Sabtu, 23 Januari 2010

Bid'ah Perayaan Maulid Nabi Pada Bulan Rabi'ul Awal

Oleh: Syeikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan

Perayaan maulid termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang Nasrani. Acara ini diadakan oleh orang-orang awam dari kalangan kaum Muslimin atau para ulama yang menyesatkan yang dilakukan pada bulan Rabi'ul Awal setiap tahunnya. Pada bulan itulah Nabi sallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan.

Sebahagian mereka merayakannya di masjid, rumah atau di tempat-tempat tertentu yang dapat dihadiri oleh banyak orang. Perbuatan mereka ini menyerupai perayaan kristian, dimana mereka (orang kristian) merayakan hari kelahiran Isa Al-Masih.

Umumnya, perbuatan ini selain menyerupakan bid'ah dan tindakan tasyabbuh (menyerupai) orang kristian, juga di dalamnya terdapat amalan syirik dan mungkar. Contohnya, melantunkan syair-syair yang di dalamnya terdapat sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam kedudukan Nabi sallallahu 'alaihi wasallam hingga pada peringkat berdoa dan meminta tolong kepada selain Allah Ta'ala.

Di antara syair tersebut adalah perkataan Al-Busairi dalam Al-Burdah:

Wahai semulia-mulia makhluk
Siapa yang dapat aku jadikan tempat mengadu selain engkau 
di kala tertimpa musibah yang merata

Jika engkau tidak memegang tanganku di Hari Kiamat nanti
Sebagai keutamaan bagiku
Maka celakalah aku

Sesungguhnya di antara kemurahanmu
Adalah engkau berikan dunia dan seisinya
Dan di antara ilmumu
Adalah engkau mengetahui Lauhul Mahfuz

Ibnu Rajab dan lainnya berkata: "Al-Busairi tidak memberikan sedikit hak untuk Allah, kerana dia menyatakan dunia dan akhirat adalah kemurahan Rasulullah."

Nabi telah melarang kita berlebihan dalam memuji baginda. Baginda sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم إنما أنا عبد فقولوا: عبد الله ورسوله

"Janganlah kamu berlebihan dalam memujiku seperti pujian orang Nasrani terhadap Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah Abdullah (hamba Allah) dan RasulNya." (HR. Ahmad dalam Musnadnya (1/24), no: 154, 164. Al-Bukhari, no: 3445)

Al-Ithra' bermaksud "berlebihan dalam memuji", sebahagian mereka meyakini bahawa Nabi sallallahu 'alaihi wasallam menghadiri perayaan mereka.

Salah satu bentuk kemungkaran yang terjadi pada perayaan itu adalah melantunkan syair secara bersama-sama dengan dilagukan yang diiringi tabuhan gendang, dan berbagai amal zikir bid'ah kaum sufi lainnya. Kemungkinan pula terjadi dalam perayaan tersebut ikhtilat (percampuran antara lelaki dan perempuan) yang dapat menimbulkan fitnah dan mengakibatkan terjadinya perbuatan keji.

Andainya jika perayaan itu terhindar dari perkara-perkara seperti di atas, iaitu hanya sekadar berkumpul-kumpul, memakan makanan dan menunjukkan kegembiraan seperti anggapan mereka, maka hal ini tetap dihukumi sebagai perbuatan bid'ah dan (sesuatu yang) diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat.

Selain itu, memakan makanan seperti ini akan berkembang menjadi perayaan yang lebih besar sehingga di dalamnya terdapat berbagai kemungkaran yang biasa terjadi dalam perayaan-perayaan lainnya.

Kami mengatakan sebagai perbuatan bid'ah kerana perayaan seperti ini tidak mempunyai dasar dari Al-Quran dan As-Sunnah, serta tidak pernah dilakukan oleh salafus soleh pada hidup mereka tiga generasi yang terpilih. Perayaan ini muncul pada akhir abad ke-4 Hijriah yang dipelopori kaum Fatimiah yang bermazhab Syi'ah.*

* (Sila rujuk nota kaki asal buku syeikh Fauzan ini. Syeikh membawakan pernyataan yang panjang dari Syeikh Masyhur bin Hasan terhadap tahqiqnya ke atas kitab Al-I'tisham 2/352-356 berkenaan perkembangan penganut fahaman Syiah)

Imam Abu Hafs Tajuddin Al-Fakihani berkata: "Amma Ba'du, berulangkali muncul pertanyaan dari sekelompok orang -yang semoga diberkati Allah- tentang hukum perkumpulan (perayaan) yang diadakan oleh sebahagian orang pada bulan Rabi'ul Awal. Mereka menyebutnya dengan Maulid. Apakah hal ini ada dasarnya dari agama? Mereka sangat menginginkan jawapan ini dengan jelas dan terang.

Saya menjawab, Wabillahit Taufiq wal Hidayah (kita mengharapkan dari Allah petunjuk dan hidayah), saya tidak mengetahui dasar perayaan maulid ini, baik dari Al-Quran mahupun Sunnah. Perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari para ulama umat ini yang dapat dijadikan sebagai qudwah (ikutan) dalam agama dan berpegang teguh dengan riwayat-riwayat ulama terdahulu. Bahkan perbuatan ini adalah bid'ah yang diadakan oleh orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan dan hawa nafsu yang digunakan untuk melonggokkan kekayaan dan para pencari makan." (Risalah Al-Maurid fi Amal Al-Maulid)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Bid'ah yang diadakan oleh sebahagian orang, baik kerana perbuatan itu menyerupai perbuatan orang Nasrani dalam mengadakan peringatan kelahiran Isa 'alaihis salam, atau kerana mengaku cinta kepada Nabi dengan menjadikan hari kelahiran Nabi sallallahu 'alaihi wasallam sebagai perayaan Maulid walaupun orang-orang masih memperselisihkan hari kelahiran baginda, maka semua ini tidak pernah dilakukan oleh salaf. Jika perbuatan ini baik atau benar nescaya para salaf radiallahu 'anhum lebih berhak untuk melakukannya daripada kita. Sebab, mereka lebih cinta kepada Nabi sallallahu 'alaihi wasallam dan lebih mengagungkannya daripada kita. Mereka lebih semangat dalam mengamalkan kebaikan.

Sebenarnya, hakikat mencintai dan memuliakan Nabi itu adalah mengikuti dan mentaatinya, mengikuti perintah dan menghidupkan sunnahnya, baik secara lahir ataupun yang batin, menyebarkan agamanya dan berjihad dalam memperjuangkannya, baik itu dengan hati, tangan dan lidah. Semua ini adalah cara para pendahulu kita yang pertama dari kalangan kaum Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka." (Iqtidha' Ash-Shirath Al-Mustaqim; 2/615, yang ditahqiq oleh Dr. Nashir Al-Aql)

Dalam mengingkari bid'ahnya maulid ini, berbagai kitab dan tulisan telah disusun, baik dahulu ataupun sekarang. Selain perayaan maulid itu bid'ah dan menyerupai orang kafir, perbuatan ini juga akan mendorong munculnya perayaan maulid (hari kelahiran) yang lain. Contohnya, peringatan kelahiran para wali, syeikh dan pembesar sehingga membuka pintu berbagai keburukan.

[Disalin dan disunting dari buku: Murnikan Ibadah Jauhi Bid'ah. Penulis: Syeikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan, Penerjemah: Nur Alim, Lc. Penerbit: Pustaka At-Tazkia. Judul Asli: Al-Bid'atu Ta'rifuha Anwa'uha Ahkamuha]

Selasa, 19 Januari 2010

TAUHID SEJATI SEBAGAI PENYELAMAT

Firman Allah Ta'ala yang bermaksud:

“Bahawa sesungguhnya Allah tidak akan mengampunkan dosa seseorang yang syirik kepadaNya dan Allah akan mengampunkan kepada sesiapa yang Dia kehendaki iaitu selain dari dosa syirik. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (Surah An-Nisa’: 48)

Dari Abdullah bin Mas'ud radiallahu 'anhuma, berkata:

"Ketika Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam mengadakan perjalanan Isra' yang terakhir di Sidratul Muntaha, baginda diberikan tiga perkara: Baginda diberi solat lima waktu, bahagian akhir surah Al-Baqarah, dan keampunan terhadap siapa pun dari umatnya yang sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan hal-hal yang kecil." (Hadis riwayat Muslim, no: 244)

Dari Abu Dzar radiallahu 'anhu, berkata: Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:

"Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Agung berfirman: "Barangsiapa datang dengan membawa satu kebajikan dia mendapatkan sepuluh kali lipat gandanya dan masih Aku tambah. Barangsiapa datang dengan membawa satu kejahatan maka balasannya juga hanya satu kejahatan atau akan Aku ampuni. Barangsiapa mendekat padaKu satu jengkal Aku akan mendekat padanya satu hasta. Barangsiapa mendekat padaKu  satu hasta, maka akan mendekat padanya satu depa. Barangsiapa datang kepadaKu dengan berjalan kaki Aku akan mendatanginya dengan berlari anak (kecil). Dan barangsiapa menemui Aku dengan membawa sebuah baldi/timba tanah kesalahan dan dia tidak mempersekutukan Aku dengan sesuaptu apapun, Aku akan menemuinya dengan membawa sebuah baldi keampunan." (Hadis riwayat Muslim, no: 2677)

Sabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam:

"Sesungguhnya Allah di hari kiamat kelak akan menyelamatkan seseorang dari umatku pada kepala para makhluk. Lalu dibukakan padanya 99 lembar/helaian catatan dan setiap lembar panjangnya adalah sejauh mata memandang, kemudian Allah bertanya: "Apakah ada sesuatu yang tidak tercantum dalam catatan ini? Apakah kamu merasa dizalimi oleh para malaikat yang menulisnya?" Dia menjawab: "Tidak Tuhanku." Allah bertanya: "Apakah kamu mempunyai alasan?" Dia menjawab: "Tidak Tuhanku." Allah berfirman: "Baiklah, kamu mempunyai satu catatan kebajikan di sisiKu, dan pada hari ini tidak ada yang menzalimimu." Lalu Allah mengeluarkan selembar kertas yang berisi tulisan "Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan Rasulullah." (Aku bersaksi bahawa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahawa Muhammad itu pesuruh Allah). Allah berfirman: "Bawa kemari timbangan amalmu." Dia bertanya: "Wahai Tuhan! Apalah ertinya tulisan kebajikan pada selembar kertas ini dibanding dengan catatan-catatan tersebut?" Allah berfirman: "Kamu tidak akan dizalimi." Setelah 99 catatan tersebut diletakkan pada sebuah piring neraka dan selembar kertas catatan kebajikan juga diletakkan pada sebuah piring neraca lainnya, ternyata isi piring neraca yang terakhir ini lebih berat daripada isi piring neraca pertama. Tidak ada sesuatupun yang dapat mengalahkan beratnya sesuatu yang terdapat nama Allah." (Hadis riwayat Imam Tirmizi, no: 2639, Ahmad 2/213, dan Ibn Majah, no: 4300)

Al-Imam Ibn Al-Qayyim rahimahullah berkata:

"Sesungguhnya orang yang mengesakan Allah secara hakiki dalam ertikata tidak dinodai oleh perbuatan syirik, dia diberikan keampunan yang tidak diberikan kepada orang lain yang tidak sepertinya. Kalau dia datang menemui Allah dengan membawa sebuah baldi berisi penuh pasir kesalahan-kesalahan, maka Allah akan menyambutnya dengan membawa sebuah baldi berisi penuh air pengampunan. Kebaikan itu tidak mungkin diberikan kepada orang yang tauhidnya kurang sempurna. Tauhid yang hakiki yakni yang tidak dicampuri oleh noda-noda kemusyrikan dan tidak mensisakan dosa bersamanya kerana ia mengandungi kecintaan dan pengagungan kepada Allah, dan juga rasa takut serta berharap kepadaNya semata yang menyebabkan dihapuskannya dosa-dosa sebanyak apa juapun. Yang dibawa-nya itu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dibawa oleh Allah."

Sebahagian orang mengatakan: Bagaimana cara mewujudkan tauhid yang hakiki?  Dan apa hubungannya dengan usaha menjauhi syirik? Maka Al-Imam Ibn Al-Qayyim rahimahullah menjawab:

"Ketahuilah sesungguhnya tidak bersikap syirik (yakni tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun) ini tidak akan muncul dari orang yang terus menerus berbuat maksiat. Pemabuk berat dan orang yang terus menerus melakukan dosa-dosa kecil, tidak mungkin tauhidnya boleh bersih sehingga dia tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Itu adalah suatu hal yang sangat mustahil. Tidak perlu dipedulikan  orang yang suka membantah atau berdebat yang hatinya sudah seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Dengan hatinya yang keras itu dia menepuk dada seraya berkata: 'Siapa yang melarang? Siapa yang menghalangi? Dan apa yang mustahil?' Kalau sudah demikian, jelas tidak ada yang mustahil darinya.

Biarkan sahaja hati yang keras itu dengan keangkuhan dan kebodohannya. Ketahuilah bahawa sifat keras kepala melakukan maksiat pasti terjadi lantaran hati sudah berani merasa takut kepada selain Allah, kerana mengharap selain Allah, kerana mencintai selain Allah, kerana merendah diri kepada selain Allah, dan bertawakkal juga kepada selain Allah, sehingga membuatnya tenggelam ke dalam samudera syirik. Hukum ini sudah diketahui oleh hati nurani seseorang kalau dia sememangnya mempunyai akal. Persoalannya, kehinaan maksiat pasti mempengaruhi hati sehingga menyebabkan dia merasa takut kepada selain Allah yang merupakan perbuatan syirik, juga akan mengakibatkan cinta dan meminta tolong kepada selain Allah menyangkuti sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada tujuannya. Akibatnya, apa yang dia lakukan itu bukan kerana Allah dan bukan untuk mencari keredaanNya. Dan itu adalah hakikat syirik.

Benar, boleh jadi dia juga bertauhid seperti tauhidnya Abu Jahal dan para penyembah patung-patung berhala lainnya, yakni Tauhid Rububiyah yang hanya berupa pengakuan bahawa tidak ada yang menciptakan selain Allah. Kalau hanya dengan model tauhid seperti ini orang boleh selamat dari siksa neraka, tentu para penyembah patung-patung berhala tersebut juga selamat. Jadi persoalannya ini ada pada Tauhid Uluhiyah, yakni mengakui bahawa tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Tauhid inilah yang membezakan antara orang-orang yang mempersekutukan Allah dengan orang-orang yang mengesakanNya. Maksudnya ialah bahawa seseorang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun itu mustahil akan menemui Allah dengan membawa kesalahan-kesalahan yang terus-menerus dia lakukan tanpa mahu bertaubat daripadanya. Tauhid yang sempurna ini adalah kemuncak cinta, ketaatan, kerendahan, ketakutan dan harapan kepada Tuhan yang Maha Tinggi." (Madarij As-Salikin 1/324-355)

Beliau berkata lagi:

"Kami tidak mengatakan bahawa tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang mengesakan Allah itu tidak masuk neraka. Melainkan banyak di antara mereka yang masuk neraka disebabkan oleh dosa mereka, dan mereka akan disiksa sesuai dengan kadar kejahatannya, kemudian mereka keluar darinya. Kedua-dua persoalan ini tidak saling bertentangan bagi orang yang benar-benar mengerti apa yang kami sampaikan itu." (Ibid 1/358)

Seterusnya beliau berkata lagi:

"Sesungguhnya cahaya kalimah: "Laa ilaaha illallah" itu boleh menghilangkan debu-debu dan kabut dosa, bergantung kuat dan lemahnya. Kalimah tersebut memiliki cahaya. Kekuatan dan kelemahan cahaya tersebut berbeza-beza antara seseorang dengan yang lain. Tidak ada yang mengetahui selain Allah. Ada orang yang cahaya kalimah "Laa ilaaha illallah" ini dalam hatinya ibarat matahari. Ada yang cahaya kalimah itu di hatinya ibarat bintang-bintang yang berkilauan. Ada yang cahaya kalimah itu di hatinya ibarat lampu obor yang besar. Ada yang hanya ibarat lampu bersinar terang. Bahkan ada juga yang hanya ibarat lampu yang bersinar redup (malap). Kerana itu pada hari kiamat kelak cahaya-cahaya tersebut akan bersinar di sebelah kanan dan di hadapan mereka. Kadar terangnya adalah sesuai dengan kadar cahaya kalimah tersebut dalam hati, ilmu, pengamalan, makrifat (pengetahuan) dan keadaan mereka.

Semakin besar dan kuat cahaya tersebut, semakin besar dan kuat pula daya bakarnya terhadap pelbagai syubhat dan syahwat. Sehingga setiap kali berhadapan dengan syubhat, syahwat dan dosa pasti dia segera membakarnya. Itulah keadaan orang yang benar-benar mengesakan Allah secara hakiki, dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Dosa syahwat dan syubhat apapun yang mendekati cahaya tersebut pasti dibakar olehnya. Cakerawala imannya dijaga oleh bintang-bintang dari semua yang ingin mencuri kebajikan-kebajikannya. Pencuri tidak dapat menembus ke sana kecuali dirinya sedang terpedaya dan lalai yang memang menjadi sifat manusia. Sebaik saja sedar dan mengetahui apa yang dicuri, dia segera menyelamatkannya dari si pencuri atau melipat gandakan perolehannya dengan usahanya. Begitulah keadaan terhadap para pencuri dari golongan jin mahupun manusia, bukan seperti orang yang membukakan perbendaharaannya untuk mereka, seraya membelakangi pintu." (Ibid) 

Sabtu, 16 Januari 2010

Sunnah-Sunnah Para Nabi

Semua orang pasti mencintai kebersihan dan kesucian sehingga ada ungkapan "kebersihan pangkal kesihatan". Kebersihan dan kesucian amatlah diperhatikan oleh Islam baik pada batin mahupun lahiriah seseorang. Namun tentunya mestilah sesuai dengan batasan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Jangan pula keterlaluan dalam menjaga kebersihan sampai keluar dari ketaatan, seperti orang yang tidak mahu solat di masjid yang tidak beralas karpet dengan alasan untuk menjaga kebersihan, padahal masjid itu tidak bernajis!! Jangan pula lalai dalam menjaga kebersihan sehingga melanggar batasan, seperti sebahagian pemandu teksi yang suka kencing berdiri di sembarangan tempat, lalu solat, padahal badan atau pakaiannya terkena najis kencing!!!

Agama Islam yang suci ini adalah agama yang menjaga fitrah yang Allah telah perintahkan kepada nabi-nabi dan rasul sebelum diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fitrah ini melambangkan kesucian dan kebersihan para anbiya’ dan pengikutnya.

Allah Ta'ala berfirman:

Maksudnya: "Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud." (An-Nisaa’: 163)

Di antara perkara yang Allah wahyukan kepada para nabi dan rasul, termasuk Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah 5 perkara yang biasa disebut dengan "Sunan fitrah".

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ ( أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ ) الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

"Fitrah itu ada lima: khatan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur misai." [HR. Al-Bukhari (5889), Muslim (257), Abu Daud (4198), dan An-Nasa’i (9)]

Al-Allamah Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah berkara, "Diantara keistimewaan yang dibawa oleh agama yang lurus ini, adanya perkara-perkara fitrah yang berlalu sebutannya dalam hadis tersebut. Disebutkan "perkara-perkara fitrah", kerana pelakunya disifati dengan fitrah yang Allah ciptakan manusia di atasnya. Allah menganjurkan dan mendorong mereka untuk melakukannya agar mereka berada pada sifat yang paling sempurna, dan paling mulia; agar mereka berada dalam keadaan yang paling elok, dan indah. Perkara-perkara itu merupakan sunnah (jalan hidup) lama yang telah dipilih oleh para nabi, dan seluruh syari’at bersepakat di dalamnya". [Lihat Al-Mulakhkhosh Al-Fiqhiy (1/34), cet. Darul Iman, 2002 M]

Pembaca yang budiman, mungkin ada baiknya kita mengenal lebih dekat dengan sedikit penjelasan tentang sunan fitrah yang telah lama diamalkan oleh para nabi dan rasul, manusia yang paling mengetahui kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Diantara perkara-perkara itu:

Khatan atau Bersunat

Khatan adalah memotong sebahagian kulit yang menutupi hujung kemaluan agar hujung kemaluan boleh dilihat dan kotoran tidak melekat pada kulit tersebut sehingga terkadang menimbulkan penyakit dan radang (bernanah).

Khitan adalah perkara wajib kaum lelaki, dan dianjurkan (sunnat) bagi wanita, kerana ia adalah syi’ar Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh telah bersabda ketika ada seorang sahabat yang masuk Islam datang kepada baginda,

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ

"Buanglah darimu rambut kekufuran, dan berkhatanlah". [HR. Abdur Razzaq (9835 & 19224), Ahmad (15470), Abu Daud (356), Al-Baihaqi (781 & 17335), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (982). Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (2977)]

Muhaddis Negeri India, Al-Allamah Syamsul Haq Al-Azhim Abadi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadis ini: "Di dalam hadis ini terdapat dalil yang menujukkan bahawa khatan bagi orang yang masuk Islam adalah wajib, dan ia adalah tanda bagi keislaman". [Lihat Aunul Ma’bud (2/16)]

Adapun khatan bagi wanita, maka tidak wajib, tapi ia merupakan perkara yang mulia, kerana tak ada dalil yang sahih menujukkan bahawa khatan bagi mereka. Cuma memang sudah menjadi adat kebiasaan di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- wanita juga di sunnat.

Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata, "Adapun khitan, maka wajib bagi kaum lelaki, dan kemuliaan pada diri kaum wanita, bukan wajib bagi mereka. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu".[Lihat Al-Mughni (1/115), cet. Dar Alam Al-Kutub, 1419 H]

Mencukur Bulu Kemaluan

Diantara keindahan Islam, ia mengatur segala perkara sehinggalah masalah kebersihan kemaluan juga diperhatikan. Aturan yang seindah dan serapi ini, kita tidak akan jumpai dalam agama dan aturan apapun, kecuali dalam Islam. Dalam syari’at kita disebut "istihdad".

Al-Allamah Mahmud bin Ahmad Al-Aini rahimahullah berkata: "Istihdad adalah penggunaan benda tajam pada bulu kemaluan, iaitu menghilangkannya dengan pisau cukur. Ini pada diri kaum lelaki. Adapun wanita, maka mereka tidak menggunakannya kecuali nurah (ubat penghilang bulu) atau selainnya diantara benda yang dapat menghilangkan bulu tersebut". [Lihat Umdah Al-Qori (20/222)]

Sebenarnya wanita juga boleh menggunakan pisau cukur atau gunting kerana sesuai dengan hadis di atas. Adapun pernyatan Al-Aini bahawa wanita memakai selain pisau cukur, maka ini adalah pengkhususan tanpa didasari dengan dalil!!

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan aturan yang begitu lengkap dalam masalah in sehingga baginda pernah bersabda,

وَقَّتَ لَنَا فِيْ قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمِ الأَظفَارِ وَنَتْفِ الإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

"Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan waktu bagi kami dalam mencukur misai, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, iaitu agar kami tak membiarkannya lebih dari 40 malam (hari)." [HR. Muslim (258), Abu Daud (4200), At-Tirmidzi (2759), An-Nasa’i (14), dan Ibnu Majah (295)]

Memotong Kuku

Memotong kuku merupakan sunnah dan jalan hidup orang-orang soleh dari kalangan nabi dan rasul. Adapun orang-orang kafir dan fasiq yang tak mengenal erti sebuah kebersihan, maka terkadang mereka menjadikan kuku yang panjang sebagai suatu "keindahan" yang memperdayakan. Memanjangkan kuku adalah kebiasan jelek, kerana menyerupai haiwan. Namun sangat sayang sekali, ada sebahagian pemuda muslim yang sengaja memanjangkan kuku kerana dalih "model", memang benar model, tapi model yang mengerikan.

Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam kitab Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi (1/35) berkata: "Diantara perkara fitrah adalah memotong kuku sehingga tidak dibiarkan panjang, kerana dalam hal itu (memotong kuku) terdapat keindahan, dan dapat menghilangkan kotoran yang bertompok di dalamnya, serta akan jauh dari sikap menyerupai haiwan buas. Fitrah Nabawiyah ini telah diselisihi oleh sekelompok pemuda yang liar dan wanita yang buruk. Mereka pun memanjangkan kukunya dalam rangka menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terlena dalam taqlid buta."

Jadi, memanjangkan kuku merupakan kebiasaan orang-orang menyelisihi jalannya para nabi dari kalangan orang kafir dan fasiq. Sedangkan kita dilarang menyerupai kaum seperti ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَمِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Daud (4031), Ahmad (5114), Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (8327), Ibnu Manshur dalam As-Sunan (2370). Dihasankan oleh Al-Albani dalam Takhrij Al-Misykah (4347))

Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Hadis ini serendah-rendahnya mewajibkan pengharaman tasyabbuh (menyerupai orang kafir atau fasiq)". [Lihat Iqtidho’ Ash-Shiroth Al-Mustaqim (83)]

Mencabut Bulu Ketiak

Ketiak adalah salah satu tempat munculnya bau yang tak enak (busuk) pada diri seseorang, kerana kurangnya perhatian seseorang dalam menjaga kebersihan ketiak atau badannya secara umum. Bau ketiak yang tak enak menyebabkan orang akan menjauhi kita dan merasa terganggu dengannya. Nah, ini lebih terlarang lagi, jika bau itu mengganggu orang yang solat. Bau bawang saja, jika mengganggu orang solat itu dilarang untuk memakannya ketika kita hendak ke masjid jika mengganggu orang lain.

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari (makan) bawang merah, dan bawang besar. Kami pun dikuasai oleh perasaan perlu (kepadanya), maka kami akhirnya makan bawang. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الإِنْسُ

"Barang siapa yang memakan pohon (tanaman) yang busuk ini, maka janganlah dia mendekati masjid kami, kerana malaikat terganggu oleh sesuatu yang mengganggu manusia". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Masajid (1252)]

Jadi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita mendekati masjid, jika mulut berbau bawang. Nah, demikian pula jika bau kerana gangguan ketiak yang tidak sihat. Selain itu, ketiak yang panjang bulunya akan merosakkan "pemandangan".

Sebuah terapi nabawi menawarkan kita dengan sebuah solusi yang jitu dalam mengatasi persoalan ketiak, iaitu mencabut bulu ketiak sehingga kuman dan bakteria tidak bersarang padanya serta ketiak kita akan terasa selesa.

Mencukur Misai

Salah satu jalan dan metode hidup yang pernah dicontohkan oleh nabi-nabi dan rasul-rasul Allah, mereka mencukur misai mereka, dan memelihara janggutnya sebagai lambang kelakian seorang lelaki sejati. Tidak hairanlah jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

أُحْفُوْا الشَّوَارِبَ وَأْعْفُوْا اللِّحَى

"Potonglah misai, dan biarkanlah (panjangkan) janggut". [HR. Al-Bukhari (5553), dan Muslim (259)]

Jadi, janggut dibiarkan panjang, dan misai dicukur. Sebahagian ulama’ menjelaskan bahawa maksud mencukur misai disini adalah mencukurnya sehingga habis, dan juga diantara mereka berpendapat bahawa memadai mencukur misai yang melewati garis bibir, wallahu a’lam. Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis ini mengandung hukum wajibnya memelihara janggut, dan membiarkannya tumbuh. [Lihat Madarij As-Salikin (3/46) karya Ibnul Qayyim, cet. Dar Al-Kitab Al-Arabi]

Namun amat disayangkan, lambang kelakian ini dipangkas (dipotong), bahkan dibabat (cukur) habis oleh sebahagian orang yang mengaku pengikut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parah lagi jika misai pula dibiarkan panjang.

Kebiasaan jelek ‘mencukur dan memotong janggut’ sudah mendarah daging dalam peribadi mereka sehingga kita akan menyaksikan pemandangan yang mengerikan dengan maraknya gerakan "Pangkas dan Gundul Janggut" di kalangan kaum muslimin, baik yang tua, apalagi remaja!!

Disunting oleh Abu Sholeh

Rabu, 13 Januari 2010

Membenci Poligami Adalah Membenci Salah Satu Syi’ar Allah

Oleh Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri Hafizahulloh
Diterjemahkan : Al-Ustadz Abu Karimah Askari Hafidzahulloh

Ada sebahagian orang baik dari kalangan lelaki mahupun wanita yang membenci poligami, dalam keadaan sebahagian mereka diketahui belum menikah. Apakah ini termasuk membenci sesuatu yang datang dari Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam?

Jawapan:

Pertama: Bahawa pemikiran yang dimiliki oleh orang yang anda sebutkan dari kaum lelaki mahupun wanita tersebut memiliki beberapa sebab, diantaranya:

1 - Kurangnya pengetahuan dia tentang agama Allah. Barangsiapa yang mendalami agama Allah Subhaanahu wa ta’aala, maka tentu dia tidak akan membenci syi’ar ini. Dia mengetahui bahawa ini termasuk agama Allah Subhaanahu wa ta’aala. Adapaun apakah dia mengamalkan atau tidak mengamalkannya, ini perkara lain. Namun hendaklah dia tidak membencinya, bahkan sepatutnya dia meyakini bahawa hal itu merupakan kebaikan untuk Islam dan kaum muslimin. Adapun jika dia tidak senang berpoligami, maka ini perkara lain.

2 - Pengaruh fanatisme (taksub) dan kebiasaan satu kabilah (suku). Banyak diantara para pemimpin kabilah dan negeri yang mereka tidak berpoligami, dan pada hakikatnya ini adalah sebuah kesalahan. Ini merupakan pengabaian terhadap salah satu syi’ar Islam atau dia telah menanamkan benih kerosakan. Kerana efek (kesan) dari hal ini akan menyebabkan banyaknya para wanita yang memanjang (berterusan) dan tidak menikah disebabkan kerana kebiasaan suku atau sebuah negeri yang memiliki sifat fanatik.

3 - Pengaruh pendidikan yang banyak dipublikasikan melalui pelbagai media informasi baik yang didengar, dibaca mahupun dilihat (Radio, Koran/Majalah, Televisi, dan lain-lain, Pent) yang mempropagandakan bahawa poligami itu menimbulkan berbagai masalah serta menyebabkan timbulnya perceraian dan kedengkian. Sehingga mereka sesungguhnya terbahagi menjadi dua golongan, iaitu:

  1. Dia orang yang bodoh tentang agama Allah, kecenderungannya hanyalah menulis, membacakan dan memperdengarkan kepada manusia.
  2. Dia adalah musuh sunnah yang telah dipengaruhi oleh pemikiran barat.

Tadi kami telah menjelaskan bahawa wajib bagi kaum muslimin untuk meyakini bahawa ini merupakan salah satu syi’ar Islam, sebagaimana yang telah kami jelaskan pula bahawa hukum asal dari pernikahan adalah poligami (bukan monogami, pent) dan yang berpendapat wajibnya memiliki sisi kebenaran dalil kerana asal perintah hukumnya wajib. Maka haram atas mereka untuk mengingkari syi’ar ini. Dan kami nasihatkan kepada kaum muslimin agar hendaklah mereka berpoligami, kerana poligami ini memiliki hikmah dan kemaslahatan yang banyak, diantaranya:

  • Apa yang telah kami isyaratkan, iaitu mengurangi jumlah wanita yang berterusan.
  • Sebahagian wanita tidak memiliki wali, atau dia memiliki wali yang zalim, maka dengan poligami, seorang lelaki dapat menyelamatkan wanita tersebut darinya.
  • Seorang lelaki tatkala menyambung hubungan ipar kepada beberapa keluarga, maka akan menimbulkan kepercayaan diantara mereka berupa kecintaan dan kasih sayang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,  melakukukan hal ini, dimana baginda menyambung hubungan ipar kepada beberapa kabilah baik Quraisy dan juga selain Quraisy. Dan yang nampak bahawa berdasarkan apa yang saya ketahui, kebanyakan isteri-isteri baginda berasal dari luar Quraisy. Saya tidak dapat memastikannya sekarang.

Kami nasihatkan kepada setiap muslimah agar menerima syari’at Allah serta meredhai hukum Allah dan jangan memusuhi suaminya jika dia menikah lagi dengan yang lain, dan jangan pula memusuhi madunya. Adapun keadaan dia yang tidak suka dengan poligami dan dia lebih senang untuk tidak bermadu, maka ini adalah perkara fitrah. Namun sesungguhnya yang dibenci dan dicela adalah tatkala dia menampakkan permusuhan terhadap diri suaminya, hartanya mahupun anak-anaknya atau dia berbuat zalim terhadap keluarga suaminya dan keluarga madunya.

Yang lebih parah lagi adalah kalau sekiranya dia sampai menampakkan bahawa suaminya adalah seorang yang berbuat aniaya dan zalim, ini adalah haram.

Diantara mereka ada pula yang minta diceraikan kerana hal ini. Maka kami peringatkan kepada para wanita muslimah yang telah redha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai Rasulnya dari kesengajaan untuk melakukan berbagai tindakan ini, dan mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Siapa  saja wanita yang meminta dicerai – iaitu dari suaminya – tanpa ada permasalahan, maka haram baginya untuk mencium bau surga” [1]

Lalu Syaikh Hafizahullah berkata: Mungkin masih ada yang terkurang dari pertanyaan?

Abu Rawahah berkata: Ya, Apakah kebencian mereka terhadap poligami termasuk sikap membenci apa yang datang dari Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam sehingga dapat menjadi pembatal diantara pembatal-pembatal keislaman?

Syaikh Hafizahullah menjawab dengan mengatakan: “Tidak, tidak sampai menjadi pembatal keislaman, namun ini merupakan kesalahan dan bahaya. Pada hakikatnya ini kembali kepada keyakinannya, namun dikhuatiri  orang yang membenci poligami ini terjatuh dalam kekafiran kerana membenci salah satu syi’ar Allah sebab perkara ini telah ditetapkan berdasarkan Al-Kitab, As Sunnah dan Ijma’.”

___________________________
[1] Dikeluarkan oleh Abu Daud (6/142), Kitab Ath Thalaq (18), Bab “Fil Khulu’. At Tirmidzi (4/433), Kitab Ath Thalaq Wal Li’an (1), bab Maa Jaa’ Fil Mukhtali’at. Ibnu Majah, Kitab Ath Thalaq (21), Bab: Karahiyatul Khulu’ Lil Mar’ah. Seluruhnya dari jalan Ayyub bin Abi Qilabah dari Abu Asma’ Ar Rahabi dari Tsauban Radiyallohu ‘anhu: Al Hadits. Dan telah dishahihkan Al Albani sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Al-Irwa’ (7/1000), hadits no: 2035.

Disunting dan diambil dari: http://atstsabat.com

Selasa, 12 Januari 2010

Menjaga Aqidah Ketika Sakit

Setiap orang yang beriman pasti akan diberikan ujian oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ujian tersebut beragam bentuknya, sesuai dengan keadaan dan kadar keimanan seseorang. Ujian boleh berupa kesenangan dan boleh juga berupa kesusahan. Dan salah satu dari bentuk ujian tersebut adalah tertimpanya seseorang dengan suatu penyakit yang merosakkan dirinya.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam surat Al-‘Ankabut ayat 1 hingga 3, bahawa hikmah diberikannya ujian kepada kaum mukminin adalah untuk mengetahui [1] siapa yang jujur dan siapa yang dusta dalam pengakuan iman mereka tersebut.

Demikian juga ketika sakit, seseorang akan diuji tingkat kejujuran iman dan aqidahnya. Sangat disayangkan, ternyata di sana masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh orang yang sedang ditimpa penyakit. Di antara mereka ada yang tidak menerima bahkan menolak takdir Allah yang sedang dia rasakan tersebut. Bahkan ada yang mengatakan dan menuduh bahawa Allah tidak adil kepada dirinya, Allah telah berbuat zalim kepadanya, dan sebagainya, na’udzubillah min dzalik. Ada pula yang tidak sabar dan putus asa dengan keadaannya tersebut sehingga dia sangat berharap ajal segera menjemputnya. Dan bahkan ada pula yang bertekad untuk melakukan (berusaha) bunuh diri dengan harapan penderitaannya segera berakhir. Ini semua menunjukkan lemahnya keimanan dan kurangnya kejujurannya dalam ikrar keimanannya tersebut.

Lalu bagaimana bimbingan syari’at yang mulia dan sempurna ini di dalam menyikapi permasalahan-permasalahan seperti itu? Apakah solusi (penyelesaian) yang sepatutnya dilakukan oleh setiap hamba yang mengaku beriman kepada Allah ‘azza wa jalla, Rasul-Nya dan hari akhir jika tertimpa sesuatu penyakit agar iman dan aqidah ini senantiasa terjaga? Maka kali ini insya Allah akan kami ketengahkan kepada anda, bagaimana syari’at membimbing anda tentang sikap yang sepatutnya dilakukan oleh seseorang yang sedang mengalami sakit agar dia dikatakan sebagai seorang yang jujur dalam keimanan dan aqidahnya. Di antara sikap tersebut adalah [2]:

Pertama: Hendaklah dia merasa redha dengan takdir dan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut, bersabar dengannya dan berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan apa yang sedang dia rasakan. Kerana segala yang dia terima adalah merupakan sesuatu yang terbaik Allah subhanahu wa ta’ala beri kepadanya. Ini merupakan sikap seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh sangat menakjubkan urusan seorang mukmin, kerana segala urusannya adalah berupa kebaikan. Dan tidaklah didapati keadaan yang seperti ini kecuali pada diri seorang mukmin saja. Ketika dia mendapatkan kebahagiaan, dia segera bersyukur. Maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan ketika dia mendapatkan kesusahan dia bersabar. Maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim dari sahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu)

Baginda juga bersabda:

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

“Janganlah salah seorang diantara kamu meninggal kecuali dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah.” (HR. Muslim dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma)

Kedua: Hendaklah dia memiliki sikap raja’ (berharap atas rahmat Allah subhanahu wa ta’ala) dan rasa khauf (takut dan cemas dari azab Allah subhanahu wata’ala)


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّي أَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi seorang pemuda yang sedang sakit. kemudian baginda bertanya kepadanya: “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Demi Allah ya Rasulullah, sungguh saya sangat mengharapkan rahmat Allah dan saya takut akan siksa Allah disebabkan dosa-dosa saya.” Maka kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah dua sifat tersebut ada pada seorang hamba yang dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang dia harapkan dan akan memberi rasa aman dengan apa yang dia takutkan.” (HR. At-Tirmizi dan Ibnu Majah dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Ketiga: Tidak diperbolehkan baginya untuk mengharapkan kematian segera menjemputnya ketika penyakitnya ternyata semakin menjadi parah dan memburuk.

أأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى الْعَبَّاسِ وَهُوَ يَشْتَكِي فَتَمَنَّى الْمَوْتَ فَقَالَ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّ رَسُولِ اللَّهِ لَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتَ مُحْسِنًا تَزْدَادُ إِحْسَانًا إِلَى إِحْسَانِكَ خَيْرٌ لَكَ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ خَيْرٌ لَكَ فَلَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ قَالَ يُونُسُ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ مِنْ إِسَاءَتِكَ خَيْرٌ لَكَ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi bapa saudaranya ‘Abbas yang sedang sakit. Dia mengeluh dan berharap kematian segera datang menjemputnya. Maka baginda bersabda kepadanya: “Wahai pamanku, janganlah engkau berharap kematian itu datang. Jika engkau adalah orang baik, maka engkau boleh menambah kebaikanmu, dan itu baik untukmu. Namun jika engkau adalah orang yang banyak melakukan kesalahan, maka engkau dapat mengingkari dan membetulkan kesalahanmu itu, dan itu baik bagimu, maka janganlah berharap akan kematian.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari sahabiyyah Ummul Fadhl radhiyallahu ‘anha)

Namun ketika ternyata dia tidak dapat bersabar dan harus melakukannya, maka hendaknya dia mengucapkan:

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Ya Allah hidupkanlah aku apabila kehidupan itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik bagiku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Keempat: Hendaknya dia berwasiat ketika merasa ajalnya telah dekat untuk dipersiapkan dan dilakukan pengurusan jenazahnya nanti sesuai dengan bimbingan syari’at dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah. Hal ini sebagai bentuk pengamalan firman Allah subhanahu wata’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)

Dan di sana terdapat banyak kisah- kisah para sahabat yang mereka berwasiat dengan hal ini ketika merasa ajal segera menjemputnya. Salah satunya adalah kisah sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang pernah berwasiat ketika dia merasa ajal telah dekat. Dia berkata:


إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ

“Jika aku  mati, janganlah kamu mengumumkannya, aku takut kalau perbuatan tersebut termasuk na’i (mengumumkan kematian yang dilarang sebagaimana dilakukan orang-orang jahiliyyah), kerana sesungguhnya aku mendengar Rasulullah melarang perbuatan na’i tersebut.” (HR. At-Tirmizi)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Adzkar: “Sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk berwasiat kepada keluarganya agar meninggalkan kebiasaan atau adat yang ada dari berbagai bentuk kebid’ahan dalam penyelenggaraan jenazah. Dan hendaknya dia menekankan permasalahan itu.”

Wallahu A’lam.

Diringkaskan dari Kitab Ahkamul Jana-iz karya Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah oleh Al-Ustadz Abdullah Imam.

___________________________________
[1] Dan Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui kadar dan tingkatan kejujuran iman seseorang walaupun tidak memberikan ujian kepada hamba-Nya itu.

[2] Diringkaskan dari kitab Ahkamul Jana-iz karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu ta’ala.

Disunting oleh: Abu Sholeh
Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=419#more-419

Rabu, 6 Januari 2010

Sikap Para Sahabat dan Tabi'in Terhadap Ahli Bid'ah

Syeikh Rabi' bin Hadi Umair Al-Madkhali hafizahullah berkata:

قال ابن عمر رضي الله عنهما في أهل القدر: ((أخبرهم أني بريء منهم، وأنهم مني برآء)). وقال أبو قلابة: ((لا تجالسوا أصحاب الأهواء -أو قال: أصحاب الخصومات- ، فإني لا آمن أن يغمسوكم في ضلالتهم، ويلبسوا عليكم بعض ما تعرفونه)). وقال رجل من أهل البدع لأيوب السختياني: يا أبا بكر! أسألك عن كلمة؟ فولى وهو يقول: ((ولا نصف كلمة)) - ((شرح السنة)) للإمام البغوي رحمه الله تعالى (1/ 227) هذا والله هو الولاء الصادق لله وللإسلام. ولو عامل علماء السنة في هذا الزمن أهل البدع هذه المعاملة الحازمة، لماتت البدع في جحورها، ولما استطاعت المطابع أن تطبع كتبهم، لأنها لا يوجد لها زبائن، ولا سمعت صوتا يجهر بالدفاع عن أهل البدع، فضلا أن تؤلف الكتب للدفاع عنهم، فيتهافت الشباب السلفي عليها تهافت الفراش على النار!! فإنا لله وإنا إليه راجعون. ترى كيف كان يتعامل الصحابة والتابعون وأئمة الإسلام مع أهل البدع ولا يلتفتون إلى شيء من محاسنهم ؟! ذلك من حزمهم وصرامتهم في حسم الباطل، ومن فقههم لمقاصد الإسلام، ومنها: ((درء المفاسد مقدم على جلب المصالح )) - انظر: مَنهج أَهْل السُّنَّةِ والجَماعةِ في نَقْدِ الرِّجال والكُتُبِ والطَّوائِف، تأليف د. ربيع بن هادي عمير المدخلي، ص 28-29


"Ibnu Umar berkata mengenai pengikut Qadariyah: “Beritahukan kepada mereka bahawa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku.”

Abu Qilabah berkata: “Janganlah kamu duduk dengan ahli ahwa’ (pengikut hawa nafsu) - atau dia berkata ahli yang membuat pertikaian - kerana aku bimbang mereka akan menenggelamkanmu dalam kesesatan mereka, menampakkan kepadamu sebahagian apa yang kamu ketahui.”

Salah seorang dari ahli bid’ah berkata kepada Ayub As-Sikhtiyani: “Wahai Abu Bakar! Aku bertanya kepadamu tentang sebuah kata?” Maka dia berpaling seraya berkata: “Aku tidak akan menjawabnya walaupun setengah kata.” - Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi rahimahullah 1/227.

Hal itu demi Allah, adalah sebab sikap wala’ yang sebenarnya hanya untuk Allah dan Islam.

Seandainya para Ulama Sunnah bergaul dengan ahli bid’ah pada zaman sekarang ini, hal itu adalah pergaulan yang bersifat mengikat (memencilkan) nescaya bid’ah-bid’ah akan mati dalam sarangnya dan penerbit tidak dapat mencetak kitab-kitab mereka. Sebab tidak ada yang mendokong ahli bid’ah (semuanya ini berbahaya). Apa lagi jika kitab-kitab tersebut dicetak untuk membela mereka.

Maka bid’ah-bid’ah tersebut membakar para pemuda Salaf seperti tikar yang berada di atas api!!
Anda melihat bagaimana para sahabat, tabi’in dan para Imam Islam bersikap terhadap ahli bid’ah yang tidak sedikitpun melihat kebaikan mereka?!

Demikian itulah merupakan sikap tegas mereka dalam mencegah kebatilan, serta daripada kefahaman mereka terhadap Maqasid Al-Islam (tujuan-tujuan Islam), dan di antaranya adalah:

“Menghindari kerosakan lebih diutamakan daripada mengambil maslahat.” - Lihat: Manhaj Ahli Sunnah wal Jama'ah Fi Naqdi Ar-Rijal Wal Kutub Wat Thawaif, Karya Dr. Rabi' bin Hadi Umair Al-Madkhali, halaman 28-29.

Jumaat, 1 Januari 2010

Manhaj Ahli Sunnah Terhadap Ahli Bid'ah dan Kitab-Kitab Mereka

Pada zaman ini musibah yang melanda umat Islam adalah, tersebarnya kebi'ahan-kebid'ahan di merata tempat, buku-buku mereka yang penuh dengan kebid'ahan, khurafat serta mereka mengajak kepada metodologi mereka yang baru. Kitab-kitab ahli bid'ah sangat mendapat tempat dan pengaruh dikalangan manusia. Ia dihiasi dengan kata-kata yang indah, konsep-konsep yang baru dan menarik tujuannya untuk mempublikasikan pemikiran mereka agar ia laku ditengah-tengah kebodohan umat ini.

Dikala terlalu menebalnya kebodohan sebahagian orang yang cuba berbuat pandai di dalam ilmu agama, padahal mereka itu miskin dalam ilmu Dien, manhaj mereka bertaburan tidak tentu hala, cuba berbuat takwilan-takwilan yang jahil sehingga mereka pun menganggap mereka adalah Ahli Sunnah Wal Jamaah bahkan ada yang mengaku sebagai salafi?!  Padahal mereka jauh dari manhaj Ahli Sunnah wal Jamaah dan manhaj salaf. Wallahua'lam.

Nabi sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Agama itu nasihat (diulang sebanyak 3 kali)." Mereka berkata: "Kepada siapa wahai Rasulullah?" Baginda menjawab: "Kepada Allah, kitab-kitabNya, dan kepada para pemimpin kaum muslimin serta kepada seluruh ummatnya." (Hadis riwayat Tirmizi, berkata Abu 'Isa hadis hasan sahih)

Pada hari ini telah tersebarnya kitab-kitab ahli bid'ah dengan begitu banyak sekali, namun sebahagian orang mengatakan dibolehkan mengambil kebaikan-kebaikan yang terdapat dalam buku-buku mereka (ahli bid'ah). Dan ada juga yang mengatakan "Ambil kebenaran yang ada di dalamnya dan tinggalkan kebatilan yang ada di dalamnya." Benarkah demikian?

Syeikh Khalid bin Dhahwi Az-Zhufairi hafizahullah terdapat sebuah buku yang baik dalam menjawab permasalahan ini. Beliau berkata:

"Ya, kebenaran diambil dari semua orang yang mengatakannya. Salafus Soleh tidak pernah berhenti dalam menerima kebenaran. Walaupun demikian, mereka tidak mengatakan ambil kebenaran dari kitab-kitab pelaku bid'ah dan tinggalkan kebatilannya. Bahkan mereka dengan suara lantang menyeru agar meninggalkan kitab-kitab tersebut secara keseluruhan. Kebenaran yang ada dalam kitab-kitab para pelaku bid'ah itu berasal dari Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga kita wajib mengambil kebenaran tersebut secara langsung menerusi sumbernya yang asli, yang tidak dicemari dengan keruhan dan kebid'ahan." (Ijma' Al-'Ulama 'Ala Al-Hajr wa At-Tahdzir Min Ahli Al-Ahwa, Khalid bin Dhahwi Azh-Zhufairi, Maktabah Al-Asholah, cet 2007, halaman 50)

Syeikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata: "Barangsiapa mempunyai minat untuk mencari dalil-dalil kebenaran, maka hal tersebut ada dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Kedua-duanya sudah mencukupi dan memuaskan. Kedua-duanya adalah senjata orang yang bertauhid dan istiqamah, sedangkan kitab-kitab Ahli Sunnah membantu untuk memahami kedua-dua kitab tersebut. Dan disisi kamu dari karya-karya syeikh kami rahimahullah apa yang dia telah cukupkan beserta harapan, maka wajib ke atas kamu untuk menjauhi ahli bid'ah dan mengingkari mereka." (Ad-Durar As-Saniyyah, 3/11)

Al-Imam Ibn Khuzaimah rahimahullah berkata ketika ditanya tentang ilmu kalam dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah, dia berkata: "Itu adalah bid'ah yang diada-adakan, tidaklah terdapat dari para imam kaum muslimin dan tokoh-tokoh mazhab dan imam-imam agama seperti Malik, Sufyan, Al-Auza'i, Asy-Syafi'i, Ahmad, Ishak, Yahya bin Yahya, Ibn Al-Mubarak, Muhammad bin Yahya, Abu Hanifah, Muhammad bin Al-Hasan, dan Abu Yusuf yang berkata sedemikian. Mereka semua melarang dari mempelajarinya (ilmu kalam), dan menyeru kepada sahabat-sahabat mereka kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Maka hendaklah kamu menjauhkan diri dari meneguknya (mempelajarinya) dan tidak melihat kitab-kitab mereka secara mutlak." (Al-Istiqamah, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/108)

Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: "Aku mendengar ayahku (Imam Ahmad) berkata, 'Salam bin Abi Muti' termasuk kalangan orang-orang yang tsiqah (terpecaya). Ibnu Mahdi menceritakan kepada kami darinya, kemudian ayahku mengatakan bahawa dahulu Abu Awanah pernah mengarang suatu kitab yang terdapat aib-aib para sahabat Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, dan di dalamnya juga banyak kesalahan. Kemudian datang Salam bin Abi Muti' kemudian berkata: Wahai Abu 'Awanah, berikan kitab itu kepadaku. Kemudian dia memberikan kitab itu kepadanya. Maka Salam mengambil kitab itu dan membakarnya. Ayahku mengatakan bahawa Salam termasuk pengikut Ayyub yang dia  adalah seorang lelaki yang soleh." (Al-'Ilal Wa Ma'rifah Ar-Rijal, 1/253-254)

Dan dari Al-Fadl bin Ziyad, ditanyakan kepadanya akan perbuatan Salam bin Abi Muti', maka dia berkata kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad): "Aku berharap perkara tersebut tidak memudaratkan sesuatu pun, Insya-Allah?" Maka Abu Abdullah berkata: "Memudaratkan? Bahkan dia diberi pahala, Insya-Allah." (As-Sunnah, Al-Khallal, 3/511)

Dan Al-Fadl bin Ziyad berkata: "Aku bertanya kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad) tentang Karabisi dan apa yang telah dilakukannya? Maka berubahlah raut wajah beliau, kemudian berkata: "Sesungguhnya musibah datang kepada mereka kerana kitab-kitab yang mereka karang, mereka banyak meninggalkan atsar Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya dan banyak menerima kitab-kitab tersebut." (Al-Ma'rifah Wa At-Tarikh, Al-Fasawi, 3/494)

Abu Muhammad bin Abu Hatim berkata: "Aku mendengar ayahku dan Abu Zur'ah memerintahkan untuk menjauhi (memulaukan) pembuat kesesatan dan kebid'ahan (اهل زيغ والبدع), mereka menguatkan perintah tersebut dengan sekuat-kuatnya, dan mereka mengingkari meletakkan (mengarang) kitab berdasarkan Rakyi (pendapat akal) tanpa ada atsar (hadis), mereka melarang menghadiri majlis ahli kalam dan melarang melihat kitab-kitab mereka." Mereka berdua berkata: "Tidak akan berjaya ahli kalam sampai bila-bila." (Syarah Usul I'tiqad Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 1/197-202)

Dia berkata lagi: "Dan aku dapati di dalam kitab Abu Hatim Muhammad bin Idris bin Mundzir Al-Handzali Ar-Razi rahimahullah yang mana aku juga mendengar darinya berkata: Mazhab dan pendapat yang kami pilih adalah mengikuti Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, para sahabatnya, para tabi'in, dan orang-orang setelah mereka yang mengikutinya dengan baik, tidak mahu memandang kepada kitab-kitab yang menerangkan bid'ah-bid'ah mereka serta berpegang teguh kepada mazhab ahli atsar. Juga meninggalkan pemikiran orang-orang yang senantiasa membuat kesamaran, kebimbangan dan kedustaan, dan juga meninggalkan dari melihat kitab-kitab Al-Karabisi serta menjauhi orang-orang yang mendokongnya dari kalangan sahabat-sahabatnya." (Ibid, 1/180)

Al-Hafiz Abu Utsman Sa'id bin Amr Al-Barda'i berkata: "Aku pernah melihat Abu Zur'ah ditanya tentang Al-Harits Al-Muhasibi dan kitab-kitabnya. Beliau menjawab: Kamu harus menjauhi kitab-kitabnya kerana kitab-kitabnya itu mengandungi bid'ah dan kesesatan. Hendaklah kamu berpegang dengan atsar kerana sesungguhnya kamu akan dapati di dalamnya apa yang mencukupkanmu dari kitab tersebut."

Lalu dia ditanya: "Di dalam kitab ini ada pengajaran." Maka dia menjawab: "Barangsiapa yang tidak mengambil pengajaran dari Kitabullah, maka dia tidak mungkin akan dapat mengambil pengajaran dari kitab-kitab tersebut. Telah sampai kepada kamu bahawa Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza'i, dan para imam yang terdahulu mengklasifikasikan kitab-kitab tersebut sebagai kitab-kitab yang berbahaya, dan mengandung was-was pada jenis ini?! Mereka itulah golongan yang menyelisihi Ahlul Ilmi... Kemudian dia berkata: "Alangkah cepatnya manusia terjerumus ke dalam bid'ah." (Kitab Adh-Dhu'afa, Abu Zur'ah, dibawa kitab; Abu Zur'ah Ar-Razi wa Juhuduhu fis Sunnah An-Nabawiyah, 2/561-562)

Az-Zahabi memberi komentar: "Siapakah yang sama seperti Harits? Bagaimana sekiranya Abu Zur'ah melihat karya-karya orang-orang yang keterbelakangan seperti "Al-Qut" karya Abu Tholib. Dan manakah yang sama seperti Al-Qut! Bagaimana sekiranya Abu Zur'ah melihat kitab "Bahjatul Asrar" karya Ibnu Jahdham dan "Haqaiqut Tafsir" karya As-Sulami, pasti akan melayang fikirannya. Bagaimana pula kalau beliau melihat karya Abu Hamid Ath-Thusi (Al-Ghazali) yang menulis hadis-hadis yang menurut kami adalah hadis yang tidak layak digunakan, sebagaimana termaktub dalam kitab "Al-Ihya"? Juga kitab Al-Ghaniyyah karya Syeikh Abdul Qadir dan kitab "Fususul Hikam" dan "Futuhat Al-Makiyyah"?!

Bahkan ketika mana Al-Harits berbicara kepada kaumnya, pada waktu itu telah ada ribuan ahli hadis, seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Rahawaih. Setalah dia menjadi ahli hadis seperti Ibnu Dakhmis dan Ibnu Syahanah, maka dia menjadi Qutbul 'Arifin seperti pengarang kitab Al-Fusus serta Ibnu Sufyan. Kita memohon keampunan dan keluasan kepada Allah Ta'ala. Amin." (Mizan I'tidal, 1/134)

Syeikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafizahullah justeru memberi komentar terhadap perkataan Az-Zahabi di atas ini:

"Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada Al-Imam Az-Zahabi, bagaimana sekiranya beliau melihat kitab-kitab lainnya seperti "Ath-Thabaqat" karya Asy-Sya'rani, "Jawahirul Ma'ani" dan "Bulughul Amani fi Faidil 'Abbas At-Tijani" karya Ali bin Hirazim Al-Fasi, "Khazinatul Asrar" karya Muhammad Haqqi An-Nazili dan "Nurul Absar" karya Syalanbijani, kitab "Syawahidul Haq Fi Jawazil Istighatsah bi Saayyidil Khalq wa Jami'ul Karamat" karya An-Nabhani?! Kitab "Tablighin Nishan" dan lain-lain yang sejenisnya dari kitab-kitab pengikut sufiyah? Bagaimana kalau beliau melihat kitab-kitab tulisan orang-orang zaman ini, seperti Muhammad Ghazali yang dia menyerang As-Sunnah An-Nabiwiyah dan dia mengejek-ngejek dari kalangan pemuda-pemuda salafi yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi tersebut, serta memburuk-burukkan mereka dengan berbagai-bagai laqab (gelaran)?! Bagaimana sekiranya beliau melihat tulisan-tulisan Al-Maududi yang mempunyai penyelewengan pada aqidah, pemikiran, dan akhlaknya?! Bagaimana pula sekiranya beliau melihat tulisan-tulisan Al-Qardhawi yang membela ahlul bid'ah dan membantu untuk memenangkan mereka, bahkan dijelaskan usul-usulnya dan dia adalah orang yang mengikuti jejak Imam Ghazali, bahkan dia lebih teruk lagi?! Bagaimana sekiranya beliau melihat para da'i di zaman kami yang telah menerima kitab-kitab yang menyimpang ini, dan mereka berjalan bersama pemuda-pemuda dan pengikut-pengikut mereka di atas manhaj perpecahan yang menyeleweng lagi sesat. Bahkan dia menyebut (menerima pakai) pendapat yang sesat, dan dia daripada orang-orang yang berbuat bid'ah?! Bagaimana sekiranya beliau melihat tulisan-tulisan Al-Kautsari dan muridnya iaitu Abu Ghuddah dan saudara-saudaranya dari kalangan pembesar-pembesar orang yang fanatik terhadap sufi dan mazhabnya?! Bagaimana pula sekiranya beliau melihat tulisan-tulisan Al-Buti dan yang semisalnya dari kalangan orang-orang yang memusuhi Sunnah, memusuhi madrasah tauhid dan madrasah Ibn Taimiyyah?! Bagaimana pula sekiranya beliau melihat pemuda-pemuda umat ini bahkan termasuk pemuda-pemuda tauhid, jahilnya mereka akan manhaj salaf bahkan jahil dari kitab dan sunnah, dan mereka menerima pula kitab-kitab tersebut yang boleh membinasakan?!" (Lihat Manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah Fi Naqd Ar-Rijal wa Kutub At-Tawaif, halaman 135-136)

Demikianlah para ulama mereka sangat menitik beratkan perkara ini. Mereka berusaha menjauhi kitab-kitab ahli bid'ah dan para pelopor kesesatan. Mereka tidak berkompromi dalam menerima buku-buku mereka walaupun terdapat kebaikan di dalamnya. Ini kerana keburukan dan mudaratnya jauh lebih besar daripada kebaikannya. Saksikanlah sendiri pada hari ini ramai di antara mereka yang terjatuh dijurang kebid'ahan di sebabkan terpengaruh dengan warna-warna yang dihiasi oleh ahli bid'ah yang mempersonakan mata dengan sekali pandang. Namun, hakikatnya ia melahamnya sedikit demi sedikit sehingga akhirnya terus tersungkur dan tidak mungkin akan berpatah balik kepangkal kecuali bagi mereka yang dikehendakiNya.

Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata: "Jauhilah setiap perkara bid'ah walaupun sekecil-kecilnya kerana bid'ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid'ahan yang terjadi pada umat ini berasal dari perkara kecil dan remeh seakan-akan menyerupai kebenaran, sehingga banyak orang terpedaya, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratan dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disedari, perlahan-lahan mereka menyelisihi jalan yang lurus..." (Syarhus Sunnah, Al-Barbahari, no: 7. Lihat Tahqiq Khalid bin Qasim Ar-Roddadi)

Beliau berkata lagi: "Jika anda melihat seseorang bersungguh-sungguh dalam beribadah, namun dia merupakan ahli bid'ah, maka janganlah duduk dan bergaul bersamanya, mendengar ucapannya, dan berjalan bersamanya kerana aku khuatir anda akan mengikutinya sehingga anda hancur bersamanya." (Syarhus Sunnah, no: 149)

Beliau juga berkata: "Perumpamaan ahli bid'ah adalah seperti seekor kalajengking, kepala dan badannya berada di dalam tanah namun ekornya terkeluar. Ketika ada kesempatan ia akan menyengat pemangsa dengan bisanya." (Thabaqat Al-Hanabilah, 2/44)

Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata: "Barangsiapa mengagungkan pelaku bid'ah, maka dia telah membantu menghancurkan Islam. Barangsiapa yang senyum terhadap ahli bid'ah, maka dia telah meremehkan apa yang Allah turunkan kepada Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam. Barangsiapa menikahkan anaknya dengan ahli bid'ah, maka dia telah memutus hubungan kerabatnya. Barangsiapa menghantarkan jenazahnya (ahli bid'ah), maka dia senantiasa dalam kemurkaan Allah sehingga kembali pulang" (Syarhus Sunnah, Al-Barbahari, no: 170)

Beliau juga berkata: "Janganlah anda duduk-duduk bersama-sama ahli bid'ah, kerana saya takut jika Allah akan menurunkan ke atasmu laknat." (Syarhus Sunnah, no: 170)

Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya manusia bila melihat kemungkaran dan tidak mengubahnya maka dikhuatirkan Allah akan menyamaratakan siksaNya kepada mereka semua." (Hadis riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang sahih)

Apa yang dikatakan oleh Imam Al-Barbahari di atas sesuai dengan sabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam di atas ini kerana bid'ah termasuk dalam kategori kemungkaran yang mesti dicegah. Namun apabila seseorang hanya melihat kemungkaran (yakni bid'ah) tersebut dijalankan tanpa mencegahnya dengan kuasa atau lisannya atau setidak-tidaknya ia tidak meredainya, maka bagaimana kiranya jika ia meredainya!!

Oleh yang demikian, pelajarilah ilmu daripada ulama-ulama Ahli Sunnah wal Jamaah As-Salafiyah yang bersih manhaj dan fikrahnya. Jauhilah mereka yang tercemar dari kekotoran syirik, khurafat dan bid'ah-bid'ah yang semua itu hanya akan menyesatkan pengikutnya dari jalan al-Haq. Sebahagian mereka yang terkeliru dengan mengatakan "Bukan siapa yang berkata tetapi apa yang dikatakan" kaedah ini benar di satu sudut, namun di sudut yang lain ianya tidak benar.

Muhammad bin Sirrin rahimahullah berkata: "Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu." (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Sahihnya)

Bukanlah ilmu itu bermakna boleh diambil dari sesiapa sahaja asalkan perkataannya itu benar. Namun kebenaran (sebagaimana telah diterangkan sebelum ini) itu diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman sahabat (salafussoleh) serta ianya dipegang dengan amanah oleh mereka yang terpecaya (tsiqah) dari zaman ke zaman sehinggalah pada akhirnya datanglah ketetapan Allah (hari kiamat). Yang benar adalah apabila yang diucapkan itu terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang sahih, tidak mengira sama ada ianya pendapat Imam Asy-Syafi'i atau Imam Ahmad, maka didahulukan Al-Quran dan As-Sunnah tersebut di atas kalam mereka. Inilah pegangan para a`immah al-arba'ah (imam-imam mazhab yang empat) yang telah disepakati oleh seluruh ulama kaum muslimin dahulu dan sekarang.

Demikian juga janganlah terpedaya dengan ucapan  sesetengah mereka yang juga terkeliru dengan mengatakan "Teruskan menuntut ilmu dengan semua guru/buku rujukan". Padahal kita disuruh untuk mengambil ilmu dari ahli sunnah (bukan ahli bid'ah), bahkan ilmu itu hendaklah dituntut dengan cara belajar dari seorang yang alim ulama tidak hanya sebatas membaca kitab-kitab tanpa ada yang membimbingnya.

Syeikh Bakar Abdullah Abu Zaid rahimahullah berkata: "Pada dasarnya belajar itu mestilah dengan cara mendengar terus dari para guru, duduk bersama mereka, dan mendengar terus dari mulut-mulut mereka, bukan belajar sendiri dari kitab kerana belajar terus dari guru adalah mengambil nasab ilmu dari pembawa nasab ilmu yang berakal iaitu seorang guru. Adapun kalau belajar sendiri dari kitab, kitab itu hanyalah benda mati. Maka bagaimana mungkin nasab ilmunya akan bersambung?" (Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu, Pustaka Imam Asy-Syafi'i, halaman 98)

Syeikh Utsaimin rahimahullah berkata: "Terdapat ungkapan lain, iaitu barangsiapa yang menjadikan kitab sebagai petunjuknya, maka salahnya lebih banyak daripada benarnya. Inilah yang sering terjadi, meskipun ada, namun jarang seseorang yang benar-benar bersungguh-sungguh belajar terutama sekali bagi yang tidak menemui orang yang dapat mengajarinya, lalu dia berserah diri kepada Allah dan berjuang siang malam, nescaya dia akan mendapatkan ilmu meskipun tanpa guru." (Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu, Pustaka Imam Asy-Syafi'i, halaman 99-100)

Ibnu Khaldun rahimahullah pernah berkata dalam sebuah sya'ir-nya "Barangsiapa yang tidak belajar langsung dasar-dasar ilmu dari seorang ulama, maka kesimpulan-kesimpulan yang diyakininya dalam banyak masalah yang sulit (sukar) sebenarnya hanya dugaan semata-mata." (Al-Muqaddimah, halaman 551-554; Lihat Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu, Pustaka Imam Asy-Syafi'i, halaman102)

Imam Al-Barbahari berkata: "Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, bahawa ilmu itu bukan kerana banyaknya riwayat dan kitab. Namun seorang alim itu hanyalah seorang yang mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah sekalipun sedikit ilmu dan kitabnya. Sesiapa sahaja yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah maka dia ahli bid'ah sekalipun banyak ilmu dan kitabnya." (Syarhus Sunnah, no: 103)

Demikianlah beberapa perkataan-perkataan ulama di atas yang dapat saya bawakan sebagai menjelaskan manhaj ahli sunnah terhadap ahli bid'ah. Nasihat saya kepada tolabul ilmi (penuntut ilmu) agar pelajarilah ilmu dari ahli sunnah, hindarilah percampuran bersama ahli bid'ah, dan jauhi perdebatan dengan mereka. Orang yang jahil tidak harus diajak berdiskusi, akan tetapi yang sepatutnya adalah mereka ini diajak untuk menuntut ilmu. Orang yang jahil sesekali tidak akan menerima sesuatu penjelasan yang tidak selari dengan hawa nafsunya, walaupun setelah ditunjukkan bukti-bukti dan dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah, kerana mereka tidak mengerti dan belum memahami asas-asas ilmu sehingga mereka akan senantiasa menjadikan perasaan mereka sebagai hujah dan dalih, yang dijadikan dalil-dalil mereka untuk menentang ahli sunnah, sama ada secara sedar mahupun tidak.

Akhir sekali saya ingin membawakan perkataan Syeikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali  hafizahullah di dalam kitabnya "Al-Irhab wa Atsaruhu 'Alal Afrad Wal Umam" pada penghujung kitab tersebut, beliau berkata:

"Sesungguhnya aku memuji kepada Engkau, Allah, Yang tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia. Kemudian aku ingatkan diriku dan diri kalian -dan peringatan itu akan membawa manfaat bagi kaum mukminin- dengan apa yang telah diketahui, bahawa wajib bagi individu (muslim dan muslimah -pent.) untuk menjaga lima perkara berikut ini, iaitu: agama, akal, kehormatan, darah dan harta. Manusia yang paling utama untuk menjaga perkara-perkara ini adalah umat Islam pada umumnya dan para penuntut ilmu khususnya. Dan jika demikian perkaranya, sesungguhnya telah didapati, di zaman kita saat ini, buku-buku dan selebaran serta kaset-kaset di toko-toko buku (penerbitan dan lain-lain, pent.) yang saya sebutkan: Majoritinya buku-buku tersebut dikedai-kedai perdagangan diperjual-belikan, seperti buku- buku karya Sayyid Qutub, Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qardhawi, Abul A`la al-Maududi, Hasan al-Bannaa’, Muhammad Surur dan Muhammad Ahmad ar-Raasyid, Said Hawwa’, Salman al-‘Audah, Safar al-Hawali, Nashir al-‘Umr, ‘Aaidh a1-Qarni, Mahmud Abdul Halim dan Jasim al-Muhalhal serta murid-murid al-Bannaa’, keluarga Qutub dan orang yang seperti mereka dari setiap pimpinan atau orang-orang yang berintimaa’ (menyandarkan) kepada salah satu Firqah yang bertentangan dengan Manhaj Salaf di dalam banyak mahupun sedikit bab-bab keilmuan dan amalan di sepanjang masa ini." (Terorisme Dalam Tinjauan Islam, Maktabah Salafy Press, halaman 152-153)

Syeikh Zaid hafizahullah di dalam nota kakinya menambah: "Aku terlupa untuk mencantumkan Abu Ghuddah (nama beliau Abu Fattah Abu Ghuddah - peny) dan gurunya Muhammad Zahid Al-Kautsari (Al-Hanafi Al-Maturidi - peny) yang menikam kemuliaan para ulama sunnah dan untuk mengetahui serta menelaah tentang penyimpangan orang ini dan muridnya yang hati keduanya telah menyeleweng kepada perkara bid’ah, hendaklah merujuk kepada kitab Bara’atudz Dzimmah minal Waqii’ati fil Ulama’il Ummah oleh Bakr Abu Zaid -semoga Allah merahmatinya. Dengan Muqaddimah Samahatusy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah-." (Ibid, rujuk nota kaki)