Selasa, 12 Januari 2010

Menjaga Aqidah Ketika Sakit

Setiap orang yang beriman pasti akan diberikan ujian oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ujian tersebut beragam bentuknya, sesuai dengan keadaan dan kadar keimanan seseorang. Ujian boleh berupa kesenangan dan boleh juga berupa kesusahan. Dan salah satu dari bentuk ujian tersebut adalah tertimpanya seseorang dengan suatu penyakit yang merosakkan dirinya.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam surat Al-‘Ankabut ayat 1 hingga 3, bahawa hikmah diberikannya ujian kepada kaum mukminin adalah untuk mengetahui [1] siapa yang jujur dan siapa yang dusta dalam pengakuan iman mereka tersebut.

Demikian juga ketika sakit, seseorang akan diuji tingkat kejujuran iman dan aqidahnya. Sangat disayangkan, ternyata di sana masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh orang yang sedang ditimpa penyakit. Di antara mereka ada yang tidak menerima bahkan menolak takdir Allah yang sedang dia rasakan tersebut. Bahkan ada yang mengatakan dan menuduh bahawa Allah tidak adil kepada dirinya, Allah telah berbuat zalim kepadanya, dan sebagainya, na’udzubillah min dzalik. Ada pula yang tidak sabar dan putus asa dengan keadaannya tersebut sehingga dia sangat berharap ajal segera menjemputnya. Dan bahkan ada pula yang bertekad untuk melakukan (berusaha) bunuh diri dengan harapan penderitaannya segera berakhir. Ini semua menunjukkan lemahnya keimanan dan kurangnya kejujurannya dalam ikrar keimanannya tersebut.

Lalu bagaimana bimbingan syari’at yang mulia dan sempurna ini di dalam menyikapi permasalahan-permasalahan seperti itu? Apakah solusi (penyelesaian) yang sepatutnya dilakukan oleh setiap hamba yang mengaku beriman kepada Allah ‘azza wa jalla, Rasul-Nya dan hari akhir jika tertimpa sesuatu penyakit agar iman dan aqidah ini senantiasa terjaga? Maka kali ini insya Allah akan kami ketengahkan kepada anda, bagaimana syari’at membimbing anda tentang sikap yang sepatutnya dilakukan oleh seseorang yang sedang mengalami sakit agar dia dikatakan sebagai seorang yang jujur dalam keimanan dan aqidahnya. Di antara sikap tersebut adalah [2]:

Pertama: Hendaklah dia merasa redha dengan takdir dan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut, bersabar dengannya dan berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan apa yang sedang dia rasakan. Kerana segala yang dia terima adalah merupakan sesuatu yang terbaik Allah subhanahu wa ta’ala beri kepadanya. Ini merupakan sikap seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh sangat menakjubkan urusan seorang mukmin, kerana segala urusannya adalah berupa kebaikan. Dan tidaklah didapati keadaan yang seperti ini kecuali pada diri seorang mukmin saja. Ketika dia mendapatkan kebahagiaan, dia segera bersyukur. Maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan ketika dia mendapatkan kesusahan dia bersabar. Maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim dari sahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu)

Baginda juga bersabda:

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

“Janganlah salah seorang diantara kamu meninggal kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma)

Kedua: Hendaklah dia memiliki sikap raja’ (berharap atas rahmat Allah subhanahu wa ta’ala) dan rasa khauf (takut dan cemas dari azab Allah subhanahu wata’ala)


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّي أَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi seorang pemuda yang sedang sakit. kemudian baginda bertanya kepadanya: “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Demi Allah ya Rasulullah, sungguh saya sangat mengharapkan rahmat Allah dan saya takut akan siksa Allah disebabkan dosa-dosa saya.” Maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah dua sifat tersebut ada pada seorang hamba yang dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan akan memberi rasa aman dengan apa yang dia takutkan.” (HR. At-Tirmizi dan Ibnu Majah dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Ketiga: Tidak diperbolehkan baginya untuk mengharapkan kematian segera menjemputnya ketika penyakitnya ternyata semakin menjadi parah dan memburuk.

أأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى الْعَبَّاسِ وَهُوَ يَشْتَكِي فَتَمَنَّى الْمَوْتَ فَقَالَ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّ رَسُولِ اللَّهِ لَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتَ مُحْسِنًا تَزْدَادُ إِحْسَانًا إِلَى إِحْسَانِكَ خَيْرٌ لَكَ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ خَيْرٌ لَكَ فَلَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ قَالَ يُونُسُ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ مِنْ إِسَاءَتِكَ خَيْرٌ لَكَ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi bapa saudaranya ‘Abbas yang sedang sakit. Dia mengeluh dan berharap kematian segera datang menjemputnya. Maka baginda bersabda kepadanya: “Wahai pamanku, janganlah engkau berharap kematian itu datang. Jika engkau adalah orang baik, maka engkau boleh menambah kebaikanmu, dan itu baik untukmu. Namun jika engkau adalah orang yang banyak melakukan kesalahan, maka engkau dapat mengingkari dan membetulkan kesalahanmu itu, dan itu baik bagimu, maka janganlah berharap akan kematian.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari sahabiyyah Ummul Fadhl radhiyallahu ‘anha)

Namun ketika ternyata dia tidak dapat bersabar dan harus melakukannya, maka hendaknya dia mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Ya Allah hidupkanlah aku apabila kehidupan itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik bagiku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Keempat: Hendaknya dia berwasiat ketika merasa ajalnya telah dekat untuk dipersiapkan dan dilakukan pengurusan jenazahnya nanti sesuai dengan bimbingan syari’at dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah. Hal ini sebagai bentuk pengamalan firman Allah subhanahu wata’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)

Dan di sana terdapat banyak kisah- kisah para sahabat yang mereka berwasiat dengan hal ini ketika merasa ajal segera menjemputnya. Salah satunya adalah kisah sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang pernah berwasiat ketika dia merasa ajal telah dekat. Dia berkata:


إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ

“Jika aku  mati, janganlah kamu mengumumkannya, aku takut kalau perbuatan tersebut termasuk na’i (mengumumkan kematian yang dilarang sebagaimana dilakukan orang-orang jahiliyyah), kerana sesungguhnya aku mendengar Rasulullah melarang perbuatan na’i tersebut.” (HR. At-Tirmizi)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Adzkar: “Sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk berwasiat kepada keluarganya agar meninggalkan kebiasaan atau adat yang ada dari berbagai bentuk kebid’ahan dalam penyelenggaraan jenazah. Dan hendaknya dia menekankan permasalahan itu.”

Wallahu A’lam.

Diringkaskan dari Kitab Ahkamul Jana-iz karya Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah oleh Al-Ustadz Abdullah Imam.

___________________________________
[1] Dan Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui kadar dan tingkatan kejujuran iman seseorang walaupun tidak memberikan ujian kepada hamba-Nya itu.

[2] Diringkaskan dari kitab Ahkamul Jana-iz karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu ta’ala.

Disunting oleh: Abu Sholeh
Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=419#more-419