Khamis, 14 Mei 2009

KEBANGKITAN ISLAM

Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani rahimahullah.

”Yang saya yakini adalah apa yang terdapat dalam hadits shahih. Ia merupakan jawaban tegas terhadap pertanyaan semacam ini yang mungkin dilontarkan pada masa kiwari. Hadits tersebut adalah sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :


إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِاْلعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اْلبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُم ُاْلجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ


”Apabila kamu berjual beli dengan ’inah (jual beli sistem riba), memegang ekor-ekor sapi, ridla (terlalu sibuk) dengan pertanian, dan meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak akan menghilangkannya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian [HR. Abu Dawud].


Jadi asasnya adalah rujuk (kembali) pada Islam. Persoalan ini telah diisyaratkan oleh Al-Imam Malik رحمه الله dalam sebuah kalimat ma’tsur yang ditulis dengan tinta emas : ”Barangsiapa yang yang mengada-adakan bid’ah di dalam Islam kemudian menganggap bid’ah tersebut baik, berarti ia telah menganggap Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. (Padahal) Allah telah berfirman :


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلاَمَ دِيناً


”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. [QS. Al-Maaidah : 3].


Oleh karena apa yang hari itu bukan agama, maka pada hari ini pun bukan agama. Dan tidaklah baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah menjadi baik pada awal umat ini” [---- selesai perkataan Imam Malik ----].


Kalimat terakhir Al-Imam Malik di atas itulah yang berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan ini, yaitu pernyataan beliau :


لا يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ اْلأمَّةِ إِلا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا


”Tidaklah baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah menjadi baik pada awal umat ini”.


Oleh sebab itu, sebagaimana halnya orang Arab Jahiliyyah dahulu tidak menjadi baik keadaan kecuali setelah datang Nabi mereka, Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam dengan membawa wahyu dari langit yang telah menyebabkan kehidupan mereka di dunia berbahagia dan selamat dalam kehidupan akhirat. Demikian pula seyogyanya asas yang mesti dijadikan pijakan bagi kehidupan Islami nan membahagiakan di masa kini, yaitu tidak lain hanyalah rujuk (kembali) kepada Al-Kitab was-Sunnah.


Hanya saja, masalahnya memerlukan sedikit penjelasan, sebab betapa banyak jama’ah serta golongan-golongan Islam yang ada di ”lapangan” mengaku bahwa mereka telah meletakkan sebuah manhaj yang memungkinkan dengannya terwujud masyarakat Islam dan terwujud pelaksanaan hukum berdasarkan Islam. Sementara itu kita mengetahui dari Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa jalan bagi terwujudnya itu semua hanya ada satu jalan, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya :


وَأَنّ هَـَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتّبِعُوهُ وَلاَ تَتّبِعُواْ السّبُلَ فَتَفَرّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ


”Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya” [QS. Al-An’am : 153].


Dan sungguh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah menjelaskan makna ayat ini pada para shahabatnya. Beliau satu hari menggambarkan pada para shahabat sebuah garis lurus di atas tanah, disusul dengan menggambar garis-garis pendek yang banyak di sisi-sisi garis lurus tadi. Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam membacakan ayat di atas ketika menudingkan jari tangannya yang mulia ke atas garis yang lurus dan kemudian menunjuk garis-garis yang terdapat di sisi-sisinya (yaitu garis-garis yang pendek – Abul-Jauzaa’.), beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :


هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ سَبِيل مِنْهَا الشَّيْطَانَ يَدْعُوا لَهُ


”Ini adalah jalan Allah, sedangkan jalan-jalan ini pada setiap muara jalan-jalan tersebut ada syaithan yang menyeru kepadanya” [Shahih, sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Dhilalul-Jannah fii Takhriijis-Sunnah hal. 16-17].


Allah ’azza wa jalla pun menguatkan ayat beserta penjelasannya dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits di atas dengan ayat lain, yaitu firman-Nya :


وَمَن يُشَاقِقِ الرّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُ الْهُدَىَ وَيَتّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلّهِ مَا تَوَلّىَ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ وَسَآءَتْ مَصِيراً


”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].


Dalam ayat ini terdapat sebuah hikmah yang tandas, yaitu bahwa Allah ta’ala mengikatkan kalimat ’jalannya orang-orang mukmin’ kepada apa yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Hal inilah yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits ifitiraaq (perpecahan) ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ditanya tentang Al-Firqatun-Najiyyah (golongan yang selamat). Saat itu beliau menjawab :


مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ


”(Yaitu) apa yang aku dan shahabatku pada hari ini berada di atasnya” [Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 203].


Apakah gerangan hikmah yang dimaksud ketika Allah menyebutkan ’jalannya orang-orang mukmin’ [سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ] dalam ayat di atas ? Dan apakah kiranya hal yang dimaksud ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengikatkan para shahabatnya pada diri beliau sendiri dalam hadits di atas ? Jawabannya : Bahwa para shahabat radliyallaahu ’anhum itu adalah orang-orang yang telah menerima pelajaran dua wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) langsung dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliau telah menjelaskannya secara langsung kepada mereka tanpa perantara, tidak sebagaimana orang-orang sesudahnya. Tentu saja hasilnya adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam sabdanya :


إنَ الشَّاهِدَ يَرَى مَا لا يَرَى اْلغَائِبُ


”Sesungguhnya orang yang hadir akan dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang yang tidak hadir” [Lihat Shahihul-Jaami’ no. 1641].


Oleh sebab itulah, iman para shahabat terdahulu lebih kuat daripada orang-orang yang datang sesudahnya. Ini pula yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits mutawatir :


خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ


”Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].


Berdasarkan hal ini, seorang muslim tidaklah bisa berdiri sendiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah, tetapi ia harus meminta bantuan dalam memahami keduanya dengan kembali kepada para shahabat yang mulia, (yaitu) orang-orang yang telah menerima pelajaran tentang keduanya langsung dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam; yang terkadang beliau menjelaskan dengan perkataan, perbuatan, atau dengan taqrir (persetujuan) beliau.


Jika demikian, adalah mendesak sekali dalam ”mengajak orang kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah” untuk menambahkan prinsip ”berjalan di atas apa yang ditempuh As-Salafush-Shalih” dalam rangka mengamalkan ayat-ayat serta hadits-hadits yang telah disebutkan di muka manakala Allah menyebutkan ’ jalannya orang-orang mukmin’ [سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ], dan menyebutkan Nabi-Nya yang mulia serta para shahabatnya dengan maksud supaya memahami Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan apa yang dipahami kaum salaf (generasi pertama dari kalangan shahabat radliyallaahu ’anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik).


Kemudian, dalam hal ini ada satu persoalan yang teramat penting namun dilupakan oleh banyak kalangan jama’ah serta hizb-hizb Islam. Persoalan itu adalah ” Jalan mana gerangan yang dapat digunakan untuk mengetahui apa yang ditempuh oleh para shahabat dalam memahami dan memaksanakan sunnah ini ?”. Jawabannya : ”Tidak ada jalan lain untuk menuju pemahaman itu kecuali harus kembali kepada ilmu hadits, ilmu musthalah hadits, ilmu jarh wa ta’dil, dan mengamalkan kaidah-kaidah serta musthalah-musthalah-nya tersebut, sehingga para ulama dapat dengan mantap mengetahui mana yang shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan mana yang tidak shahih”.


Sebagai penutup jawaban, kami bisa engatakan dengan bahasa yang lebih jelas kepada kaum muslimin yang betul-betul ingin kembali mendapatkan ’izzah (kehormatan), kejayaan, dan hukum Islam, yaitu Anda harus bisa merealisasikan dua perkara :


Pertama, Anda harus mengembalikan syari’at Islam ke dalam benak-benak kaum muslimin dalam keadaan bersih dari segenap unsur yang menyusup ke dalamnya, apa yang sebenarnya bukan berasal daripadanya ketika Allah menurunkan firman-Nya :


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلاَمَ دِيناً


”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. [QS. Al-Maaidah : 3].


Mengembalikan persoalan hari ini menjadi persoalan jaman pertama dahulu membutuhkan perjuangan ekstra keras dari para ulama kaum muslimin di berbagai penjuru dunia.


Kedua, Kerja keras yang terus-menerus tanpa henti ini harus dibarengi dengan ilmu yang telah terbersihkan itu. Pada hari dimana kaum muslimin telah kembali memahami agama (dien) mereka sebagaimana yang dipahami para shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, kemudian melaksanakan pengamalan ajaran Islam yang telah terbersihkan itu secara benar dalam semua segi kehidupan, maka pada hari itulah kaum mukminin dapat bergembira merasakan kemenangan yang datangnya dari Allah.


Inilah yang bisa saya katakan dalam ketergesa-gesaan ini dengan memohon kepada Allah agar Dia memberikan pemahaman Islam secara benar kepada kita dan seluruh kaum muslimin sesuai dengan tuntunan Kitab-Nya dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang sahih sebagaimana yang ditempuh oleh Salafunash-Shaalih. Kita memohon kepada Allah agar Dia memberi taufiq kepada kita supaya dapat mengamalkan yang demikian itu. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa. Wallaahu a’lam”


[selesai perkataan Asy-Syaikh Al-Albani, sebagaimana terdapat dalam majalah Al-Ashalah edisi 11 tanggal 15 Dzulhijjah 1414 H, Beirut].