Rabu, 20 Oktober 2010

Talbis Salafi Haraki

Oleh: Ustaz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifulloh

MUQADDIMAH

Talbis (pencampuradukkan) antara haq dan batil adalah cara-cara ahli bid’ah dari masa ke masa. Ini kerana suatu bid’ah jika berupa kebatilan yang murni maka tidak mungkin akan diterima oleh manusia, bersegeralah setiap orang membantah dan mengingkarinya. Seandainya bid’ah itu kebenaran yang murni maka bukanlah merupakan bid’ah, tetapi adalah sunnah. Maka bid’ah dapat tersebar di kalangan manusia kerana kebatilan yang terkandung di dalamnya diselimuti dengan sedikit kebenaran.

Di antara model talbis yang telah dilakukan oleh para hizbiyyin adalah menggabungkan antara kekufuran, kebid’ahan dan kesesatan zaman ini dengan ajaran-ajaran Islam, seperti demokrasi Islami, sandiawara Islami, nyanyian Islami, parti Islami, dan “sederet nama-nama Islami” yang lainnya. Tidak berhenti di situ sahaja, bahkan mereka juga hendak mengaburkan kaum muslimin dari manhaj yang lurus, manhaj Salafus Soleh, dengan mencampuradukkan antara manhaj salaf dengan manhaj harakah yang bid’ah yang dikemas dengan nama baru “Salafi Haraki”. Dengan cara ini mereka hendak mengajak para pengikut Salafus Soleh untuk berpaling dari manhaj Salaf dan menganut manhaj Haraki yang bid’ah!

Mengingat akan bahaya yang besar di balik syubhat ini, maka dalam pembahasan kali ini kami berusaha menyingkap syubhat mereka ini sebagai nasihat kepada kaum muslimin.


FIKRAH SALAFI HARAKI

Fikrah (pemikiran) “Salafi Haraki” atau “Harakah Sunniyah” adalah fikrah yang hendak menggabungkan antara manhaj Salaf Ahli Sunnah wal Jama’ah dengan manhaj Haraki yang bid’ah. Di antara pembawa fikrah ini adalah Hasan Al-Banna ketika mensifati manhaj Ikhwanul Muslimin adalah: Dakwah salafiyyah,… tarekat sunniyyah …. Hakikat sufiyyah ….” (Majmu’atu Rasa’il Hasan Al-Banna hal. 122)

Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil berkata: “Kami menghendaki sebuah manhaj dakwah yang tegak di atas Salafiyyatul manhaj wa asriyyatul muwajahah (manhaj salaf dan sikap modern)!!.. Dengan manhaj yang menyeluruh dan Salafiyyah modern!! Kita akan dapat selamat dan akan selamat aqidah kita yang kukuh dari kian merosak dan pencampuran.” (Waqafat Tarbawiyyah hal. 161-162)

Muhammad Badri berkata: “Jama’ah Ahli Sunnah adalah jama’ah yang menyeru anggota-anggota harakah Islamiyah untuk berpegang teguh dengannya, dialah jama’ah yang umum dan luas ..” (Majalah Al-Bayan yang terbit di London edisi 28 hal. 15)

Ahmad Salam berkata; “Adapun tujuan yang hendak saya capai dalam pembahasan ini –atau bahagian di dalamnya- adalah yang terangkum dalam beberapa point berikut: …. 3. Mengembalikan ikatan hubungan harakah Islammiyyah dengan asas-asas manhaj salaf.” (Ma’ Anna Alaihi wa Ashabi hal.222)

Perkaaan Ahmad Salam ini dinukil oleh Majalah Harakah Sunniyyah As-Silmi Edisi 12 Rejab 1427H / Ogos 2006M di halaman-halaman akhir setelah bahagian Panduan Haraki [1] Majalah ini diterbitkan oleh PT MIM [2] yang berada di bawah naungan Yayasan Al-Huda Ciomas Bogor.

JANGANLAH KAMU MENCAMPURADUKKAN ANTARA HAK DAN BATIL!

Pemikiran yang hendak menggabungkan antara manhaj salafi dengan manhaj Haraki adalah pemikiran yang sangat berbahaya, kerana menjurus kepada percampuran antara hak dan batil, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam KitabNya.

Maksudnya: “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak ini sedang kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 42)

Qatadah berkata tentang tafsir ayat ini: “Janganlah kamu campuradukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, padahal kamu mengetahui bahawa agama Allah yang hak adalah Islam dan bahawasanya agama Yahudi dan Nasrani yang kamu pegang sekarang ini adalah agama yang bid’ah dari Allah!” (Tafsir Ibnu Katsir 1/109)

Maka kami katakan kepada para pembawa fikrah Salafi-Haraki: Janganlah kamu campuradukkan manhaj Haraki dengan manhaj Salafi, padahal kamu mengetahui bahawa manhaj yang hak adalah manhaj Salafi dan bahawasanya manhaj Haraki adalah manhaj yang bid’ah!

TOKOH-TOKOH HARAKI MENGAKUI KEBENARAN MANHAJ SALAFI

Benarkah bahawa para pembawa fikrah Salafi-Haraki ini mengetahui bahawa manhaj yang hak adalah manhaj Salaf? Berikut ini akan kami nukilkan perkataan tokoh-tokoh mereka tentang hal ini:

Hasan Al-Bana berkata: “Wahai kaum, kami menyeru kamu kepada Kitabullah di tangan kanan dan Sunnah Rasulullah di tangan kiri, dan teladan kita adalah amal dari Salafus Soleh.” (Majmu’atu Rasa’il, hal.40)

Abdullah Azzam berkata: "Adapun aqidah Salafus Soleh maka ia adalah aqidah ahli Kitab wa Sunnah dan sesungguhnya aku dibesarkan atas aqidah ini dan aku terus di atasnya dengan anugrah Allah, dan aku berharap agar Allah meneguhkanku di atasnya dan mematikanku di atasnya. Dan sesungguhnya yang memusuhi aqidah Salafus Soleh maka dia memusuhi agama ini bahkan dia bukanlah seorang muslim dan sesungguhnya tujuan kami adalah membela aqidah ini dengan izin Allah.” (Majalah Mauqif edisi 68 tarikh 10 Jumadil Akhir 1410H)

ANTARA MANHAJ SALAFI DAN MANHAJ HARAKI

Dasar perbezaan diantara manhaj Salafi dan manhaj Haraki adalah di dalam metode berdakwah: “Salafiyyin menjadikan rujukan mereka di dalam berdakwah adalah dakwah para rasul, sedangkan metode dakwah harakiyyin sangat terpengaruh dengan situasi dan keadaan.”

Harakiyun menjadikan tujuan utama dakwah mereka untuk menegakkan “khilafah”. Inilah yang menjadikan mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk memperkuatkan ahli-ahli (massa) dalam jumlah yang besar untuk merebut kekuasaan. Upaya untuk memperkuat ahli-ahli ini bukanlah perkara yang mudah, kerana ahli-ahli yang hendak mereka kumpulkan memiliki keyakinan dan pemikiran yang beraneka ragam. Ada yang menyembah batu, ada yang menyembah pohon, ada yang menyembah kubur, ada yang mengikuti aqidah Sufiyah, Asy'ariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah dan sebagainya. Untuk mendapatkan simpati dan dokongan dari ahli-ahli, maka mahu tidak mahu mestilah mengikuti kehendak mereka, dengan tidak mengusik aqidah-aqidah mereka yang batil dan jalan mereka yang sesat, yang penting para haraki ini boleh mendapatkan suara sebanyak mungkin dan dokongan sekuat mungkin dari ahli-ahlinya.

Hasan Al-Banna berkata: “Hal yang paling penting sekarang ini yang hendaknya perhatian kaum muslimin diarahkan kepadanya adalah wajibnya mempersatukan barisan dan menyatukan kalimah dengan sekuat tenaga.” (Majmu’atu Rasa’il hal. 452)

Seorang tokoh haraki yang lain, Hasan At-Turabi, mengatakan: “Hendaklah kita biarkan para penyembah kubur tawaf di kubran-kuburan hingga kita dapat mencapai kubah parlemen!” (Majalah Al-Istiqomah, bulan Rabi’ul Awal 1408H hal. 26)

Adapun Salafiyun maka mereka tidak memandang kepada sedikit dan banyaknya jumlah, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas sikap diam dari kesyirikan dengan alasan untuk mendapat dokongan ahli-ahlinya. Adapun kekuasaan dan kemenangan adalah pemberian Allah bagi hamba-hambaNya yang bertakwa sebagai balasan atas istiqamah mereka dalam agamaNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

Maksudnya: “ …. Bahawasanya bumi ini diwarisi hamba-hambaKu yang soleh” (Al-Anbiya: 105)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

Maksudnya: “ … Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah ; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah ; diwariskanNya kepada siapa yang dikehendakiNya dan dari hamba-hambaNya, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Al-A’raf: 128)

Allah telah mengingatkan kita jangan sampai terperdaya dengan jumlah ahli yang banyak. Dia berfirman

Maksudnya: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah …” (Al-An’am: 116)

PENEGAKKAN HUKUM ALLAH ANTARA MANHAJ SALAFI DAN MANHAJ HARAKI

Para tokoh haraki selalu berbicara tentang pengkafiran setiap penguasa yang memakai undang-undang wadh’i (buatan manusia). Mereka mengkafirkan setiap penguasa yang tidak menerapkan hukum Allah, tanpa perincian lebih lanjut apakah penguasa tersebut mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Allah atau masih mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah [3]. Langkah berikutnya yang mereka tempuh adalah pencanangan jihad ofensif (serangan) melawan para penguasa yang sudah dihukumi kafir ini dengan melancarkan gerakan-gerakan rahasia [4] atau gerakan-gerakan politik [5]

Dengan dua harakah/gerakan ini (pengkafiran penguasa dan jihad ofensif melawan penguasa ,-red) bolehkah para harakiyin ini menegakkan hukum Allah?? Realiti yang ada menunjukan mereka tidak memberikan manfaat apa-apa kepada kaum muslimin, bahkan tidak juga memberi manfaat kepada diri-diri mereka sendiri. Yang ada adalah kekejaman, penumpahan darah, dan fitnah di mana-mana. Hukum-hukum Islam tidak juga tegak di tangan mereka, bahkan tidak juga pada diri mereka, bahkan semakin banyak penyelewengan-penyelewengan syar’i yang mereka lakukan. Tidak henti-hentinya kita mendengar dari mereka aqidah-aqidah dan pemikiran yang menyeleweng dari Kitab dan Sunnah, amalan-amalan yang melanggar syar’i, lebih dari itu sepak terjang mereka yang selalu gagal dan menyelisihi syari’at.

Adapun Salafiyun maka mereka berusaha menempuh jalan yang telah dicontohkan oleh Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adalah merupakan hal yang dimaklumi oleh setiap muslim yang pernah membaca sirah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahawa di saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di tengah-tengah orang-orang Quraisy yang tidak behukum dengan hukum Allah, bahkan mereka berhukum kepada toghut di kabilah-kabilah mereka, apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melancarkan dakwah dengan dua harakah di atas? Tidak! Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai langkah baginda dengan mendakwahkan tauhid dan melarang kaumnya dari kesyirikan berupa peribadatan terhadap orang-orang soleh yang sudah mati yang mereka wujudkan dalam bentuk Latta, Uzza, Manat dan yang lainnya. Kemudian satu persatu dari mereka memenuhi seruan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga kemudian kaum muslimin mendapat pertentangan yang keras dan siksaan yang berat dari kaum musyrikin di Mekah, kemudian datanglah perintah hijrah yang pertama dan kedua…., hingga Allah meneguhkan Islam di Madinah [6]

GHAZWUL FIKRI DAN SOLUSINYA ANTARA MANHAJ SALAFI DAN MANHAJ HARAKI

Salafiyun tidaklah lalai dan menutup mata dari usaha-usaha ghazwul fikri (perang pemikiran) yang dilancarkan secara terus menerus oleh musuh-musuh Islam. Allah telah mengisyaratkan ghazwul fikri ini dalam kitabNya dan sekaligus menyebutkan tujuan utama ghazwul fikri ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

Maksudnya: “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)..” (An-Nisa: 89)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari ghazwul fikri ini dan melarang umatnya dari meniru orang-orang kafir, di dalam kekhususan-kekhususan orang-orang kafir, untuk menjaga keperibadian dan karakteristik seorang muslim. Telah datang hadis-hadis yang melarang kaum muslimin dari wala` (kesetiaan), kecintaan, dan taklid kepada orang-orang kafir, demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan setiap muslim agar menyelisihi orang-orang kafir dalam segala hal seperti masalah pakaian, tingkah laku dan sebagainya. Inilah solusi satu-satunya terhadap ghazwul fikri kerana syari’at Islam penuh dengan perbendaharaan-perbendaharaan yang sangat berharga, mencakup seluruh gerak-geri seorang muslim tentang bagaimana dia bergaul dengan saudaranya sesama muslim, bagaimana bergaul dengan orang kafir, bagaimana bergaul dengan tetangga, bagaimana bersikap terhadap wanita yang bukan mahram, bagaimana bergaul dengan anak dan isteri, bagaimana dia menaiki kendaraan, bagaimana sepetutnya pemikirannya, bagaimana dia berpakaian, bagaimana dia berdagang, dan secara ringkas seperti yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kamu ke syurga melainkan telah aku perintahkan kepada kamu, dan tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kamu ke neraka melainkan telah aku larang kamu darinya” (Diriwayatklan oleh Abu Bakar Al-Haddad dalam Muntakhab min Fawaid Ibnu Aluwiyyah Al-Qattan hal. 168 dan Ibnu Marduwiyah dalam Tsalatsatu Majalis hal. 188, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Sahihah 6/865)

Semua hal inilah yang semestinya memenuhi kehidupan seorang muslim dan pemikirannya, sehingga tidak meninggalkan tempat bagi pemikiran-pemikiran yang diselundupi dari luar kecuali yang sejalan dengan Islam, inilah usaha kita dalam membentengi dan menyelamatkan diri dari ghazwul fikri.

Adapun orang-orang haraki, mereka begitu lantang mengingatkan umat dari ghazwul fikri di dalam pembicaraan-pembicaraan dan tulisan-tulisan mereka, tetapi tanpa memberikan solusi yang tersebut di atas. Bahkan mereka begitu meremehkan terhadap orang-orang yang mereka pandang mengutamakan penampilan-penampilan Islami yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti memanjangkan janggut, memendekkan kain seluar di atas buku lali, hijab bagi wanita, dan menyelisihi orang-orang kafir di dalam berpakaian, mereka katakan bahawa hal tersebut lebih mementingkan kulit daripada isi!!! Mereka membuat bid’ah dengan membahagi-bahagikan agama menjadi qusyur (kulit) dan lubab (isi)!

Seorang tokoh haraki yang masyhur, Muhammad Al-Ghazali, tulisan-tulisannya penuh dengan ejekan kepada penampilan-penampilan Islami tersebut, dia katakan sebagai kulit (!), perkara yang tidak berguna (!), sikap keanak-anakkan (!), dan perkataan-perkataan yang kotor lainnya. Tetapi yang sangat menghairankan bahawa perpustakaan-perpustakaan Islam penuh dengan tulisan-tulisan Muhammad Al-Ghazali tentang bahaya ghazwul fikri!

FULAN AQIDAHNYA SALAFI TAPI MANHAJNYA HARAKI?!

Syaikh Dr Muhammad bin Umar Bazmul hafizahullahu berkata: “Sebahagian orang mengatakan: ‘Fulan Salafi aqidahnya tetapi manhajnya bukan Salafi’, demikianlah mereka katakan. Ucapan ini mengandung kekeliruan yang besar, kerana sesungguhnya aqidah (keyakinan)nya, barangsiapa memiliki aqidah tertentu maka pasti manhaj dan jalannya beranjak dari keyakinan tersebut. Barangsiapa yang memiliki keyakinan bahawa aqidah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama, dan bahawasanya para ahli bid’ah adalah bahaya yang mengancam kaum muslimin dalam agamanya, bagaimana dia menyikapi para ahli bid’ah? Tentunya dia akan menyikapi mereka sesuai dengan keyakinannya pada mereka, tidaklah logik kalau dia menyikapi mereka ini dengan manhaj yang menyelisihi keyakinannya tentang mereka. Maka sesungguhnya ucapan di atas menyelisihi realiti. Ucapan di atas membawa pemahaman yang keliru iaitu bahawasanya aqidah hanyalah bab-bab tertentu, sebagaimana sebahagian orang menyangka bahawa aqidah hanyalah masalah asma dan ahkam, serta asma wa sifat, barangsiapa yang mengikuti Salaf dalam masalah-masalah ini dan menyelisihi Salaf dalam masalah-masalah yang lainnya, maka aqidahnya sudah benar, sehingga dia dikatakan Salafi dari segi aqidah dan bukan Salafi (tetapi haraki) dalam manhaj!! Orang seperti ini telah berbuat kesalahan di dalam kebenaran aqidahnya, dia perlu belajar pemahaman yang benar tentang hakikat aqidah” (Ibarat Muhimah, hal. 11)

PENUTUP

Kami akhiri pembahasan ini dengan nasihat-nasihat para ulama tentang masalah ini.

Syaikh Al-Allamah Soleh bin Fauzan Al-Fauzan hafizahullahu berkata: “Menamakan diri dengan Salafiyah tidak mengapa jika benar-benar demikian keadaannya, adapaun jika penamaan tersebut hanya sekadar penamaan tanpa bukti, maka tidak boleh menamakan diri dengan Salafiyah padahal dia tidak berada di atas manhaj Salaf… Orang yang mengaku sebagai ahli sunnah, hendaklah dia mengikuti jalan Ahli Sunnah wal Jama’ah dan meninggalkan jalan orang-orang yang menyeleweng. Adapun jika dia hendak mengumpulkan antara Dhab dan ikan Nun, iaitu mengumpulkan antara binatang padang pasir dengan binatang lautan, maka ini hal yang mustahil, atau menggabungkan antara api dan air dalam satu daun timbangan. Maka tidak akan berkumpul antara Ahli Sunnah al Jama’ah bersama mazhab orang-orang yang menyelisihi mereka seperti; Khawarij, Mu’tazilah dan Hizbiyyin seperti orang yang mereka namakan sebagai muslim modern, iaitu orang yang hendak menggabungkan antara kesesatan-kesesatan modern dengan manhaj Salaf” (Ajwibah Mufidah, hal.18-19)

Beliau juga berkata: “Yang kami wasiatkan pada diri kami dan para saudara-saudara kami adalah: Hendaklah selalu bertakwa kepada Allah, berpegang teguh kepada manhaj Salafus Soleh, menjauhi bid’ah dan ahlinya, memberikan perhatian yang besar kepada aqidah sahihah (yang benar) dan ma’rifat (pengetahuan) tentang kesyirikan, dan mengambil ilmu dari para ulama yang terpercaya dalam ilmu dan aqidah mereka. Demikian juga, hendaknya berwaspada dan menjauhi para da’i suu’ (jahat) yang mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil dan menyembunyikan yang hak padahal mereka mengetahui.” (Ajwibah mufidah, hal. 119)

Syaikh Al-Allamah Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafizahullah berkata: “Saya menasihati orang yang mengatakan perkataan ini dan yang semisalnya agar bertakwa kepada Allah dan menjelaskan kepada kaum muslimin manhaj Salafi yang sahih, janganlah mencampuradukkan agama ini dengan manhaj Sayyid Qutub dan yang semisalnya, kerana manhaj Salafi dan manhaj Sayyid Qutub –seorang mubtadi (ahli bid’ah) yang tenggelam ke dalam kebid’ahan dan kesesatan- tidaklah keduanya melainkan dua hal yang kontradiksi yang tidak akan dapat bertemu di dalam manhaj dan tidak juga dalam aqidah. Bertaqwalah kamu pada para pemuda umat ini, jadilah kamu sebagai orang-orang yang jujur dan menjauhi sikap membela dan menjunjung ahli bid’ah, jauhilah tadlis (penyamaran untuk menutupi hakikat dari sebuah kebatilan), hendaklah kamu memberi penjelasan dengan penjelasan yang terang dan jelas yang merupakan jalan para anbia` 'alaihimushsolatu was sallam, Allh Subhanahu wa ta’ala berfirman.

Maksudnya: “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka…” (Ibrahim ; 4)” (Dari kaset Ajwibah ‘ala As’ilah Manhajiyah bertarikh 9 Syawal 1419H)

(Pembahasan ini banyak menukil dari kitab Thariq Ila Jama’atil umm oleh Syaikh Utsman Abdussalam Nuh)
(Disalin dari Majalah Al-Furqan Edisi 06 Tahun VI/Muharram 1428H (Februari 2007), Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqan, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqan, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153)

__________
Nota Kaki:
  1. Di akhir nukilan disebutkan keterangan tentang Ahmad Sallam, iaitu bahawa dia adalah seorang penulis yang banyak menuangkan pandangan tentang dakwah dan manhaj berdasarkan tariqah (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan dia adalah penulis (?!) di majalah Al-Asholah, Urdun (Jordan) (yang diterbitkan oleh Syaikh Muhammad Musa Alu Nasr, Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi dan yang lainnya, pen). Keterangan majalah (As-Silmi) tersebut tentang Ahmad Sallam ini adalah keterangan yang keliru, kerana yang benar dia adalah seorang Haraki yang banyak mencela para ulama Salafiyyin, memuji kelompok Ikhwanul Muslimin, membela para tokoh bid’ah seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutub dan Adnan Ar’ur, serta menganut manhaj Muwazanah yang bid’ah. Ahmad Sallam ini dikatakan oleh Syaikh Ubaid Al-Jabiri hafizahullahu sebagai orang Qutubi, dan Ahmas Sallam ini telah ditahzir dan dijelaskan kesalahannya oleh banyak ulama seperti Syaikh Muhammad bin Soleh Al-Utsaimin, Syaikh Soleh Al-Luhaidan, Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, dan yang lainnya. Lihat kaset Kasyfu Litsam an Mukhalafati Ahmad Sallam kumpulan dari jawapan para Syaikh dan kitab Tahdzirul Anam min Akhta’i Ahmad Sallam oleh Abu Nur bin Hasan bin Muhammad Al-Kurdi dengan kata pengantar Syaikh Ubaid Al-Jabiri. 
  2. Penerbit buku Membongkar Kedok Salafiyun Sempalan yang penuh dengan celaan dan kedustaan terhadap manhaj Salaf dan para ulama Salafiyyin. Lihat bantahan terhadap buku ini dalam majalah Al-Furqan Th 6 Edisi 5 Dzulhijjah 1427H 
  3. Adapun para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah telah sepakat bahawa barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah dari undang-undang buatan manusia dan hukum-hukum jahiliah, dengan mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Allah, atau berpendapat bahawasanya hukum Allah tidak relevan dengan zaman sekarang, atau berpendapat sama saja berhukum dengan hukum Allah atau dengan yang lainnya, maka orang ini keluar dari Islam secara keseluruhan. Demikian juga para ulama Ahli Sunnah sepakat bahawa siapa sahaja yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan tidak megingkarinya, maka dia belum sampai kepada kekufuran yang mengeluarkannya dari Islam (Lihat Fiqh Siyasah Syar’iyyah hal. 86). Kesepakatan ulama Ahli Sunnah ini tidak diterima oleh para Harakiyyin, mereka tetap berkeras pada pendirian mereka dan menghukumi orang yang mengikuti perincian hukum di atas sebagai orang-orang Murji’ah seperti yang tercantum dalam Majalah Haraki An-Najah Surakarta Edisi 12/Th I Rajab 1427H / Ogos 2006. Tentang bantahan kepada mereka dalam masalah ini lihat pembahasan Tafsir Ibnu Abbas terhadap “Ayat Hukum” dalam Majalah Al-Furqan Th. 6 Edisi 5 Dzul-Hijjah 1427H bahagian Manhaj. 
  4. Dengan tanzim sirri (jaringan rahsia). Lihat pembahasan Tanzim Sirri dalam Majalah Al-Furqan Thn 5 Edisi 10 bahagian Manhaj 
  5. Dengan membentuk parti sebagai sarana merebut kekuasaan. Dua langkah inilah yang ditempuh oleh seorang tokoh haraki yang paling masyhur iaitu Hasan Al-Banna, dia menyusun gerakan rahsia yang bernama Jaringan Khusus pada tahun 1940M dan pada tahun 1942M dia membawa kelompok Ikhwanul Muslimin untuk ikut pilihan raya Mesir. Mahmud Ash-Shobbagh seorang tokoh Ikhwanul Muslimin dalam kitabnya Tanzhim Khash, menyebutkan bahawa di antara tugas Jaringan Khusus adalah melakukan pengeboman dan pembunuhan dalam rangka penggulingan kekuasaan. Ternyata dua langkah yang ditempuh oleh Hasan Al-Banna ini diikuti oleh para haraki di seluruh dunia, termasuk Indonesia. 
  6. Inilah jalan yang ditempuh oleh Salafiyyun dari zaman ke zaman, seperti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di Jazirah Arabia yang –dengan izin Allah- menghasilkan sebuah negeri yang berlandaskan kepada hukum Allah iaitu Daulah Su’udiyyah. Lihat pembahasan Dakwah Salafiyyah dan Daulah Su’udiyyah dalam majalah Al-Furqan Thn 5 Edisi 9 bahagian manhaj.

Disunting semula oleh: Abu Soleh

Selasa, 12 Oktober 2010

Penjelasan Ibnu Rajab Tentang Sifat-Sifat Allah

Ibnu Rajab Al-Hanbali Rahimahullah berkata :

ومن ذلك أعني محدثات الأمور ما أحدثه المعتزلة ومن حذا حذوهم من الكلام في ذات الله تعالى وصفاته بأدلة العقول وهو أشد خطراً من الكلام في القدر لأن الكلام في القدر كلام في أفعاله وهذا كلام في ذاته وصفاته.
 وينقسم هؤلاء إلى قسمين أحدهما من نفى كثيراً مما ورد به الكتاب والسنة من ذلك لاستلزامه عنده للتشبيه بالمخلوقين كقول المعتزلة لو رؤي لكان جسما لأنه لا يرى إلا في جهة: وقولهم لو كان له كلام يسمع لكان جسما ووافقهم من نفى الاستواء فنفوه لهذه الشبهة: وهذا طريق المعتزلة والجهمية وقد اتفق السلف على تبديعهم وتضليلهم وقد سلك سبيلهم في بعض الأمور كثير ممن انتسب إلى السنة والحديث من المتأخرين.
والثاني من رام إثبات ذلك بأدلة العقول التي لم يرد بها الأثر ورد على أولئك مقالتهم كما هي طريقة مقاتل بن سليمان ومن تابعه كنوح بن أبي مريم وتابعهم طائفة من المحدثين قديماً وحديثاً. وهو أيضاً مسلك الكرامية فمنهم من أثبت لإثبات هذه الصفات الجسم إما لفظا وإما معنى. ومنهم من أثبت للَّه صفات لم يأت بها الكتاب والسنة كالحركة وغير ذلك مما هي عنده لازم الصفات الثابتة.
وقد أنكر السلف على مقاتل قوله في رده على جهم بأدلة العقل وبالغوا في الطعن عليه. ومنهم من استحل قتله، منهم مكي بن إبراهيم شيخ البخاري وغيره. والصواب ما عليه السلف الصالح من إمرار آيات الصفات وأحاديثها كما جاءت من غير تفسير لها ولا تكييف ولا تمثيل: ولا يصح من أحد منهم خلاف ذلك البتة خصوصاً الإمام أحمد ولا خوض في معانيها ولا ضرب مثل من الأمثال لها : وإن كان بعض من كان قريباً من زمن الإمام أحمد فيهم من فعل شيئاً من ذلك اتباعاً لطريقة مقاتل فلا يقتدى به في ذلك إنما الإقتداء بأئمة الإسلام كابن المبارك. ومالك. والثوري والأوزاعي. والشافعي. وأحمد. واسحق. وأبي عبيد. ونحوهم
وكل هؤلاء لا يوجد في كلامهم شيء من جنس كلام المتكلمين فضلا عن كلام الفلاسفة: ولم يدخل ذلك في كلام من سلم من قدح وجرح وقد قال أبوزرعة الرازي كل من كان عنده علم فلم يصن علمه واحتاج في نشره إلى شيء من الكلام فلستم منه.

Maksudnya: “Dan di antara perkara-perkara baru yang muncul adalah golongan Mu’tazilah dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dalam pembicaraan mengenai Zat dan Sifat-Sifat Allah ta’ala dengan berlandaskan akal fikiran semata. Masalah ini jauh lebih besar bahayanya daripada pembicaraan mengenai qadar. Hal itu disebabkan kerana pembicaraan masalah qadar hanya berkaitan pada perbuatan Allah. Adapun masalah ini, pembicaraan menyenai Zat dan Sifat-Sifat-Nya ta’ala.

Orang-orang yang membahaskan masalah Zat dan Sifat Allah dengan berlandaskan akal semata ini terbagi menjadi dua golongan :

Pertama; Golongan yang banyak menafikan apa-apa yang datang dari Al-Kitab (Al-Quran) dan As-Sunnah tentang Zat dan Sifat Allah ta’ala, kerana mereka menganggap bahawa penetapan sifat-sifat tersebut kepada Allah akan menimbulkan penyerupaan kepada makhluk-makhluk-Nya. Hal ini seperti perkataan Mu’tazilah bahawa bila Allah dapat dilihat, tentu Dia adalah jism (benda). Sebab, Dia tidaklah dapat dilihat kecuali dalam satu ruang. Perkataan mereka yang lain : Apabila Allah mempunyai Kalam (berkata-kata) yang dapat didengar, tentu Dia adalah jism (benda). Dan juga mereka menafikan akan istiwaa’ Allah juga akibat dari syubhat ini.

Ini adalah jalan yang ditempuh oleh Mu’tazilah dan Jahmiyyah. Para ulama salaf telah sepakat tentang kebid’ahan dan kesesatan mereka. Namun sungguh banyak orang muta’akhirin yang menempuh jalan mereka pada sebahagian perkara dari kalangan yang menisbatkan diri pada As-Sunnah dan Al-Hadis.

Kedua; Golongan yang cenderung terhadap penetapan Zat dan Sifat Allah dengan dasar akal semata yang tidak terdapat dalam atsar. Telah datang perkataan-perkataan mereka yang membantah golongan yang pertama sebagaimana yang dilakukan oleh Muqatil bin Sulaiman dan pengikut-pengikutnya seperti Nuh bin Abi Maryam; yang kemudian diikuti oleh (sebahagian) kalangan Muhaddissin dulu dan sekarang. Jalan ini pulalah yang ditempuh golongan Karamiyyah. Di antara mereka (golongan Karamiyyah) ada yang menetapkan sifat jisim bagi Zat Allah secara lafaz atau makna. Dan di antara mereka pula ada yang menetapkan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti sifat “al-harakah” (bergerak) dan yang seumpamanya menurut anggapan mereka merupakan sifat-sifat yang tidak boleh dipisahkan dari sifat-sifat yang tsabit.

Para ulama salaf telah mengingkari dan mengecam tindakan Muqatil saat ia membantah Jahmiyyah dengan dasar akal semata. Di antara para ulama salaf bahkan sampai ada yang menghalalkannya untuk dibunuh, seperti Makki bin Ibrahim yang merupakan guru Imam Al-Bukhari; dan selainnya.

Adalah yang benar dalam permasalahan ini ialah apa yang telah dipegang oleh As-Salafus-Soleh, iaitu memperlakukan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis tentang Sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa mentafsirkannya (tafsir dengan maksud mentakwil iaitu mengubah makna lafaz yang sebenar), menanyakan bagaimananya (takyif), atau menyerupakannya dengan makhluk-Nya (tamtsil). Tidak dinukil perselisihan diantara mereka dalam masalah ini, khususnya dari Al-Imam Ahmad. Dan golongan salaf tidak berlebih-lebihan dalam memahami makna sifat-sifat tersebut dan tidak pula membuat permisalan baginya.

Walaupun ada sebahagian ulama yang hidup dekat dengan zaman Imam Ahmad mengikuti jalan yang ditempuh oleh Muqatil, akan tetapi perbuatan mereka tidak dapat dijadikan landasan. Sebab, contoh yang dapat dijadikan ikutan hanyalah para imam besar seperti Ibnu Mubarak, Malik (bin Anas), Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq (bin Rahawaih), Abu ‘Ubaid, dan yang seumpama dengan mereka.

Seluruh perkataan para imam tersebut tidak sama dengan perkataan ahli kalam dan juga para filosof. Abu Zur’ah Ar-Razi telah berkata : “Setiap orang yang memiliki ilmu yang tidak membenteng ilmunya (dari ilmu kalam dan falsafah), malah menggunakan ilmu kalam dan falsafah itu untuk menyebarkan ilmunya, maka janganlah kamu masuk ke dalam golongannya”. (Rujuk: Fadhlu Ilmi As-Salaf ‘ala Al-Khalaf, ms 3-4)

Isnin, 11 Oktober 2010

Mencari Ilmu Dan Kesabaran

Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

الطلب لقاح الإيمان، فإذا اجتمع الإيمان والطلب أثمرا العمل الصالح‏.‏

Mencari ilmu adalah benih keimanan. Jika keimanan bertemu dengan pencarian ilmu tadi maka akan membuahkan amalan soleh.

وحسن الظن بالله لقاح الافتقار والاضطرار إليه، فإذا اجتمعا أثمرا إجابة الدعاء‏.‏ 

Berbaik sangka kepada Allah Ta’ala adalah benih perasaan perlu kepada-Nya. Jika keduanya bertemu akan membuahkan terkabulnya doa.

والخشية لقاح المحبة ، فإذا اجتمعا أثمرا امتثال الأوامر واجتناب المناهي‏.‏ والصبر لقاح اليقين، فإذا اجتمعا أورثا الإمامة في الدين

Rasa takut adalah benih kecintaan. Jika keduanya bertemu akan mewariskan kepemimpinan dalam agama.

قال تعالى

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ


Allah Ta’ala berfirman:

Maksudnya: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)

 وصحة الاقتداء بالرسول لقاح الإخلاص، فإذا اجتمعا أثمرا قبول العمل والاعتداد به ‏.‏

Benarnya sikap mencontohi Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam merupakan benih keikhlasan. Jika keduanya bertemu akan membuahkan diterima dan diperhitungkannya amalan.

والعمل لقاح العلم، فإذا اجتمعا كان الفلاح والسعادة ، وإن انفرد أحدهما عن الآخر لم يفد شيئا‏.‏ 

Amal adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka akan wujud kemenangan dan kebahagiaan. Jika terpisah satu dengan yang lainnya tidak akan memberi manfaat apa-apa.

والحلم لقاح العلم، فإذا اجتمعا حصلت سيادة الدنيا والآخرة وحصل الانتفاع بعلم العالم ، وإن انفرد أحدهما عن صاحبه فات النفع والانتفاع ‏.

Kelembutan adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka akan meraih kepemimpinan di dunia dan di akhirat, dan akan wujud kemanfaatan ilmu dari seorang yang ‘alim. Jika salah satu terpisah dari yang lainnya maka akan hilang manfaat dan kemanfaatan ilmu tersebut.

والعزيمة لقاح البصيرة ، فإذا اجتمعا نال صاحبهما خير الدنيا والآخرة وبلغت به همته من العلياء كل مكان، فتخلف الكمالات إما من عدم البصيرة وإما من عدم العزيمة ‏.‏ 

Kesungguhan adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka pemiliknya akan meraih kebaikan dunia dan akhirat, dan akan mencapai puncak tertinggi dari setiap posisi yang mulia. Maka tertinggalnya seseorang dari kesempurnaan-kesempurnaan tadi boleh jadi kerana tidak adanya ilmu, boleh jadi pula kerana tidak adanya kesungguhan.

وحسن القصد لقاح لصحة الذهن ، فإذا فقدا فقد الخير كله، وإذا اجتمعا أثمرا أنواع الخيرات ‏.‏ 

Niat yang baik merupakan benih sihatnya akal. Jika tidak ada niat yang baik maka hilang seluruh kebaikan. Jika keduanya (niat yang baik dan akal yang sihat) bertemu maka akan meraih kemenangan dan bahagian yang banyak.


وصحة الرأي لقاح الشجاعة، فإذا اجتمعا كان النصر والظفر ، وإن فقدا فالخذلان والخيبة، وإن وجد الرأي بلا شجاعة فالجبن والعجز، وإن حصلت الشجاعة بلا رأي فالتهور والعطب ، والصبر لقاح البصيرة ، فإذا اجتمعا فالخير في اجتماعهما‏.

Jika didapati suatu kecerdasan tanpa adanya keberanian, maka hal itu merupakan sifat penakut dan kelemahan. Jika ada keberanian tanpa didokong dengan kecerdasan maka yang ada kekacauan dan kerosakan. Kesabaran adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka seluruh kebaikan ada pada pertemuan keduanya.

قال الحسن‏: إذا شئت أن نرى بصيرا لا صبر له رأيته، وإذا شئت أن ترى صابرا لا بصيرة له رأيته، فإذا رأيت صابرا بصيرا فذاك

Al-Hasan Al-Basri (rahimahullah) berkata: “Jika engkau ingin melihat orang yang berilmu tetapi tidak mempunyai kesabaran maka lihatlah dia. Dan jika engkau ingin melihat orang yang sabar tetapi tidak mempunyai ilmu maka lihatlah dia. Dan jika engkau melihat orang yang sabar dan berilmu, maka itulah orang yang berbahagia.”

والنصيحة لقاح العقل، فكلما قويت النصيحة قوى العقل واستنار‏.

Nasihat adalah benih bagi akal. Semakin kuat nasihat maka akal semakin kuat dan bercahaya.

والتذكر والتفكر كل منهما لقاح الآخر، إذا اجتمعا أنتجا الزهد في الدنيا والرغبة في الآخرة‏.‏ والتقوى لقاح التوكل ، فإذا اجتمعا استقام القلب ‏.‏.

Mengingat dan berfikir keduanya merupakan benih bagi yang lainnya. Jika keduanya bertemu maka akan melahirkan sikap zuhud terhadap dunia dan kecintaan kepada akhirat. Ketakwaan adalah benih tawakkal. Jika keduanya bertemu maka hati akan menjadi istiqamah.

ولقاح أخذ أهبة الاستعداد للقاء قصر الأمل، فإذا اجتمعا فالخير كله في اجتماعهما والشر في فرقتهما‏.

Mengambil (memanfaatkan) kurnia adalah persiapan untuk bertemu dengan istana yang diangankan. Jika keduanya bertemu maka seluruh kebaikan ada pada pertemuan keduanya, serta keburukan ada pada perpisahan keduanya.

ولقاح الهمة العالية النية الصحيحة ، فإذا اجتمعا بلغ العبد غاية المراد‏.‏ 

Benih dari ketinggian cita-cita adalah niat yang benar. Jika keduanya bertemu seorang hamba akan tercapai puncak keinginannya.

الفوائد_الإمام شمس الدين أبي عبد الله بن قيم الجوزية
[Al-Fawaid, Al-Imam Syamsuddin Abi Abdullah bin Qayyim Al-Jauziyah] 

Sabtu, 9 Oktober 2010

Hukum Mentaati Pemerintah Yang Tidak Berhukum Dengan Al-Kitab Dan As-Sunnah

Pertanyaan: Fadhilatus Syeikh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum mentaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah sallallaahu ‘alaihi wa sallam?

Beliau menjawab: “Pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka disebabkan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau dia telah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.

Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kepada darjat kekufuran dengan dua syarat:

  1. Dia mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir kerana penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.
  2. Motivasi dia berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahawa hukum Allah sudah tidak sesuai lagi dengan zaman ini dan hukum yang lain lebih sesuai dan lebih bermanfaat bagi para hamba.

Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ

Maksudnya: “Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya, dia tidak berhak untuk ditaati oleh rakyat, serta wajib diperangi dan dilucutkan dari kekuasaan.

Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah, namun dia tetap yakin bahawa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya kerana hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zalim, dan kekuasaannya tetap sah.

Mentaatinya (selagi mana) dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilucutkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya. Sebab Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melarang memberontak terhadap pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran yang nyata dimana kita mempunyai alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)

Tambahan: 

Syeikh Muqbil bin Hadi rahimahullah juga menjelaskan: “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat: Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahawa hukum tersebut bukan hukum Allah. Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baik atau bahkan lebih baik dari hukum Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, ms. 82)

Penjelasan lanjut, sila semak semula artikel-artikel sebelum ini:

Rabu, 8 September 2010

Ucapan Tahniah (Selamat) Pada Hari Raya

بسم الله الرحمن الرحيم
التهنئة يوم العيد

لا أعرف في ذلك شيئا عن السلف إلا أن يكون مبادلة للتهنئة بالتهنئة. وكان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يتبادلون التهاني يأخذ بعضهم بيد بعض ويهني بعضهم بعضا. وقد ذكر ذلك ابن قدامة في المغني 3/294-295 :

"قال أحمد‏,‏ -رحمه الله-‏:‏ ولا بأس أن يقول الرجل للرجل ‏:‏ يوم العيد‏:‏ تقبل الله منا ومنك, وقال حرب‏:‏ سئل أحمد عن قول الناس في العيدين تقبل الله منا ومنكم قال‏:‏ لا بأس به, يرويه أهل الشام عن أبي أمامة قيل‏:‏ واثلة بن الأسقع‏؟‏ قال‏:‏ نعم, قيل‏:‏ فلا تكره أن يقال هذا يوم العيد قال‏:‏ لا, وذكر ابن عقيل في تهنئة العيد أحاديث منها‏,‏ أن محمد بن زياد قال‏:‏ كنت مع أبي أمامة الباهلى وغيره من أصحاب النبي - صلى الله عليه وسلم- فكانوا إذا رجعوا من العيد يقول بعضهم لبعض تقبل الله منا ومنك, وقال أحمد‏:‏ إسناد حديث أبي أمامة إسناد جيد وقال علي بن ثابت‏:‏ سألت مالك بن أنس منذ خمس وثلاثين سنة وقال‏:‏ لم نزل نعرف هذا بالمدينة, وروي عن أحمد أنه قال‏:‏ لا أبتدى به أحدا‏,‏ وإن قاله أحد رددته عليه"‏.‏

وبالله التوفيق

أملى هذه الفتوى
فضيلة الشيخ أحمد بن يحيى النجمي

_____________________________________________________________


Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Pengasihani
Ucapan Selamat Pada Hari Raya

“Saya tidak mengetahui tentang perkara tersebut dari kalangan salaf sedikitpun selain dalam rangka saling mengucapkan tahniah (selamat). Dahulu para Sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam saling mengucapkan selamat. Sebahagian mereka mengambil tangan sebahagian lainnya dan saling mengucapkan selamat. Ibnu Qudamah menyebutkan perkara tersebut dalam Al-Mughni 3/294-295:

“Ahmad rahimahullah berkata: “Tidak mengapa seseorang mengucapkan taqabbalallahu minna waminkum terhadap saudaranya pada hari raya”.

Harb berkata: Ahmad pernah ditanya tentang ucapan manusia taqabbalallahu minna waminkum pada dua hari raya. Dia menjawab: “Tidak mengapa. Salah seorang penduduk Syam meriwayatkan dari Abu Umamah Al-Bahili”.

Ditanyakan: (Apakah) Watsilah bin Al-Asqa’? Ahmad menjawab: “Ya”. Ditanyakan: Apakah anda tidak memakruhkan ucapan ini diucapkan pada hari raya? Ahmad menjawab: “Tidak”.

Ibnu ‘Aqil menyebutkan beberapa hadis tentang ucapan selamat pada hari raya, diantaranya adalah bahawa Muhammad bin Ziyad berkata: Saya pernah bersama Abu Umamah Al-Bahili dan selainnya dari Sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wasalla, dahulu apabila mereka kembali dari berhari raya, mereka saling mengucapkan taqabbalallahu minna waminka.

Ahmad berkata: “Isnad hadis Abu Umamah adalah isnad yang baik.

Ali bin Tsabit berkata: “Saya bertanya kepada Malik bin Anas sejak 35 tahun yang lalu dan dia menjawab: “Kami selalu mengetahui perkara ini di Madinah”.

Dan diriwayatkan dari Ahmad bahawa dia berkata: “Saya tidak memulakan untuk mengucapkannya kepada seseorang pun, tetapi jika ada seseorang mengucapkannya, maka aku membalas dengan balasan yang serupa”. (Selesai.)

Wabillahit-taufiq.

Yang mendikte fatwa ini: Yang mulia Syeikh Ahmad bin Yahya An-Najmi (09 Syawal 1428 H)
Diterjemahkan oleh: Abu Abdillah Muhammad Yahya (09 Syawal 1428 H/20 Oktober 2007)

[Tambahan]: Taqabbalallahu Minna Wa Minkum (تقبل الله منا ومنكم);
Maksudnya: "Semoga Allah menerima dari (amalan) kami dan kamu."

Disunting semula bahasa oleh: Abu Soleh Mohd Safwan 

Sabtu, 14 Ogos 2010

MENYINGKAP SYUBHAT SEPUTAR TARAWIH

Penulis: Abu Utsman Kharisman

Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah Subhaanahu Wa Ta’ala yang menjadikan Ramadhan sebagai bulan penuh keberkahan, keampunan, kerahmatan, dan kebaikan. Semoga selawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada teladan mulia, Rasulullah Muhammad sallallaahu ‘alaihi wasallam yang telah mensunnahkan Qiyam Ramadhan dan amalan-amalan ibadah lain yang penuh dengan kemaslahatan dan keberkatan.

Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada kita semua…

Salah satu upaya penentang dakwah Ahlussunnah untuk menjauhkan umat dari dakwah yang mulia ini adalah dengan menjauhkan mereka dari para Ulama’ yang sesungguhnya. Penentang dakwah Ahlussunnah tersebut menyematkan gelaran-gelaran dan penamaan yang aneh dan buruk terhadap orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah, kukuh di dalam meniti jejak Salafus Soleh (Atau lebih dikenali dengan panggilan Salafi - edt).

Penyebutan ‘wahabi’ contohnya, adalah penyebutan yang salah dari sisi bahasa mahupun makna. Gelaran wahabi disematkan pada orang-orang yang selama ini kukuh di atas Sunnah Nabi untuk memberi kesan bahwa mereka adalah orang-orang yang hanya fanatik dan taqlid buta terhadap Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab. (untuk mengetahui lebih jauh tentang penisbatan nama Wahabi dan tujuan di sebaliknya, silalah membaca lebih lanjut artikel yang ditulis al-Ustadz Ruwaifi’ berjudul: ‘Siapakah Wahhabi?’)

Para Ulama’ Ahlussunnah seperti Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syeikh Muhammad bin Soleh al-‘Utsaimin, Syeikh Soleh al-Fauzan, dan para Ulama’ lain yang semanhaj dengan mereka dianggap sebagai Wahabi. InsyaAllah pada tulisan yang lain akan dijelaskan sisi-sisi lain kesalahan penisbatan nama Wahabi tersebut kepada Ahlussunnah.

Terdapat suatu tulisan pada blog penentang dakwah Ahlussunnah yang berjudul: Fitnah dan Bid’ah Wahaby (Salafy Palsu) di Bulan Ramadhan (1). Tulisan itu menerangkan jumlah rakaat tarawih dan menganggap bahawa Ulama’Ahlussunnah (yang mereka sebut sebagai Wahabi) telah mengada-adakan dan membatasi jumlah rakaat tarawih hanyalah 8. Pada tulisan ini insya-Allah akan disingkap kedustaan tuduhan tersebut serta syubhat-syubhat yang berkaitan dengan solat tarawih. Hanya kepada Allahlah sepatutnya kita bertawakkal, tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.

Syubhat Pertama: Wahaby Membatasi Jumlah Rokaat Tarawih Hanya 8

Disebutkan dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah:
“Diantara Fitnah wahhabi dibulan Ramadhan:
1. Wahabi mensyariatkan Solat Sunnah Tarawih 8 rakaat, padahal tidak ada satu pun Imam Mazhab Sunni yang mensyariatkan “

Bantahan:

Jika yang dimaksudkan dengan istilah Wahabi (padahal istilah tersebut salah secara nama, makna, dan penisbatan) oleh mereka adalah para Ulama’ Ahlussunnah seperti yang terhimpun dalam al-Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia (yang pada saat itu dipimpin oleh Syeikh bin Baz), atau Ulama’ Ahlussunnah lain seperti Syeikh Muhammad bin Soleh al-‘Utsaimin, maka itu adalah justeru tuduhan tanpa dasar.

Para Ulama’ Ahlussunnah tersebut tidaklah memberikan batasan jumlah rakaat pada solat tarawih dan witir yang biasa dilakukan pada bulan Ramadhan.

Kita boleh menyemak Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah:

صلاة التراويح إحدى عشرة أو ثلاث عشرة ركعة، يسلم من كل ثنتين ويوتر بواحدة أفضل، تأسيا بالنبي صلى الله عليه وسلم، ومن صلاها عشرين أو أكثر فلا بأس، لقول النبي صلى الله عليه وسلم « صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى » متفق عليه فلم يحدد صلاة الله وسلامه عليه ركعات محدودة ولأن عمر رضي الله عنه والصحابة رضي الله عنهم صلوها في بعض الليالي عشرين سوى الوتر، وهم أعلم الناس بالسنة

“Solat tarawih (ditambah witir) sebelas atau tiga belas rakaat, salam pada tiap dua rakaat dan witir dengan satu rakaat adalah paling utama, sebagai bentuk mencontoh Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam. Barangsiapa yang solat 20 rakaat atau lebih, maka tidak mengapa, berdasarkan sabda Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam: “Solat malam itu dua-dua rakaat, jika salah seorang dari kamu bimbang masuknya Subuh, maka hendaknya dia solat 1 rakaat yang merupakan witir terhadap solat-solat sebelumnya” (Muttafaqun ‘alaih).

Maka Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah membatasi jumlah rakaat (tarawih dan witir) dengan batasan tertentu. Dan kerana Umar –semoga Allah meridhainya- dan para Sahabat –semoga Allah meridhai mereka sekalian- solat pada sebahagian malam 20 rakaat selain witir, padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang Sunnah.” (Fatwa yang merupakan jawapan dari pertanyaan no: 6148).

Nas-nas Al-Qur’an atau pun as-Sunnah tidak ada yang menyebutkan istilah tarawih secara khusus. Dalam hadis hanya disebutkan sebagai istilah: ‘Qiyam Ramadhan’ atau Qiyamullail pada selain bulan Ramadan.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang Qiyamullail (bangun malam) pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan, maka diampunikan dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun ‘alaih).

Istilah tarawih adalah istilah dari para Ulama’ untuk mengisyaratkan solat malam yang biasa dilakukan berjamaah pada bulan Ramadhan. Disebut sebagai tarawih kerana biasanya ia dilakukan dalam waktu yang cukup lama, sehingga memerlukan waktu rehat sebentar (تَرْوِيْحَة) pada setiap 2 kali salam (Lihat Lisanul ‘Arab (2/462), Fathul Baari (4/294), dan Syarh Sahih Muslim lin Nawawi (6/39)).

Dalam hal jumlah rakaat tarawih dan witir ini ada 2 kelompok yang keliru. Kelompok pertama, membatasi hanya 11 rakaat dan membid’ahkan kaum muslimin yang solat lebih dari 11 rakaat. Sebaliknya, kelompok kedua adalah yang mengingkari kaum muslimin yang solat hanya dengan 11 rakaat, dan mengatakan bahawa mereka telah menyelisihi ijma’.

Syeikh Muhammad bin Soleh al-‘Utsaimin menyatakan:

“Dalam hal ini kita katakan: Tidak boleh bagi kita bersikap ghuluw (melampaui batas) dan meremehkan. Sebahagian manusia yang berlebihan dalam berpegang teguh dengan as-Sunnah dalam perkara tentang jumlah rakaat. Dia berkata: Tidak boleh menambah jumlah (rakaat) yang telah tersebut dalam As-Sunnah. Dan dia mengingkari dengan pengingkaran yang keras orang-orang yang menambahi jumlah rakaat tersebut dan berkata: Sesungguhnya itu adalah dosa dan maksiat.

Yang demikian ini, tidak diragukan lagi adalah kesalahan. Bagaimana boleh dikatakan berdosa dan bermaksiat? Padahal Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang solat malam, baginda bersabda: “(Solat malam) Dua rakaat-dua rakaat, dan baginda tidaklah membatasi jumlah tersebut. Telah dimaklumi bahawa orang yang bertanya kepada baginda tentang solat malam tidaklah mengetahui jumlah rakaatnya kerana seseorang yang tidak mengetahui tentang tatacaranya, maka tentu lebih tidak tahu tentang jumlah rakaatnya. Orang yang bertanya tersebut juga bukan pembantu Nabi sehingga kita katakan: ‘sesungguhnya dia tahu apa yang terjadi di rumah baginda’. Maka jika Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kepadanya tentang tatacara solat tanpa membatasi jumlah rakaat tertentu, bererti dapat diketahui bahawa dalam masalah ini terdapat keluasan. Tidak mengapa bagi seseorang untuk solat 100 rakaat dan witir dengan 1 rakaat.

Adapun sabda Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam: “Solatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku solat”. Ini bukanlah pada keumumannya, sekalipun terhadap mereka kerana itu mereka tidak mewajibkan manusia untuk witir sekaligus dengan 5 rakaat, sekaligus dengan 7 rakaat, atau sekaligus 9 rakaat. Kalau kita mengambil keumuman tersebut nescaya kita akan berkata: Wajib berwitir dengan 5 rakaat sekali (satu salam), 7 rakaat sekali, atau 9 rakaat sekali secara terus. Sesungguhnya yang dimaksud adalah: Solatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku solat dalam tatacara (kaifiat). Adapun dalam hal jumlah rakaat tidak, kecuali ada nas yang menunjukkan batasannya.

Yang penting, sepatutnya seseorang tidak bersikap keras pada manusia dalam hal yang ada keluasan. Sampai-sampai kita melihat sebahagian saudara kita yang bersikap keras dalam masalah ini dan membid’ahkan para Imam yang menambah lebih dari 11 rakaat, sehingga mereka keluar dari masjid, dan luputlah dari mereka pahala yang besar, yang disabdakan Rasul sallallaahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang solat bersama Imam sampai Imam tersebut berpaling (selesai), maka tercatat baginya melakukan Qiamullail satu malam penuh.” (Riwayat at-Tirmizi). Kadang-kadang mereka duduk (dalam saf) apabila telah selesai solat 10 rakaat, sehingga mengakibatkan terputusnya saf dengan duduknya mereka. Kadang-kadang mereka berbincang-bincang satu sama lain, sehingga mengganggu orang lain yang sedang solat. Dan kita tidak meragui bahawa mereka menginginkan kebaikan, dan mereka berijtihad, akan tetapi tidak setiap orang yang berijtihad benar.

Kelompok kedua: Kebalikan dari itu (kelompok pertama). Mereka mengingkari orang-orang yang hanya solat 11 rakaat dengan pengingkaran yang besar. Mereka berkata: ‘orang-orang itu telah keluar dari ijma’, padahal Allah berfirman (maksudnya): "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. Semua orang sebelummu tidak mengetahui (jumlah rakaat tarawih) kecuali 20 rakaat, kemudian bersikap keras dalam masalah ini. Dan ini juga salah." (Syarhul Mumti’ (4/73-75).

Syubhat kedua: Nabi Sholat Berjamaah Tarawih 8 Rokaat Kemudian Para Sahabat Menyempurnakan (Tambahan) di Rumah-rumah Mereka

Blog penentang dakwah Ahlussunnah tersebut menyebutkan hadis:

أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ مِن جَوْفِ اللَّيلِ لَيَالِي مِن رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّقَةٌ: لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ، وَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ، وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيهَا، وَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، وَيُكَمِّلُونَ بَاقِيهَا فِي بُيُوتِهمْ
“Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم keluar untuk solat malam di bulan Ramadhan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk solat bersama umat di masjid. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم solat bersama mereka sebanyak lapan rakaat, dan kemudian mereka menyempurnakan baki solatnya di rumah masing-masing."

Bantahan:

Dalam nukilan hadis yang ditulis dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah tersebut terdapat kalimah:

وَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، وَيُكَمِّلُونَ بَاقِيهَا فِي بُيُوتِهمْ

“Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam solat bersama mereka 8 rakaat, kemudian mereka menyempurnakan bakinya di rumah mereka.”

Pada catatan kaki (nombor 8), dikatakan bahawa hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Padahal, jika kita semak dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim, tidak ada lafaz seperti itu. Ini adalah kesalahan yang menunjukkan kelemahan mereka dalam ilmu hadis.

Sebenarnya dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Dari ‘Aisyah: Sesungguhnya Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam solat di masjid pada suatu malam, kemudian sekelompok manusia bersolat bersama baginda. Kemudian solat pada malam berikutnya, sehingga ramainya manusia. Kemudian pada malam ketiga dan keempat manusia berkumpul, tetapi Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam tidak keluar menuju mereka. Ketika pagi hari baginda bersabda: Aku telah melihat apa yang kamu lakukan. ‘Tidaklah ada yang mencegahku untuk keluar menuju kamu kecuali aku bimbang (solat malam) diwajibkan bagi kamu’. (Perawi berkata): Yang demikian itu terjadi pada bulan Ramadhan. (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Dalam masalah perbuatan, riwayat yang menunjukkan jumlah rakaat solat malam Nabi adalah 11 rakaat, dan ada juga riwayat yang menyatakan 13 rakaat.

Riwayat yang menunjukkan 11 rakaat adalah keadaan yang paling sering baginda lakukan:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

Dari Abu Salamah bin Abdirrahman mengkhabarkan bahawa dia bertanya kepada ‘Aisyah radiallaahu‘anha tentang bagaimana solat Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan. ‘Aisyah berkata: Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah menambah pada bulan Ramadhan mahupun pada bulan lainnya lebih dari 11 rakaat.“ (Muttafaqun ‘alaih).

Riwayat yang menunjukkan 13 rakaat:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ يُصَلِّي إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ بِالصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

Dari ‘Aisyah radiallaahu‘anha beliau berkata: “Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam solat malam 13 rakaat, kemudian solat dua rakaat ringan setelah mendengar azan Subuh” (Hadis riwayat al-Bukhari).

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyatakan bahawa kedua riwayat itu tidak bertentangan kerana boleh jadi (pada riwayat yang 13 rakaat) adalah termasuk solat Sunnah ba’da isya’, atau boleh juga yang dimaksudkan adalah tambahan 2 rakaat yang ringan dilakukan. (Lihat Fathul Baari juz 4 halaman 123).

Sedangkan dalam masalah ucapan, baginda hanya menyatakan bahawa solat malam itu dua rakaat-dua rakaat tanpa membatasi jumlah rakaat tertentu sebagaimana hadis Mutafaqun ‘alaih (Disepakati oleh Bukhari dan Muslim - edt).

Syubhat ketiga: Ada riwayat khusus dari Ibnu Abbas yang menunjukkan bahawa Nabi sendiri pernah solat pada bulan Ramadan 20 rakaat tambah witir

Dalil yang digunakan adalah hadis:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ جَمَاعَةٍ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ
Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam solat pada bulan Ramadhan dengan tidak berjamaah 20 rakaat dan witir

Bantahan:

Hadis tersebut lemah (dha'if) kerana ada perawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman, demikian dinyatakan oleh al-Baihaqi (Lihat Talkhis al-Habir karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani juz 2 halaman 21 dan Nailul Authar karya Asy-Syaukani juz 3 halaman 64).

Syubhat keempat: Jumlah rakaat 11 berdasarkan hadis ‘Aisyah tidak boleh diamalkan kerana menyelisihi perintah Umar. Sedangkan Umar lebih tahu dari ‘Aisyah.

Disebutkan dalam blog penentang Ahlussunnah:

“Dalam perbahasan Solat Tarawih ini, jika benar hadis Sayyidatuna ‘Aisyah di atas tentang Solat Tarawih, ia tetap tidak boleh dijadikan dalil untuk menolak pendapat Sayyiduna Umar dan para sahabat lain yang mereka ijma’ (sepakat) melaksanakannya dengan 20 rakaat. Dalam perkara ini, Sayyidatuna ‘Aisyah melihat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang 11 rakaat, sedangkan Sayyiduna Umar dan para sahabat lain yang utama juga melihat Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersembahyang dengan 23 rakaat. Maka, mengikut kaedah ini, orang yang banyak ilmunya didahulukan dari orang yang kurang ilmu pengetahuannya.”

Bantahan:

Dalam masalah jumlah rakaat solat yang dilakukan Nabi, ‘Aisyah lebih tahu dibandingkan yang selain beliau. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani:

وَأَمَّا مَا رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاسٍ " كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَان عِشْرِينَ رَكْعَة وَالْوِتْرَ " فَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، وَقَدْ عَارَضَهُ حَدِيثُ عَائِشَة هَذَا الَّذِي فِي الصَّحِيحَيْنِ مَعَ كَوْنِهَا أَعْلَمَ بِحَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلًا مِنْ غَيْرِهَا

“Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadis Ibnu Abbas: Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam solat pada bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir, sanadnya lemah. Hal ini bertentangan dengan hadis ‘Aisyah ini dalam Sahihain (Riwayat Bukhari dan Muslim - edt), bersamaan dengan keadaan beliau (‘Aisyah) yang lebih mengetahui keadaan Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam pada waktu malam berbanding dari selainnya.” (Lihat Fathul Baari juz 6 halaman 295).

Syubhat ke-5: Umar hanya memerintahkan 20 rakaat solat tarawih.

Bantahan:

Terdapat beberapa riwayat yang sahih tentang jumlah rakaat tarawih dan witir yang diperintahkan Umar bin al-Khattab, iaitu 11, 13 dan 23 rakaat. Riwayat yang menunjukkan 11 rakaat:

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ

Dari Muhammad bin Yusuf dari as-Saib bin Yazid bahawa dia berkata: Umar bin al-Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami manusia dengan 11 rakaat. Imam pada waktu itu membaca 200 ayat sampai kami bersandar pada tongkat kerana demikian lamanya berdiri. Dan tidaklah kami berpaling kecuali menjelang fajar (Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwattho’).

Sanad riwayat ini sahih, kerana para perawi dalam riwayat ini adalah rijal (perawi) dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim. Malik meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dari as-Saib bin Yazid.

Dalam riwayat lain dinyatakan bahawa di masa Umar dilakukan solat 13 rakaat:

عن السائب بن يزيد قال كنا نصلي في زمن عمر رضي الله عنه في رمضان ثلاث عشرة ركعة

Dari as-Saib bin Yazid beliau berkata: ‘Kami solat di zaman Umar radiallaahu ‘anhu pada bulan Ramadhan 13 rakaat (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dari jalur Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Yusuf dari as-Saib bin Yazid).

Sedangkan riwayat 23 rakaat, ada yang dalam bentuk penyebutan 20 rakaat selain witir seperti yang diriwayatkan oleh Malik dari Yaziid bin Khasifah dari as-Saib bin Yazid. Boleh juga dalam bentuk penyebutan terus 23 rakaat:

عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً

Dari Yazid bin Rumaan bahawasanya dia berkata: Manusia melakukan solat malam di zaman Umar bin al-Khattab pada Ramadhan sebanyak 23 rakaat (Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwattho’).

Muhammad bin Nashr juga meriwayatkan dari jalur ‘Atha’ jumlah 23 rakaat di masa Umar.

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyatakan:

وَالْجَمْعُ بَيْن هَذِهِ الرِّوَايَات مُمْكِنٌ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال ، وَيَحْتَمِل أَنَّ ذَلِكَ الِاخْتِلَافَ بِحَسَبِ تَطْوِيلِ الْقِرَاءَة وَتَخْفِيفِهَا فَحَيْثُ يُطِيلُ الْقِرَاءَة تَقِلُّ الرَّكَعَات وَبِالْعَكْسِ وَبِذَلِكَ جَزَمَ الدَّاوُدِيُّ وَغَيْره ، وَالْعَدَد الْأَوَّل مُوَافِق لِحَدِيثِ عَائِشَة الْمَذْكُور بَعْد هَذَا الْحَدِيث فِي الْبَاب ، وَالثَّانِي قَرِيب مِنْهُ ، وَالِاخْتِلَاف فِيمَا زَادَ عَنْ الْعِشْرِينَ رَاجِعٌ إِلَى الِاخْتِلَاف فِي الْوِتْر وَكَأَنَّهُ كَانَ تَارَة يُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ وَتَارَة بِثَلَاثٍ

“Penggabungan riwayat-riwayat ini mungkin dilakukan kerana adanya perbezaan keadaan. Boleh juga yang demikian itu disebabkan perbezaan (kadangkala) bacaan yang panjang dan (kadangkala) pendek. Maka jika bacaannya panjang, jumlah rakaatnya sedikit. Demikian sebaliknya. Ini adalah pendapat ad-Dawudi dan selainnya. Jumlah (rakaat) yang pertama (11) sesuai dengan hadis ‘Aisyah yang akan disebutkan setelah hadis ini pada bab yang sama, sedangkan jumlah rakaat yang kedua (13) dekat dengannya. Perbezaan riwayat untuk jumlah rakaat yang lebih dari 20 dikembalikan pada perbezaan witir. Kadangkala witir dengan 1 rakaat, kadangkala 3 rakaat (Lihat Fathul Baari juz 6 halaman 292).

Dari penjelasan tersebut jelaslah bahawa pada masa Umar bin al-Khattab sendiri jumlah rakaat tarawih dan witirnya tidak hanya dilakukan 23 rakaat sahaja, namun juga pernah 11 rakaat dan 13 rakaat.

Syubhat keenam: Solat tarawih dan witir 23 rakaat lebih utama dibandingkan 11 rakaat kerana lebih banyak jumlah rakaatnya

Disebutkan dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah:

“Oleh itu, dari segi bilangan sahaja umpamanya, tentulah 20 rakaat Solat Tarawih lebih baik dari 8 rakaat dan pahalanya tentu sekali lebih banyak. Ini tidak termasuk pahala berapa kali qiyam, ruku’, sujud…., bacaan Surah Al-Fatihah, bacaan surah dan bacaan-bacaan lain ketika sembahyang, pahala mendengar orang membaca Al-Quran di dalam sembahyang, pahala sabar ketika qiyam yang mungkin agak lama dan panjang…jika dilakukan sebanyak 20 rakaat itu. Bolehlah diqiyaskan kepada perlakuan dan pembacaan yang lain yang ada kaitan dengan Solat Tarawih ini.”

Bantahan:

Perlu dipahami bahawa tidak selalu jumlah rakaat yang lebih banyak akan lebih utama dibandingkan dengan jumlah rakaat yang lebih sedikit. Hal itu bergantung juga dengan banyaknya jumlah ayat yang dibaca, kekhusyukannya, benar dan tepatnya lafaz bacaan yang dibaca, dan banyak kayu pengukur yang lain.

Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri lebih cenderung menyukai sholat sunnah yang lebih lama berdirinya dan jumlah sujudnya sedikit dibandingkan berdirinya sebentar dan jumlah sujudnya banyak. Beliau menyatakan:

فإن أطالوا القيام وأقلوا السجود فحسن ، وهو أحب إلي ، وإن أكثروا الركوع والسجود فحسن

“Jika mereka memanjangkan (masa) berdiri dan sedikit jumlah sujud maka itu baik, dan yang demikian ini lebih aku sukai. Jika mereka memperbanyak ruku’ dan sujud maka itu juga baik” (Dinukil oleh Abu Nashr al-Maruuzi dalam Qiyam Ramadhan juz 1 halaman 21).

Telah disebutkan penjelasan al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani ketika menggabungkan perbezaan riwayat jumlah rakaat di masa Umar (11,13, dan 23 rakaat). Bahawa jika jumlah ayat yang dibaca banyak, jumlah rakaatnya sedikit, sebaliknya jika jumlah ayat yang dibaca sedikit, jumlah rakaat banyak. Meskipun dua keadaan itu sama-sama baik, namun al-Imam Asy-Syafi’i lebih menyukai yang lama berdirinya (kerana ayat yang dibaca banyak/panjang) meskipun jumlah sujudnya sedikit.

Sebelas rakaat atau 23 rakaat dua-duanya adalah baik. Namun yang terbaik adalah yang paling mendekati perbuatan Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam. Baginda melakukan 11 rakaat atau 13 rakaat dengan memanjangkan bacaan dalam ayat. ‘Jangan kamu tanya betapa bagusnya’, kata ‘Aisyah radiallahu'anha dalam mensifatkan solat sunnah Nabi. Huzaifah bin al-Yaman juga mengisahkan bahawa baginda sallallaahu ‘alaihi wasallam membaca Al-Baqaah, An-Nisaa’, dan Ali Imran dalam satu rakaat. Luar biasa lama masa berdirinya. Bahkan, setiap sampai ayat tentang tasbih, baginda bertasbih, jika sampai pada ayat tentang permintaan, baginda meminta kepada Allah, dan ketika membaca ayat tentang azab baginda mohon perlindungan kepadaNya. Tidak menghairankan jika keadaan lama berdiri menyebabkan kaki baginda bengkak dan pecah-pecah. Hal itu sebagai mewujudkan keinginan baginda menjadi hamba yang bersyukur.

Namun, keadaan jumlah ayat yang dibaca mahupun lama berdiri dalam solat mesti disesuaikan dengan keadaan makmum. Jika makmum suka dan tidak menyusahkan mereka jika itu dilakukan, maka panjangnya bacaan yang menyebabkan lamanya berdiri dalam solat adalah yang terbaik dilakukan.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ قَالَ طُولُ الْقُنُوتِ

Dari Jabir beliau berkata: Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang solat manakah yang lebih utama? Baginda menjawab: ‘solat yang panjang (lama) masa berdirinya’ (Hadis riwayat Muslim).

Apalagi, yang majoriti terjadi adalah banyaknya jumlah rakaat pada saolat tarawih di bulan Ramadhan menyebabkan pelaksanaan solat dilakukan secara cepat, bahkan sangat cepat. Tidaklah menghairankan jika suatu masjid yang melakukan solat 23 rakaat masa berakhirnya justeru mendahului masjid lain yang solat 11 rakaat. Kita tidak mengingkari jumlah rakaatnya, namun yang kita ingkari adalah demikian kecepatannya melakukan solat sampai-sampai makmum bahkan imam sendiri sukar mendapatkan kekhusyukan dengan bacaan yang cepat dan keadaan tergesa-gesa seperti itu. Ketika sujud yang dilakukan bagaikan ayam yang mematuk makanan, belum selesai makmum menyempurnakan kadar bacaan wajib dalam ruku’ atau pun sujudnya, imam sudah berpindah pada posisi pergerakan yang lain. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan hidayahNya kepada segenap kaum muslimin…

Syubhat ke-7: Solat tarawih dan witir memang disunnahkan dilakukan dalam keadaan cepat, lebih cepat dari solat fardlu

Syubhat semacam ini boleh ditemui pada sebahagian lamanweb. Terdapat pada sebuah lamanweb sesi soal jawab sebagai berikut (dinukil isi pertanyaan dan jawapannya):

…Bagaimana jika kita tarawih imannya membaca Al-Fatihah atau surah sesudahnya (surah pendek) dalam satu nafas…sedang kita membaca Fatihah sesudah imam sehingga kita tidak dapat menyelesaikan fatihah kita tetapi menyebabkan kita tertinggal rukun ... Adakah kita tertinggal rukun walau tidak sampai 2 rukun panjang, atau membaca Al-Fatihah bersama dengan imam saja?...…Atau ikut mazhab lain yang menyatakan Fatihah sudah ditanggung imam?...bagaimana ya bib? atau ada cara yang lebih baik?
Jawaban dari lamanweb tersebut:
mengenai solat tarawih cepat, hal itu merupakan pengenalan sunnah pula, kerana Rasul saw pernah melakukan solat sunnah yg sangat cepat sebagaimana riwayat sahih Bukhari dan sahih Muslim, bahawa sedemikian cepatnya seakan baginda itu tidak solat, namun beginda menyempurnakan tumaninahnya
Pada bahagian lain di lamanweb tersebut terdapat topik berjudul: Solat Tarawih dengan cepat-kilat.
Terdapat pertanyaan sebagai berikut:
…Bagaimana hukum solat tarawih dengan Imam membaca surah2 dengan cepatnya dan gerakan2 solat yang kilat? padahal disitu ada jamaah orang2 tua yang kewalahan (tidak sanggup) mengikuti gerakan imam...?
terimakasih...
Jawaban dari situs tersebut:
mengenai pelaksanaan Tarawih dgn cepat adalah fatwa Madzhab Syafii, kerana mesti dibuat lebih ringan dan cepat daripada solat fardhu, kerana tarawih adalah solat sunnah yg dilakukan secara berjamaah, maka tidak boleh disamakan dengan solat fardhu, Ihtiraaman wa ta'dhiiman lishalatil fardh (demi memuliakan solat fardhu) diatas solat sunnah.
melakukan solat sunnah dgn cepat adalah diperbolehkan bahkan pernah dilakukan oleh Rasul saw, dalilnya adalah bahawa riwayat Aisyah ra bahawa Rasul saw pernah melakukan solat sunnah sedemikian cepatnya seakan baginda tidak solat dari cepatnya. (Sahih Bukhari).
riwayat lainnya bahwa Rasul saw melakukan solat sedemikian cepatnya seakan baginda saw tak membaca fatihah, akan tetapi baginda tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya (Sahih Bukhari)
demikian riwayat-riwayat diatas memberikan kefahaman bagi kita bahawa solat sunnah boleh cepat, dan pada mazhab Syafii bahawa solat Tarawih berjamaah hendaknya dipercepat agar tak disamakan dengan solat fardhu, juga sekaligus mengenalkan kembali sunnah Nabi saw, bahawa Nabi saw pun sering melakukan solat sunnah dgn cepat,
pengingkaran dimasa kini adalah kerana muslimin sudah tidak lagi mengetahui bahawa solat sunnah dgn cepat itu adalah sunnah Nabi saw, maka perlu dihidupkan dan dimakmurkan agar muslimin tidak alergi dan kontra terhadap sunnah Nabinya saw.
mengenai orang tua yg tak mampu mengikuti cepatnya gerakan Imam sebaiknya duduk, solatnya tetap sah kerana solat sunnah boleh dilakukan sambil duduk walaupun tidak uzur sekalipun, berbeza dgn solat fardhu yg tak boleh dilakukan sambil duduk kecuali ada uzur,

Bantahan:

Tidak benar bahawa solat tarawih disunnahkan dilakukan lebih cepat dari solat fardu. Bahkan solat sunnah Qiyamullail (sebagaimana tarawih dan witir yang merupakan Qiyamullail di bulan Ramadhan) lebih diutamakan jika jumlah ayat yang dibaca banyak dan dibaca dengan tartil (tidak tergesa-gesa).

مَنْ قَامَ بِعَشْرِ آيَاتٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنْ الْغَافِلِينَ وَمَنْ قَامَ بِمِائَةِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ الْقَانِتِينَ وَمَنْ قَامَ بِأَلْفِ آيَةٍ كُتِبَ مِنْ الْمُقَنْطِرِينَ

“Barangsiapa yang Qiyamullail dengan membaca 10 ayat, maka tidak tercatat baginya sebagai orang yang lalai, barangsiapa yang Qiyamullail dengan membaca 100 ayat, maka tercatat baginya sebagai orang yang taat, barangsiapa yang Qiyamullail dengan 1000 ayat, maka tercatat baginya sebagai orang yang mendapat pahala berlimpah.” (Hadis riwayat Abu Daud).

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (iaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan (tartil)”(Al-Muzzammil:1-4).

Pada masa Nabi solat tarawih berjamaah bersama Sahabat Nabi, cukup lama solat itu didirikan, sampai para Sahabat bimbang tidak dapat bersahur.

Dikatakan oleh Sahabat Nabi Abu Dzar:

...فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ

"Maka Nabi melakukan Qiyamullail (di bulan Ramadhan) bersama kami sampai-sampai kami bimbang akan terluput dari bersahur”(Hadis riwayat Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah).

Sunnah ini dilanjutkan di masa Umar bin al-Khattab pada saat beliau memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari menjadi imam solat, begitu lamanya solat dilakukan sampai-sampai para Sahabat bersandar pada tongkat kerana lamanya berdiri.

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ

Dari Muhammad bin Yusuf dari as-Saib bin Yazid bahawa dia berkata: Umar bin al-Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami manusia dengan 11 rakaat. Imam pada waktu itu membaca 200 ayat sampai kami bersandar pada tongkat kerana demikian lamanya berdiri. Dan tidaklah kami berpaling kecuali menjelang fajar." (Diriwayatkan oleh Malik dalam alMuwattho’).

Rasulullah sallallaahu ‘alaihi wasallam beberapa kali solat malam bersama sebahagian Sahabat. Baginda pernah solat malam bersama Abdullah bin Mas’ud:

عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطَالَ حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قَالَ قِيلَ وَمَا هَمَمْتَ بِهِ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَجْلِسَ وَأَدَعَهُ

Dari Abu Wail beliau berkata: Abdullah (bin Mas’ud) berkata: ‘Aku pernah solat bersama Rasulullah sollallaahu ‘alaihi wasallam, baginda memanjangkan (masa berdiri) sampai aku berkehendak untuk melakukan perkara buruk. Ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud: Apa perkara buruk tersebut? Ibnu Mas’ud berkata: ‘Aku berkeinginan untuk duduk dan meninggalkan beliau (dari solat)." (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, lafaz ini menurut Muslim).

Dalam riwayat Muslim pula Nabi pernah solat malam bersama Hudzaifah bin al-Yaman. Dalam satu rakaat baginda membaca Al-Baqarah, An-Nisaa’, dan Ali Imraan. Bagaimana boleh dikatakan bahawa solat sunnah sepatutnya lebih cepat dari solat wajib sebagai bentuk penghormatan terhadap solat wajib? Bukankah dalam solat wajib Nabi tidak pernah menyelesaikan bacaan al-Baqarah sahaja dalam satu rakaat?

Pada lamanweb itu juga dinyatakan sebagai berikut:

melakukan solat sunnah dgn cepat adalah diperbolehkan bahkan pernah dilakukan oleh Rasul saw, dalilnya adalah bahawa riwayat Aisyah ra bahawa Rasul saw pernah melakukan solat sunnah sedemikian cepatnya seakan baginda tidak solat dari cepatnya. (Sahih Bukhari).
riwayat lainnya bahawa Rasul saw melakukan solat sedemikian cepatnya seakan baginda saw tak membaca fatihah, akan tetapi baginda tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya (Sahih Bukhari)

Sesungguhnya yang dimaksudkan tersebut adalah solat sunnah yang dilakukan Nabi berupa dua rakaat sebelum solat Subuh:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى إِنِّي لَأَقُولُ هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ

Dari ‘Aisyah radiallahu‘anha beliau berkata: Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam meringankan solat dua rakaat sebelum solat Subuh sampai aku berkata: Adakah baginda membaca al-Fatihah? (Hadis riwayat al-Bukhari).

Untuk memahami makna hadis tersebut kita perlu menyemak penjelasan Imam al-Qurtubi:

وَإِنَّمَا مَعْنَاهُ أَنَّهُ كَانَ يُطِيل فِي النَّوَافِل ، فَلَمَّا خَفَّفَ فِي قِرَاءَة رَكْعَتَيْ الْفَجْر صَارَ كَأَنَّهُ لَمْ يَقْرَأ بِالنِّسْبَةِ إِلَى غَيْرهَا مِنْ الصَّلَوَات

“Sesungguhnya maknanya adalah: bahawa Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam biasa memanjangkan bacaan pada solat Sunnah. Maka ketika baginda meringankan bacaan pada 2 rakaat (sebelum) Subuh, jadilah seakan-akan baginda tidak membaca (Al-Fatihah) jika dibandingkan dengan solat-solat baginda yang lain.” (Dinukil oleh al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Baari juz 4 halaman 161).

Sehingga hadis tersebut tidak boleh dijadikan sebagai dasar atau kaedah umum bahawa solat Sunnah semestinya lebih cepat dari solat wajib, kerana menurut al-Qurtubi yang sering/biasa baginda lakukan adalah memanjangkan bacaan pada solat sunnah. Hanya pada keadaan tertentu atau keadaan yang jarang, seperti solat Sunnah sebelum Subuh, kadang-kadang baginda meringankannya. Penisbatan kaedah tersebut kepada mazhab Asy-Syafi’i juga perlu ditinjau semula, kerana justeru al-Imam Asy-Syafi’i lebih menyukai masa berdiri yang lama meskipun jumlah sujudnya sedikit (Lihat penjelasan bantahan terhadap syubhat keenam di atas).

Selain itu, ketika pada lamanweb tersebut ditanyakan bagaimana jika imam membaca al-Fatihah dan bacaan surah dalam satu nafas, sehingga menyebabkan makmum ketinggalan rukun, pemilik lamanweb tersebut tidak memberikan nasihat kepada imam agar lebih toma’ninah dan memperhatikan keadaan makmum, namun justeru menyokong pula perbuatan imam tersebut dan menganggapnya sesuai dengan Sunnah. Tidak pula dia menganjurkan imam supaya memperhatikan keadaan makmum kerana adanya orang-orang yang lemah dan memiliki keperluan, tapi justeru yang dianjurkan adalah makmum yang tua menyesuaikan ‘kecepatan’ imam dengan sebaiknya solat duduk saja. Wallaahul musta’aan. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayahNya kepada kita semua…

Nasihat untuk saudaraku para imam masjid, hendaknya bertakwa kepada Allah. Bagaimana mungkin anda bermunajat kepada Allah dalam keadaan mempercepatkan bacaan, bahkan al-Fatihah dalam satu nafas. Penuhi pula hak makmum. Mereka perlu mendapatkan hidangan bacaan al-Qur’an untuk disemak kerana jika mereka menyemak bacaan imam dengan baik maka insyaAllah mereka akan mendapatkan rahmat dari Allah.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan jika dibacakan al-Qur’an, maka perhatikanlah dan diam agar kamu mendapat rahmat” (Al-A’raaf: 204)

Bertakwalah kepada Allah, janganlah solat dengan tergesa-gesa sehingga meninggalkan toma’ninah yang merupakan rukun solat. (Untuk mengetahui lebih lanjut nasihat tentang masalah ini, silakan baca artikel berjudul: “SAUDARAKU, JANGAN CEPAT-CEPAT SHOLATNYA!”).

Kesimpulan

  1. Nabi Muhammad sallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan solat malam, baik di dalam mahupun di luar Ramadhan sebanyak 11 atau 13 rakaat berdasarkan riwayat yang sahih. Tidak ada riwayat sahih yang menunjukkan secara tegas baginda melakukan solat malam lebih dari jumlah rakaat itu.
  2. Secara ucapan, baginda tidak membatasi jumlah rakaat solat malam. Ketika ditanya tentang solat malam, baginda hanya menyatakan bahawa solat malam dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Sehingga, tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk melakukan Qiyamullail di dalam atau di luar Ramadhan dengan jumlah rakaat lebih dari 13.
  3. Bukan jumlah rakaatnya yang kita ingkari, namun tatacara pelaksanaan solatnya. Jika solat tidak dilakukan dengan toma’ninah, boleh menyebabkan terbatalnya solat tersebut.


Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua….

Disunting oleh: Abu Soleh

𝗣𝗲𝗺𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻 𝗳𝗮𝘀𝗶𝗸 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗲𝗺𝗮𝗿𝗶 𝗛𝗮𝗿𝗮𝗺𝗮𝗶𝗻 𝘄𝘂𝗷𝘂𝗱 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗵𝗮𝗺𝗽𝗶𝗿 𝘀𝗲𝘁𝗶𝗮𝗽 𝘇𝗮𝗺𝗮𝗻

Tulisan: Su Han Wen Shu Sumber: Facebook   𝗣𝗲𝗺𝗶𝗺𝗽𝗶𝗻 𝗳𝗮𝘀𝗶𝗸 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗲𝗺𝗮𝗿𝗶 𝗛𝗮𝗿𝗮𝗺𝗮𝗶𝗻 ...