh:

1. Tirmizi, hadis no. 2254 dengan syarh Tuhfatul Ahwadzi.
2. Ahmad dalam Musnadnya juz I, hal. 18.
3. Hakim dalam Mustadrak juz I, hal. 114.
4. Baihaqi dalam Sunanul Kubra juz VII, hal. 91.

Sanad hadis ini semuanya dari jalan Muhammad bin Sauqah dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar dari Umar bin Khaththab. Tirmidzi dan Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Imam Dzahabi.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 2363), Ahmad (I/26), Abu Daud At-Thayalisi (no. 31), dan Ibnu Hibban (no. 2282), dari jalan Jarir dari Abdul Malik bin Umair dari Jarir dengan lafaz: Umar berkhutbah di hadapan manusia di Al-Jabiyah… sehingga akhir hadis. (Al-Hadis).

Syaikh Salim Al-Hilali berkata: Sanadnya SAHIH. Hakim menyatakan bahawa di dalamnya ada perawi yang cacat, iaitu pada Abdul Malik bin Umair. Kemudian Hakim membawakan jalan yang lain dari Sa'ad bin Abi Waqqash, berkata: Umar berdiri di Al-Jabiyah…. sehingga akhir hadis (Al-Hadis). Kemudian Hakim mensahihkannya dan disepakati oleh Imam Dzahabi.

Syaikh Salim berkata: "Dalam sanadnya ada Muhammad bin Muhajir bin Mismar. Tidak jelas bagiku, siapa dia. Jika yang dimaksud adalah Muhammad bin Muhajir al-Quraisyi maka dia orangnya lemah. Jika selain dia maka aku tidak tahu riwayat hidupnya. Tapi secara keseluruhan, hadis ini SAHIH." (Al-I'tisham II/769, Asy-Syatibi, tahqiq: Salim bin 'Ied Al-Hilali).

Mufradat Hadis

بَحْبُوْحَةُ yakni: "Di tengah dan yang terbaik." (Gharibul Hadits, Abul Faraj al-Jauzi juz I hal. 56 dan An-Nihayah fi Gharibil Hadits, Abus Sa'adat juz I hal. 98).

فإنّ الشّيطان مع الواحد Yakni: "Bersama orang yang keluar dari ketaatan kepada amir dan memecah Al-Jama'ah." (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami' At-Tirmidzi, Al-Hafiz Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri, juz VI hal. 321).

Imam At-Thayyibi ketika menerangkan makna "dan dia dari dua orang dengan lebih jauh" berkata: "Yakni (syaitan) akan lebih jauh lagi dan kalau tiga orang maka bertambah jauh lagi." (Tuhfatul Ahwadzi, juz VI hal. 321).

Syarah Hadis

Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syatibi menyatakan:

"Para ulama berselisih pendapat tentang makna Al-Jama'ah yang ada dalam hadis tersebut, menjadi lima pendapat:

Pertama: Al-Jama'ah ialah Sawadul A'zham (kelompok manusia yang besar sekali jumlahnya, mereka berpegang kepada agama Islam dan jauh dari firqah sesat, ed.)

Dan inilah yang disebutkan oleh Abu Ghalib rahimahullah bahawasanya Sawadul A'zham adalah orang-orang yang selamat dari berbagai firqah (perpecahan). Maka setiap urusan agama yang mereka sepakati itulah al-haq (kebenaran). Barangsiapa menentang mereka kemudian dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliah. Sama saja, baik dalam masalah syari'at atau menentang terhadap imam dan penguasa mereka. Termasuk yang berpendapat demikian adalah Abu Mas'ud Al-Anshari dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhuma berkata: "Kalian wajib mendengar dan taat, kerana Al-Jama'ah merupakan tali Allah yang diperintahkan untuk dipegang erat-erat." Lalu Ibnu Mas'ud memegang tangannya dan berkata: "Sesungguhnya orang yang kamu benci dalam Al-Jama'ah itu lebih baik daripada orang yang kamu cintai tapi dia dalam firqah."

Diriwayatkan dari Husain radhiallahu anhu bahawasanya ada orang yang mengatakan kepadanya bahawa Abu Bakar As-Shiddiq telah (dibai'at oleh para shahabat) menjadi khalifah (pengganti) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Husain berkata: "Benar, demi Zat yang tiada berhak disembah selain Dia, umat Muhammad (yakni ijma' sahabat) ini tidak akan berkumpul di atas kesesatan!!"

Berdasarkan pendapat ini, maka yag termasuk Al-Jama'ah ialah para mujtahid, ulama, dan ahli syari'ah yang beramal dengannya. Adapun orang-orang di luar mereka, boleh dimasukkan dalam kategori ini sebab orang-orang tersebut mengikuti dan meneladani mereka. Setiap orang yang keluar dari jama'ah mereka, bererti dia telah menyimpang dan menjadi tawanan syaitan. Termasuk dalam hal ini semua ahli bid'ah, kerana mereka telah menentang para pendahulu umat ini. Sebab itu, mereka sama sekali tidak termasuk Sawadul A'zham!

Kedua: Al-Jama'ah ialah kumpulan para imam dari kalangan ulama mujtahidin. Barangsiapa keluar dari apa yang telah dipegang oleh para ulama umat ini lalu dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliah. Allah menjadikan mereka sebagai hujjah bagi seluruh alam. Mereka itulah orang-orang yang disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (yang ertinya): "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku di atas kesesatan." Makna "tidak berkumpul umatku" iaitu: "tidak akan berkumpul ulama umatku di atas kesesatan." Demikian menurut pendapat Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan sekelompok dari ulama Salaf. Para Ulama Usul juga menyatakan pendapat yang serupa.

Abdullah bin Mubarak pernah ditanya seseorang: "Siapakah Al-Jama'ah yang layak untuk dijadikan teladan?" Jawab beliau: "Abu Bakar, Umar..." (beliau terus menyebutkan satu-persatu sampai kepada Muhammad bin Tsabit dan Husain bin Waqid). Maka dikatakan: "Yang engkau sebut itu adalah orang-orang yang telah tiada, maka siapakah yang masih hidup?" Beliau menjawab: "Abu Hamzah As-Sukri." Ishaq bin Rahawaih juga menyatakan pendapat serupa.

Dengan demikian, seorang ahli bid'ah tidak termasuk dalam Al-Jama'ah berdasarkan Ijma'. Ini kerana pada dasarnya perbuatan bid'ahnya itu bertentangan dengan ijma'.

Ketiga: Al-Jama'ah ialah para sahabat secara khusus ridhwanullah alaihim. Ini kerana merekalah yang telah menegakkan tiang-tiang agama ini. Dan mereka tidak pernah bersepakat dalam kesesatan sama sekali. Pendapat inilah yang dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz.

Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik bahawa Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pengganti (Wulatul Amri) setelah baginda meninggal dunia telah membuat sunnah (tariqah). Mengambil (mengikuti) sunnah tersebut bererti tashdiq (membenarkan) terhadap Kitabullah, penyempurna ketaatan kepada Allah, dan menjadi penguat terhadap agama Allah ini. Tidak boleh seorang pun menukarnya atau merubahnya. Barangsiapa menjadikannya (As-Sunnah) sebagai petunjuk maka dia akan mendapat hidayah. Siapa saja yang menolongnya (menghidupkan As-Sunnah), dia akan ditolong. Barangsiapa yang menyelisihinya, bererti dia mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (yakni para sahabat). Allah akan memalingkannya kemana saja dia berpaling dan memasukkannya ke dalam jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali."

Kemudian Imam Malik berkomentar: "Aku sangat kagum terhadap ketegasan Umar bin Abdul Aziz dalam hal itu."

Berdasarkan pendapat inilah, lafaz Al-Jama'ah sesuai dengan riwayat yang lain, yaitu sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

"Setiap orang yang mengikuti sunnahku dan para sahabatku." (HR. Tirmizi, HASAN)

Makna Al-Jama'ah ini juga sesuai dengan persaksian Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang mereka khususnya dalam sabdanya:



فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ

"Maka hendaklah kamu (wajib) berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa ur-rasyidin." (HR. Abu Daud & Tirmizi; HASAN SAHIH)

Dengan demikian, setiap apa yang mereka sunnahkan maka itu merupakan sunnah yang tidak perlu ditinjau kembali. Hal ini berbeza dengan kaum selain mereka. Ini kerana pada generasi selain dari para sahabat, ada ahli ijtihad yang kemudiannya boleh ditolak ataupun diterima pendapatnya. Oleh kerana itu, ahli bid'ah jelas tidak termasuk Al-Jama'ah.

Keempat: Al-Jama'ah ialah jama'ah ahlul Islam tatkala mereka bersepakat dalam satu urusan. Maka wajib bagi umat Islam selain mereka, untuk mengikuti ijmaknya kaum muslimin ini. Mereka adalah orang-orang yang dijamin oleh Allah tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Jika terjadi perselisihan di kalangan mereka maka kita wajib mengetahui pendapat yang benar dalam masalah yang mereka perselisihkan itu.

Imam Syafi'i rahimahullah berkata: "Dalam Al-Jama'ah tidak akan terjadi kelalaian dalam memahami Kitabullah, Sunnah mahupun Qias, kerana kelalaian itu hanya terjadi di dalam firqah."

Kelima: Pendapat yang dipilih oleh Imam Thabari iaitu bahawa Al-Jama'ah ialah Jama'atul Muslimin yang sepakat atas seorang amir (pemimpin). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk komitmen kepadanya dan melarang perpecahan umat dalam perkara kesepakatan tentang pemimpin yang telah diangkat. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Siapa saja yang mendatangi umatku untuk memecah-belahkan jama'ah mereka, maka bunuhlah dia, walau siapapun orangnya." (HR. Muslim XII/241 dengan Syarah Imam Nawawi).

Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-'Asqalani menukil perkataan Ibnu Jarir At-Thabari bahawa yang benar tentang maksud ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Hudzaifah "Berpeganglah engkau kepada Jama'atul Muslimin dan imam mereka!" ialah: "Berpeganglah kepada orang-orang yang telah sepakat (berbai'at) mengangkat seorang amir dalam ketaatan. Barangsiapa melanggar bai'atnya maka dia telah keluar dari Al-Jama'ah!" (Fathul Bari, Al-'Asqalani XIII/37)

Imam Thabari menyatakan: "Inilah pengertian dari diperintahkannya menetapi Al-Jama'ah. Adapun Al-Jama'ah yang apabila umat telah sepakat dengan ridla untuk mengangkat seorang amir -yang jika dia keluar darinya, matinya dalam keadaan Jahiliyah- maka ini merupakan makna Al-Jama'ah yang diterangkan oleh Abu Mas'ud Al-Anshari. Mereka merupakan majoriti manusia dari ahli ilmu dan agama beserta pengikutnya. Mereka itulah Sawadul A'zham." Selanjutnya, beliau berkata: "Adapun riwayat yang menyebutkan bahawa umatku tidak akan berkumpul di atas kesesatan, maknanya ialah Allah tidak akan mengumpulkan mereka dalam keadaan tersesat dari al-haq (kebenaran) pada hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama mereka. Jadi, Al-Jama'ah pengertiannya kembali kepada berkumpulnya ahlul Islam, untuk mengangkat seorang imam yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafus-Soleh. Maka, jelas keliru besar orang yang mengira bahawa Al-Jama'ah adalah sekumpulan dari kebanyakan orang, padahal di dalamnya tidak ada ulama pun yang memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagaimana yang difahami oleh para sahabat ridhwanullah alaihim ajma'in. (Al-I'tisham II/770-778, Imam Asy-Syatibi, tahqiq: Salim Al-Hilali, cet. I 1412 H, Dar Ibnu Affan).

Jadi, beberapa pendapat tentang makna Al-Jama'ah adalah sebagai berikut:

Pertama, Al-Jama'ah adalah Sawadul A'zham (kelompok manusia yang besar sekali jumlahnya).
Kedua, Al-Jama'ah ialah kumpulan para imam dari kalangan ulama mujtahidin.
Ketiga, Al-Jama'ah ialah para sahabat secara khusus ridhwanullah alaihim.
Keempat, Al-Jama'ah ialah kumpulan umat Islam tatkala mereka bersepakat dalam satu urusan.
Kelima, Al-Jama'ah ialah Jama'atul Muslimin yang sepakat atas seorang amir (pemimpin). (Lihat Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah oleh Imam Al-Laalikai, tahqiq: Dr. Ahmad Sa'ad Hamdan juz 1-2 hal.96 dan As-Sunnah oleh Ibnuu Khallal, tahqiq: Dr. 'Athiyyah Az-Zahrani hal.74).

Itulah pendapat-pendapat penting tentang makna Al-Jama'ah yang kita diperintah untuk beriltizam (komitmen) kepadanya. Dari pendapat-pendapat tersebut, akhirnya kita dapat menarik dua kesimpulan:

1. Al-Jama'ah ialah jama'ah kaum muslimin apabila bersepakat atas seorang imam (pemimpin) berdasarkan syari'at dan kita wajib menetapi jama'ah tersebut serta haram keluar darinya.

2. Al-Jama'ah ialah setiap orang yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para sahabatnya ridhwanullah alaihim, baik sedikit mahupun banyak, sesuai dengan keadaan umat dengan beragam tempat dan masanya.

Oleh kerana itu, Abdullah bin Mas'ud radhiallahu anhu berkata:


الجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ

"Al-Jama'ah ialah setiap yang sesuai dengan kebenaran meskipun kamu seorang diri." (Lihat Al-Hawadits wal Bida' oleh Abu Syamah hal. 22. Hadits diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Al-Madkhal).

Dalam riwayat lain:


إِنَّمَا الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ طَاعَةَ اللهِ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ

"Al-Jama'ah adalah siapa saja yang sesuai ketaatannya kepada Allah walaupun engkau bersendirian." (Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah I/109).

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: "Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh Abu Syamah dalam kitabnya Al-Hawadits wal Bida'. Ketika datang perintah untuk berpegang dengan Al-Jama'ah, maka yang dimaksudkan dengannya adalah berpegang kepada al-haq (kebenaran) dan mengikutinya. Sebab, orang yang berpegang dengannya sangat sedikit dan yang menentangnya demikian banyaknya. Sesungguhnya yang dimaksud dengan al-haq ialah apa-apa yang difahami oleh jama'ah pertama dari kalangan para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (Ighatsatul Lahfan I/80, tahqiq: Basyir Muhammad 'Uyun).

Ibnu Khallal rahimahullah dalam kitabnya As-Sunnah berkata: "Al-Jama'ah ialah Jama'atul Muslimin, iaitu para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai Hari Akhir. Mengikuti mereka merupakan hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah sesat, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

"Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalan-jalan  mukminin (para sahabat ridhwanullah alaihim) maka Kami biarkan dia bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ke dalam Jahannam dan Jahannam itu merupakan seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa`: 115). (As-Sunnah, Abu Bakr bin Muhammad Al-Khallal, tahqiq: Dr. Athiyyah Az-Zahrani, hal. 79).


HADITS KEDUA



عَنْ أَبِى ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ

Makna Hadis:

Dari Abu Dzar radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa memisahkan diri dari Al-Jama'ah walaupun sejengkal, maka bererti dia telah melepaskan ikatan Islam dari tengkuknya."

Takhrij Hadis:

Hadis ini diriwayatkan oleh:

1. Abu Daud dalam Sunannya, hadis no. 4758
2. Ahmad dalam Musnadnya V/180
3. Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak I/117
4. Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah (892)

Sanad hadis ini semuanya dari jalan Khalid bin Wahban dari Abu Dzar secara marfu' (sampai periwayatannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ed.)

Syaikh Salim Al-Hilali berkata: "Sanad ini dha'if (lemah) kerana Khalid adalah majhul (tidak dikenal periwayatannya, ed). Tetapi hadis ini memiliki syahid (penguat) yang SAHIH dari hadis Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radliallahu anhuma oleh Muslim XII/240, Syarh Imam Nawawi).



HADITS KETIGA


عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى الضَّلاَلَةِ، وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ

Makna Hadis:

Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku di atas kesesatan. Dan tangan Allah bersama Al-Jama'ah. Barangsiapa menyimpang dari Al-Jama'ah, bererti dia menyimpang ke neraka."

Takhrij hadis:

Hadis ini diriwayatkan oleh:
1. Tirmizi dalam Sunannya (2167)
2. Hakim dalam kitab Al-Mustadrak I/115
3. Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah (80)

Seluruhnya dari jalan Mu'tamar bin Sulaiman dari Sulaiman Al-Madani dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu'.

Syaikh Salim berkata: "Sanadnya dha'if kerana Sulaiman Al-Madani namanya adalah Ibnu Sufyan, bekas hamba kepada keluarga Thalhah, dia orangnya lemah. Tetapi hadis ini memiliki penguat (mutaba'ah) dari jalan Marzuq, bekas hamba kepada keluarga Thalhah, dia orang yang tsiqat (terpercaya). Imam Thabrani meriwayatkannya dalam Mu'jamul Kabir. Dengan demikian hadis ini SAHIH.


HADITS KEEMPAT


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ، مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Makna Hadis:

Dari Ibnu Abbas radliallahu anhuma berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tidak disukainya, maka hendaklah bersabar kerana sesungguhnya jika seseorang keluar dari Al-Jama'ah walaupun sejengkal kemudian dia mati, maka matinya dalam keadaan jahiliyyah."

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dengan Syarh Fathul Bari XIII/5 dan Muslim (1849).

Syarah hadis:

Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan tentang makna "matinya dalam keadaan mati jahiliyah" ialah: "Matinya seperti Ahli Jahiliyah, iaitu di atas kesesatan. Dan dia tidak memiliki imam yang ditaati kerana mereka tidak mengenalnya. Dan bukan maksudnya dia mati kafir, tapi matinya sebagai orang yang berbuat maksiat." (Fathul Bari XIII/7).

Yang dimaksud dengan amir (pemimpin) di sini adalah memang benar-benar amir (pemimpin/penguasa), bukan "amir-amiran" (orang-orang yang berkuasa). Dan amir ini mesti memiliki negara sejati, bukan "negara boneka". Dan negaranya mesti di atas tanah bukan negara bawah tanah.

Cukup sampai di sini saja pembahasan makna hadis-hadis tentang Al-Jama'ah. Kita berdo'a kepada Allah Azza wa Jalla agar kita senantiasa diberi petunjuk-Nya dan semoga kita tidak menyimpang dari Shirathal Mustaqim serta selalu berpegang dengan Al-Jama'ah dan terjauh dari segala firqah. Amien ya rabbal 'alamin.

Wallahu Ta'ala A'lam.

Maraji':

1. Shahih Bukhari dengan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al-'Asqalani.
2. Shahih Muslim dengan syarh Imam Nawawi.
3. Al-I'tisham oleh Asy-Syathibi, tahqiq Salim Al-Hilali.
4. Gharibul Hadits oleh Abul Faraj Al-Jauzi.
5. An-Nihayah fi Gharibil Hadits oleh Abu Sa'adat.
6. Syarh I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah oleh Al-Laalika`i, tahqiq Dr. Ahmad Sa'ad Hamdan.
7. As-Sunnah oleh Ibnu Khallal, tahqiq Dr. 'Athiyyah Az- Zahrani.
8. Ighatsatul Lahfan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, tahqiq Basyir Muhammad 'Uyun.
9. Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami' At-Tirmidzi oleh Al-Mubarakfuri.
10. Talbis Iblis oleh Ibnul Jauzi, tahqiq Ali Hasan Al-Atsari.

Sumber: Majalah SALAFY edisi Perdana/Sya'ban/1416/1995 rubrik Hadits. Dinukil serta disunting dari: http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=28