Khamis, 21 Mei 2009

Beberapa Kesalahan Dalam Penamaan Dan Istilah

Oleh: Syeikh Muhammad bin Jamil Zainu

Kesalahan Pertama

Penisbahan isteri kepada suaminya, seperti : Suha Arafat (contoh lain dalam masyarakat Malaysia; Aida Radzwil yang dinisbahkan kepada suaminya-pent), nisbah kepada suaminya. Ini merupakan suatu kesalahan, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapa-bapa mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah “[Al-Ahzab : 5]

Yang benar ialah Suha binti Fulan (nisbah kepada bapanya)

Kesalahan Kedua


Penyebutan sesuatu tidak menggunakan nama yang sebenarnya menurut syar’ie. seperti penyebutan riba bank diganti dengan faedah bank, khamr (arak) telah diberi nama dengan nama atau label yang banyak dan bermacam-macam, hingga ada yang menamainya minuman untuk membangkitkan semangat dan sebagainya, zina diganti dengan hubungan seks dan sebagainya.

Yang benar, seharusnya kita menyebut hal-hal tersebut berdasarkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan. Kerana dalam penamaan (yang Allah berikan tersebut) terdapat banyak faedah. Di antaranya, agar manusia mengetahui apa-apa yang telah diharamkan Allah, baik nama ataupun sifatnya. Sehingga mereka menjauhinya, setelah mengetahui bahaya dan ancaman seksa (bagi yang menyalahi). Dan tidak timbul kesan meremehkan pada jiwa kita mengenai keharaman tersebut setelah namanya diganti.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dikutip) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiayai dan tidak (pula) dianiaya” [Al-Baqarah : 278]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dengan sebab (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan solat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [Al-Maidah : 90-91]


Kemudian firman-Nya.

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [Al-Isra : 32]

Kesalahan Ketiga


Penyebutan kata Al-Karm untuk anggur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyebut anggur dengan kata Al-Karm. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Janganlah kalian memanggil dengan al-Karm, tapi namakanlah al-’Inab dan al-Hablah” [HR Muslim]

Kata al-‘Inab dan al-Hablah memiliki makna yang sama, yakni anggur. Baginda Shallallahu alaiahi wa salam juga bersabda.

“Mereka menyebut al-Karm, sesungguhnya al-Karm adalah hati seorang mu’min” [HR Al-Bukhari]

Beliau melarang hal ini disebabkan lafaz Al-Karm menunjukkan akan melimpahnya kebaikan dan manfaat pada sesuatu. Dan hati seorang mukmin lebih berhak untuk itu.

Kesalahan Keempat


Memakai kun-yah (nama gelaran) Abu al-Hakam. Karena Al-Hakim adalah Allah. Maka, tidak boleh menggunakan kun-yah tersebut. Yang benar, kita mneggunakan kun-yah yang disunnahkan, seperti Abu Abdillah, Abu Abdirrahman, Abu Abd al-Hakam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” [HR Muslim]

Dalam hadis Al-Miqdam bin Syuraih bin Hani, ketika ia (yakni Hani) bersama kaumnya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mendengar mereka memberi kun-yah Abu al-Hakam kepadanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, beliau berkata.

“Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan kepadaNyalah hukum kembali, maka mengapakah engkau berkun-yah dengan Abul Hakam? Ia (Hani) berkata, “Sesungguhnya jika kaumku berselisih, mereka mendatangiku lalu kuputuskan hukum diantara mereka hingga kedua belah pihak redha atas keputusanku”. Beliau berkata, “Alangkah baiknya perbuatanmu, apakah engkau memiliki anak?” Ia menjawab, “Aku memiliki Syuraih, Abdullah dan Muslim. Beliau bertanya lagi, “Siapakah yang paling besar diantara mereka?” Ia menjawab, “Syuraih”. Beliau berkata, “Kalau begitu, engkau Abu Syuraih” [HR An-Nasa’i]

Kesalahan Kelima


Memberi nama dengan nama yang mengandung unsur tazkiyah (penyucian diri), seperti : Barrah (orang yang banyak berbakti), Khalifatullah (Khalifah Allah), Wakilullah (Wakil Allah), dan sebagainya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama Barrah. Beliau bersabda.

“Janganlah kalian mengatakan diri kalian suci, karena Allah lebih tahu siapa yang baik diantara kalian” [HR Muslim]

Yang benar, ialah memberi nama dengan nama-nama yang disyariatkan, seperti : Zainab, Asma, Abdullah, Abdurrahman. Ataupun nama para nabi, seperti ; Yusuf, Ibrahim dan sebagainya.

Yusuf bin Abdillah bin Salam Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan nama Yusuf untukku. Beliau meletakkanku di pangkuannya dan beliau mengusap kepalaku” [HR Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 248]

Juwairiyah binti Al-Harits Al-Khuza’iyyah, dahulu bernama Barrah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Juwairiyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahihnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam haditsnya yang lain, berkaitan dengan nama tazkiyah.

“Janganlah engkau namakan anak lelakimu dengan Rabah, Yasar, Aflah dan Nafi’” [HR Muslim]

Demikian juga dengan nama Kalifatullah ataupun Wakilullah. Arti kata al-Wakil adalah seseorang yang bertindak mewakili pihak yang mewakilkan. Sedangkan Allah tidak ada wakil bagi-Nya, dan tidak ada yang boleh menggantikan-Nya. Bahkan Dialah yang memelihara hamba-Nya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda.

“Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pemelihara keluarga (yang kami tinggal)” [HR Muslim]

Nabi juga melarang kita menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja). Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam bersabda.

“Nama yang paling hina disisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang yang menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja)” [HR Al-Bukhari]

Kesalahan Keenam


Memberi nama dengan nama yang buruk, seperti ; Harb (perang), Sha’b (sulit, susah), Hazan (kesedihan), Ushaiyyah (maksiat), Aashiyah (wanita yang bermaksiat), Murrah (pahit) dan yang semisal dengan itu.

Yang benar, memberi nama dengan nama yang baik, seperti : Hasan, Husain, dan yang semisalnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai nama yang baik. Beliau bertafaul (berharap kebaikan) dengan nama tersebut. Barangsiapa mhau mendalami hadis-hadis Nabi, n3scaya dia akan mencari makna-makna nama yang berkaitan dengan sunnah. Seakan-akan nama-nama itu diambil dari sunnah-sunnah itu.

Cubalah renungi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berikut.

“Ghafar adalah orang yang Allah ampuni dan Aslam adalah yang Allah selamatkan, sedangkan Ushaiyyah dialah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR Al-Bukhari]

Jika anda ingin mengetahui, adakah pengaruh nama bagi pemiliknya? Maka perhatikanlah kisah Said bin Al-Musayyib berikut ini.

“Dari Ibnu Al-Musayyib, dari bapanya, sesungguhnya bapanya (yakni bapa saudara Ibnu Al-Musayyib) datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya : “Siapakah namamu?”. Ia menjawab, “Hazn”. Beliau berkata, “Engkau adalah Sahl”. Ia berkata. “Aku tidak akan mengubah nama pemberian bapaku”. Ibnul Musayyib berkata : “Sejak itu kesusahan sentiasa meliputi kami” [HR Al-Bukhari]

Makna kata al-Huzunah (dalam hadits diatas, -red) adalah Al-Ghilzah (kekerasan, kesusahan) Dapat pula diertikan sebagai tanah yang keras atau tanah datar.

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi mengubah nama ‘Aashiyah. Beliau berkata, “Kamu Jamilah”.

Ketika Al-Hasan lahir, Ali menamainya Harb. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang seraya berkata : “Perlihatkan kepadaku cucuku. Apa nama yang kalian berikan pada cucuku?” Ali berkata, “Harb”. Beliau berkata, “Bahkan, namanya adalah Hasan”[HR Ahmad]

Kesalahan Ketujuh


Sebagian orang memberikan julukan attatharruf fi al-din (sikap berlebih-lebihan dalam agama) kepada mereka yang memegang agama secara mutasyadid (ekstrim)

Yang benar kita sebut ghuluw fi al-din (berlebih-lebihan dalam agama). Penyebutan ini pun diberikan, jika memang orang tersebut telah benar-benar keluar dari agama kerana sikap ghuluwnya tadi

Ahli hadits mengatakan istilah attatharruf fi al-din ini muncul pada awal abad ke lima belas hijriah. Ketika itu terjadi taubat besar-besaran para pemuda muslim. Mereka berbondong-bondong kembali kepada Allah., beriltizam (konsisten) kepada hukum-hukum dan adab-adab Islam, serta mendakwahkannya. Sebelumnya, keadaan mereka (yang ber-iltizam kepada Islam), dikatakan sebagai golongan terbelakang, taksub, jumud dan ejekan-ejekan lainnya. Maka ketahuilah, sesungguhnya agama Allah berada di pertengahan antara sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap meremehkan.

Para ulama Islam pada setiap masa pun senantiasa melarang sikap ghuluw dalam agama, disamping mereka juga selalu mengajak kepada taubat.

Adapun pada zaman sekarang, timbangan norma telah banyak diputar-belitkan. Hingga orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah (hal ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh syari’at) disingkirkan, dengan alasan sikap berlebihan tadi. Maksudnya, agar orang-orang menjauhi mereka dan untuk melumpuhkan dakwah ilallah. Ini jelas pemikiran jahat Yahudi. Semoga Allah membinasakan mereka.

Namun sangat aneh dan menghairankan. Kaum muslimin menerima begitu saja pemikiran tadi. Tidakkah mereka berfikir dan menolaknya?

Kesalahan Kelapan


Sebagian suami memanggil isterinya dengan sebutan Ummul Mu’minin. Ini jelas haram. Kerana keadaan yang benar untuk memanggil dengan panggilan tersebut ialah si suami haruslah seorang Nabi dan isteri-isterinya adalah Ummahatul Mu’minin. Suatu kesalahan yang boleh mengakibatkan kepada kekufuran. Kerana kita harus meyakini, bahwa tidak ada nabi setelah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam

Ada juga suami yang memanggil isterinya dengan panggilan Madam, suatu panggilan ala Perancis yang terlarang. Kerana mengandung unsur tasyabbuh (meniru) orang kafir.

Yang benar ialah memanggil isteri dengan nama kun-yahnya seperti Ummu Abdillah, Ummu Fulan, atau dapat juga dengan panggilan zaujati (isteriku) atau ahli (keluargaku).

Wallahul hadi ila ar-rasyad.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VI/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2457/slash/0

Selasa, 19 Mei 2009

Muhkamat dan Mutasyabihat

Seringkali kita mendengarkan ayat-ayat yang disebut sebagai ayat-ayat muhkamat dan satu lagi ayat-ayat mutasyabihat. Pokok utama yang menjelaskan tentang ini adalah pada firman Allah di dalam surah Ali Imran ayat 7:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Maksudnya: “Dia lah yang menurunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab suci Al-Quran. sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat "Muhkamaat" (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. dan yang lain lagi ialah ayat-ayat "Mutasyaabihaat" (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). Oleh sebab itu (timbulah kefahaman yang berlainan menurut kandungan hati masing-masing) - adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut yang disukainya). padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu ugama, berkata: "Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang yang berfikiran.”

Tafsirannya:

Allah menjelaskan bahawa di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang muhkam yang merupakan dasar-dasar Al-Quran iaitu ayat-ayat yang jelas dan terang pengertiannya serta tidak ada kesamaran baginya.

Selain dari itu ada ayat-ayat yang mutasyabih iaitu ayat-ayat yang terdapat di dalamnya kesamaran dari sudut pengertian sama ada bagi kebanyakan orang mahupun sebahagian orang.

Al-Imam Ibn Katsir rahimahullah berkata:

“Para ulama telah berbeza pendapat mengenai pengertian ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat ini. Banyak ungkapan mengenai hal ini yang diriwayatkan dari para ulama salaf. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibn Abbas bahawa ayat-ayat muhkamat itu adalah ayat-ayat nasakh, ayat-ayat mengenai halal dan haram, hudud (hukuman), hukum-hukum apa yang diperintahkan dan apa yang hendak diamalkan.

Dan dikatakan pula mengenai ayat-ayat mutasyabihat, iaitu ayat yang mansukh, didahulukan, diakhirkan, perimpamaan-perumpamaan, sumpah, dan apa yang harus dipercayai tetapi bukan hal yang diamalkan. Ada juga yang berpendapat bahawa ayat mutasyabihat adalah huruf-huruf yang terpotong di awal-awal surah.” (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, jilid 2, ms. 5)

Demikian ayat-ayat Mutasyabihat merupakan lawan dari ayat-ayat yang muhkamat. Oleh sebab itu, Allah berfirman:

“…Adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut yang disukainya). padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah…”

Maksudnya adalah mereka yang mengambil ayat-ayat mutasyabihat untuk mereka mengubah ayat-ayat tersebut kepada maksud-maksud yang rosak sebagaimana orang-orang Nasrani ketika berhujah mereka mengatakan Al-Quran menyatakan bahawa “Isa itu adalah roh Allah.” Sedangkan ayat lain yang mereka tidak berhujah dengannya menyatakan “Isa itu tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian).” Dan juga firmanNya “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian berfirman kepadanya, (Kun) ‘Jadilah’, maka jadilah ia.” (Ali Imran: 59) (Tafsir Ibn Katsir, jilid 2, ms. 6. Pustaka Imam Asy-Syafi’i)

Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Kamil telah menceritakan kepada kami, Hammad menceritakan kapada kami, dari Abu Ghalib, di mana dia berkata, aku pernah mendengar Abu Umamah menyampaikan sebuah hadis dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, mengenai firman Allah:

“Adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran”

Baginda bersabda: “Mereka itulah golongan Khawarij.” Dan juga firman Allah:

“Pada hari yang pada waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram.” (Ali Imran: 106)

Baginda bersabda: “Mereka (muka yang hitam muram) itulah golongan Khawarij.”

Menurut Ibn Katsir rahimahullah hadis ini sekurang-kurangnya mauquf dari perkataan sahabat, namun makna hadis ini sahih, kerana bid’ah yang pertama sekali muncul dalam Islam adalah fitnah Khawarij. Penyebab pertama mereka dalam hal keduniaan ialah ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam membahagikan harta rampasan perang Hunain, maka mereka yang rosak pemikirannya, seolah-olah melihat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tidak adil dalam pembahagian tersebut.

Kemudian seorang juru cakap mereka yang bernama “Dzul Khuwaishirah” berkata kepada Nabi: “Berlaku adillah engkau, sebab engkau telah berlaku tidak adil.” Kemudian Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sungguh gagal dan rugilah aku jika aku tidak berlaku adil. Apakah Allah mempercayaiku memimpin penduduk bumi ini, namun kalian tidak mempercayaiku?”

Maka ketika orang itu berpaling, ‘Umar bin Al-Khattab meminta izin untuk membunuhnya, maka baginda bersabda:

“Biarkan dia. Sesungguhnya akan keluar dari kalangannya suatu kaum yang mana salah seorang di antara kalian memandang remeh solatnya berbanding solat mereka, dan bacaannya dibandingkan bacaan mereka. Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya. Maka di mana pun kalian temui mereka, maka bunuhlah mereka, kerana sesungguhnya tersedia pahala bagi orang yang dapat membunuh mereka.”

Tidak diragukan lagi kelompok Islam akan berpecah berdasarkan apa yang telah diisyaratkan oleh Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan kelompok pertama ini benar-benar dibunuh oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahi ‘anhu pada peperangan Nahrawan. Maka dari saat itulah bermunculanlah kelompok-kelompok sesat lain di antaranya Qadariyyah, Muktazilah, Jahmiyyah dan lain-lain. (Tafsir Ibn Katsir, jilid 2, ms. 7-8)

Firman Allah:

“Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.”

Menurut Ibn Katsir takwil di sini bermaksud tafsir, keterangan dan berupa penjelasan mengenai sesuatu hal, sebagaimana firmanNya:

“Berikanlah kami takwilnya.” (Yusuf: 36)

Sebagaimana doa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma:

“Ya Allah berikanlah pemahaman kepadanya mengenai masalah agama dan ajarkanlah takwil (tafsir) kepadanya.” (Hadis riwayat Bukhari dan Ahmad)

Firman Allah:

“Dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu ugama, berkata: "Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang yang berfikiran.”

Firman Allah ini menjelaskan bahawa mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) mengatakan: “Kami beriman kepadanya” yakni kepada ayat-ayat mutasyabihat. Sama ada ayat-ayat muhkamat mahupun ayat-ayat mutasyabihat, maka ianya adalah benar, saling membenarkan dan menguatkan kerana semuanya itu berasal dari Allah Ta’ala. Sebab tidak ada satu pun yang berasal dariNya saling berbeza dan bertentangan antara satu sama lain, sebagaimana firman Allah:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)

Oleh sebab itulah, Allah berfirman: “dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang yang berfikiran” ertinya yang dapat memahami dan merenungi maknanya hanyalah orang-orang yang berakal sihat dan mempunyai pemahaman yang benar.

Rasulullah pernah mendangar suatu kaum yang saling bertengkar, lalu baginda bersabda:

“Sesungguhnya dengan sebab (pertengkaran) inilah orang-orang sebelum kalian itu binasa. Mereka mempertentangkan sebahagian isi Kitab Allah dengan sebahagian yang lain. Sesungguhnya Kitab Allah itu diturunkan untuk saling membenarkan yang satu dengan yang lainnya. Oleh kerana itu, janganlah kalian mendustakan sebahagiannya dengan sebahagian lainnya. Apa sahaja yang kalian ketahui darinya, maka katakanlah. Dan apa sahaja yang kalian tidak ketahui darinya, maka serahkanlah kepada yang mengetahuinya.” (Hadis riwayat Ahmad dari ‘Amr bin Syu’aib)

Khamis, 14 Mei 2009

KEBANGKITAN ISLAM

Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani rahimahullah.

”Yang saya yakini adalah apa yang terdapat dalam hadits shahih. Ia merupakan jawaban tegas terhadap pertanyaan semacam ini yang mungkin dilontarkan pada masa kiwari. Hadits tersebut adalah sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :


إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِاْلعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اْلبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُم ُاْلجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ


”Apabila kamu berjual beli dengan ’inah (jual beli sistem riba), memegang ekor-ekor sapi, ridla (terlalu sibuk) dengan pertanian, dan meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak akan menghilangkannya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian [HR. Abu Dawud].


Jadi asasnya adalah rujuk (kembali) pada Islam. Persoalan ini telah diisyaratkan oleh Al-Imam Malik رحمه الله dalam sebuah kalimat ma’tsur yang ditulis dengan tinta emas : ”Barangsiapa yang yang mengada-adakan bid’ah di dalam Islam kemudian menganggap bid’ah tersebut baik, berarti ia telah menganggap Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. (Padahal) Allah telah berfirman :


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلاَمَ دِيناً


”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. [QS. Al-Maaidah : 3].


Oleh karena apa yang hari itu bukan agama, maka pada hari ini pun bukan agama. Dan tidaklah baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah menjadi baik pada awal umat ini” [---- selesai perkataan Imam Malik ----].


Kalimat terakhir Al-Imam Malik di atas itulah yang berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan ini, yaitu pernyataan beliau :


لا يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ اْلأمَّةِ إِلا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا


”Tidaklah baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah menjadi baik pada awal umat ini”.


Oleh sebab itu, sebagaimana halnya orang Arab Jahiliyyah dahulu tidak menjadi baik keadaan kecuali setelah datang Nabi mereka, Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam dengan membawa wahyu dari langit yang telah menyebabkan kehidupan mereka di dunia berbahagia dan selamat dalam kehidupan akhirat. Demikian pula seyogyanya asas yang mesti dijadikan pijakan bagi kehidupan Islami nan membahagiakan di masa kini, yaitu tidak lain hanyalah rujuk (kembali) kepada Al-Kitab was-Sunnah.


Hanya saja, masalahnya memerlukan sedikit penjelasan, sebab betapa banyak jama’ah serta golongan-golongan Islam yang ada di ”lapangan” mengaku bahwa mereka telah meletakkan sebuah manhaj yang memungkinkan dengannya terwujud masyarakat Islam dan terwujud pelaksanaan hukum berdasarkan Islam. Sementara itu kita mengetahui dari Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa jalan bagi terwujudnya itu semua hanya ada satu jalan, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya :


وَأَنّ هَـَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتّبِعُوهُ وَلاَ تَتّبِعُواْ السّبُلَ فَتَفَرّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ


”Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya” [QS. Al-An’am : 153].


Dan sungguh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah menjelaskan makna ayat ini pada para shahabatnya. Beliau satu hari menggambarkan pada para shahabat sebuah garis lurus di atas tanah, disusul dengan menggambar garis-garis pendek yang banyak di sisi-sisi garis lurus tadi. Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam membacakan ayat di atas ketika menudingkan jari tangannya yang mulia ke atas garis yang lurus dan kemudian menunjuk garis-garis yang terdapat di sisi-sisinya (yaitu garis-garis yang pendek – Abul-Jauzaa’.), beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :


هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ سُبُلُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ سَبِيل مِنْهَا الشَّيْطَانَ يَدْعُوا لَهُ


”Ini adalah jalan Allah, sedangkan jalan-jalan ini pada setiap muara jalan-jalan tersebut ada syaithan yang menyeru kepadanya” [Shahih, sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Dhilalul-Jannah fii Takhriijis-Sunnah hal. 16-17].


Allah ’azza wa jalla pun menguatkan ayat beserta penjelasannya dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits di atas dengan ayat lain, yaitu firman-Nya :


وَمَن يُشَاقِقِ الرّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُ الْهُدَىَ وَيَتّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلّهِ مَا تَوَلّىَ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ وَسَآءَتْ مَصِيراً


”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].


Dalam ayat ini terdapat sebuah hikmah yang tandas, yaitu bahwa Allah ta’ala mengikatkan kalimat ’jalannya orang-orang mukmin’ kepada apa yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Hal inilah yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits ifitiraaq (perpecahan) ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ditanya tentang Al-Firqatun-Najiyyah (golongan yang selamat). Saat itu beliau menjawab :


مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ


”(Yaitu) apa yang aku dan shahabatku pada hari ini berada di atasnya” [Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 203].


Apakah gerangan hikmah yang dimaksud ketika Allah menyebutkan ’jalannya orang-orang mukmin’ [سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ] dalam ayat di atas ? Dan apakah kiranya hal yang dimaksud ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengikatkan para shahabatnya pada diri beliau sendiri dalam hadits di atas ? Jawabannya : Bahwa para shahabat radliyallaahu ’anhum itu adalah orang-orang yang telah menerima pelajaran dua wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) langsung dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliau telah menjelaskannya secara langsung kepada mereka tanpa perantara, tidak sebagaimana orang-orang sesudahnya. Tentu saja hasilnya adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam sabdanya :


إنَ الشَّاهِدَ يَرَى مَا لا يَرَى اْلغَائِبُ


”Sesungguhnya orang yang hadir akan dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang yang tidak hadir” [Lihat Shahihul-Jaami’ no. 1641].


Oleh sebab itulah, iman para shahabat terdahulu lebih kuat daripada orang-orang yang datang sesudahnya. Ini pula yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits mutawatir :


خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ


”Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].


Berdasarkan hal ini, seorang muslim tidaklah bisa berdiri sendiri dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah, tetapi ia harus meminta bantuan dalam memahami keduanya dengan kembali kepada para shahabat yang mulia, (yaitu) orang-orang yang telah menerima pelajaran tentang keduanya langsung dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam; yang terkadang beliau menjelaskan dengan perkataan, perbuatan, atau dengan taqrir (persetujuan) beliau.


Jika demikian, adalah mendesak sekali dalam ”mengajak orang kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah” untuk menambahkan prinsip ”berjalan di atas apa yang ditempuh As-Salafush-Shalih” dalam rangka mengamalkan ayat-ayat serta hadits-hadits yang telah disebutkan di muka manakala Allah menyebutkan ’ jalannya orang-orang mukmin’ [سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ], dan menyebutkan Nabi-Nya yang mulia serta para shahabatnya dengan maksud supaya memahami Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan apa yang dipahami kaum salaf (generasi pertama dari kalangan shahabat radliyallaahu ’anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik).


Kemudian, dalam hal ini ada satu persoalan yang teramat penting namun dilupakan oleh banyak kalangan jama’ah serta hizb-hizb Islam. Persoalan itu adalah ” Jalan mana gerangan yang dapat digunakan untuk mengetahui apa yang ditempuh oleh para shahabat dalam memahami dan memaksanakan sunnah ini ?”. Jawabannya : ”Tidak ada jalan lain untuk menuju pemahaman itu kecuali harus kembali kepada ilmu hadits, ilmu musthalah hadits, ilmu jarh wa ta’dil, dan mengamalkan kaidah-kaidah serta musthalah-musthalah-nya tersebut, sehingga para ulama dapat dengan mantap mengetahui mana yang shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan mana yang tidak shahih”.


Sebagai penutup jawaban, kami bisa engatakan dengan bahasa yang lebih jelas kepada kaum muslimin yang betul-betul ingin kembali mendapatkan ’izzah (kehormatan), kejayaan, dan hukum Islam, yaitu Anda harus bisa merealisasikan dua perkara :


Pertama, Anda harus mengembalikan syari’at Islam ke dalam benak-benak kaum muslimin dalam keadaan bersih dari segenap unsur yang menyusup ke dalamnya, apa yang sebenarnya bukan berasal daripadanya ketika Allah menurunkan firman-Nya :


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلاَمَ دِيناً


”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. [QS. Al-Maaidah : 3].


Mengembalikan persoalan hari ini menjadi persoalan jaman pertama dahulu membutuhkan perjuangan ekstra keras dari para ulama kaum muslimin di berbagai penjuru dunia.


Kedua, Kerja keras yang terus-menerus tanpa henti ini harus dibarengi dengan ilmu yang telah terbersihkan itu. Pada hari dimana kaum muslimin telah kembali memahami agama (dien) mereka sebagaimana yang dipahami para shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, kemudian melaksanakan pengamalan ajaran Islam yang telah terbersihkan itu secara benar dalam semua segi kehidupan, maka pada hari itulah kaum mukminin dapat bergembira merasakan kemenangan yang datangnya dari Allah.


Inilah yang bisa saya katakan dalam ketergesa-gesaan ini dengan memohon kepada Allah agar Dia memberikan pemahaman Islam secara benar kepada kita dan seluruh kaum muslimin sesuai dengan tuntunan Kitab-Nya dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang sahih sebagaimana yang ditempuh oleh Salafunash-Shaalih. Kita memohon kepada Allah agar Dia memberi taufiq kepada kita supaya dapat mengamalkan yang demikian itu. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa. Wallaahu a’lam”


[selesai perkataan Asy-Syaikh Al-Albani, sebagaimana terdapat dalam majalah Al-Ashalah edisi 11 tanggal 15 Dzulhijjah 1414 H, Beirut].